Dr. KARL MAY PURI RODRIGANDA JILID I Sumber Pdf: http://id.karlmay.wikia.com/wiki/E-Book Edit & Convert: zhe (zheraf.wapamp.com) http://www.zheraf.net BAB I DIREBUT DARI TANGAN SUKU COMANCHE Musim semi tahun 1847. Di sungai Rio Grande del Norte nampak sebuah sampan ringan terbawa arus ke hilir. Sampan terbuat dari lempeng-lempeng kulit kayu, dihubungkan dengan ter dan lumut. Di dalam sampan terdapat dua orang dari kebangsaan yang berlainan. Seorang memegang kemudi dan seorang sedang memilin-milin peluru dari kertas, mesiu dan timah untuk mengisi senapan berlaras dua kepunyaannya. Orang yang memegang kemudi nyatalah dari raut muka yang gagah perkasa dan sinar mata yang tajam, seorang Indian. Bahkan dengan melihat pakaiannya sudah dapat dipastikan ia seorang Indian, ia memakai baju berburu terbuat dari kulit rusa, memakai kulit pelindung kaki, dihiasi dengan rambut musuh yang telah ditaklukkannya dan sepatu moccasin bersol dua lapis. Di leher memakai kalung dari gigi-gigi beruang kelabu, Rambutnya dijalin tinggi-tinggi, di atasnya terdapat tiga helai bulu burung elang. Itu merupakan tanda, bahwa ia berpangkat kepala suku. Di sampingnya di dalam sampan terletak sehelai kulit lembu yang indah, dipakainya sebagai baju luar. Pada ikat pinggangnya tersisip sebuah tomahawk, sebilah pisau bermata dua untuk menguliti kepala musuh dan sebuah tas tempat menyimpan peluru. Di atas kulit lembu terletak sepucuk senapan berlaras dua. Hulu senapan itu bergores-gores, tiap gores menunjukkan jumlah musuh yang sudah ditaklukkannya. Pada kalung gigi beruangnya tergantung kalumet, yaitu pipa perdamaian. Lagi pula menonjol keluar dari ikat pinggangnya, hulu dua buah pistol. Dengan memegang tangkai kemudi di tangan, nampak seolah-olah ia kurang peduli keadaan sekelilingnya. Tetapi bila diperhatikan dengan teliti ternyata, bahwa di balik sikap acuh tak acuh itu terdapat kewaspadaan pada segala sesuatu yang dapat menimbulkan bahaya baginya. Kawan yang duduk di haluan adalah seorang kulit putih. Orang itu bertubuh ramping, namun tegap dan kuat. Janggutnya lebat, berwarna pirang, sepadan dengan tubuhnya. Ia bercelana kulit, ujungnya masuk ke dalam pelindung kaki dari kulit. Baju pemburunya berwarna biru. Topi yang dipakainya bertepi lebar, seperti layak dipakai oleh seorang pemburu di daerah Barat Jauh. Kedua orang itu tampak sebaya kira-kira berumur masing-masing dua puluh delapan tahun. Di belakang tumit sepatu mereka terdapat duri-duri, gunanya sebagai alat pemacu kuda. Hal itu menandakan, bahwa mereka telah berkendaraan kuda, sebelum membuat sampan yang ditumpanginya. Sedang mereka membiarkan sampannya dihanyutkan arus ke hilir, tiba-tiba terdengar olehnya ringkik kuda. Demi di dengar bunyi itu, mereka merebahkan diri ke dalam sampan, supaya tidak kelihatan. "Ada kuda," bisik orang Indian itu dengan logat suku Apache Jicarilla. "Kuda itu berdiri lebih jauh ke hilir," ujar si kulit putih. "Telah tercium bau kita olehnya. Siapakah gerangan penunggangnya?" "Tak mungkin seorang Indian atau seorang pemburu berkulit putih," kata pemburu itu pula. "Pemburu yang berpengalaman tak membiarkan kudanya meringkik keras-keras. Mari kita menepi dan menyelinap ke arah bunyi itu!" "Lalu meninggalkan sampan begitu saja?" tanya orang Indian itu. "Andai kata mereka musuh yang bermaksud memikat, lalu membunuh kita?" "Jangan takut; kita bersenjata." "Lebih baik saudara menjaga sampan, sementara aku meninjau daerah ini." "Baiklah." Kedua orang itu menepi. Orang Indian itu naik ke tepi, sedang orang kulit putih itu tetap di dalam sampan menanti kawannya kembali. Sesaat kemudian orang Indian itu bangkit berdiri, suatu tanda bahwa tidak dilihatnya bahaya. "Bagaimana keadaannya!" tanya si pemburu. "Di sana, di balik semak-semak sedang tidur seorang kulit putih." "O, begitu? Seorang pemburukah ia?" "Ia hanya memiliki sebilah pisau." "Mari kita ke sana!" Orang kulit putih itu melompat keluar dari dalam sampan dan menambatkan sampan, Kemudian mengambil senapan serta kedua pucuk pistolnya, siap sedia ditembakkan. Diikutinya orang Indian itu sampai ke tempat orang yang sedang tidur itu. Di sisi orang itu terdapat kuda yang berpelana secara biasa di Meksiko, tertambat pada pohon. Orang itu memakai celana Meksiko, kemeja putih dan baju pendek berwarna biru, layak dipakai oleh tentara berkuda. Kemeja serta celananya diikat oleh sehelai kain kuning, yang dipakai sebagai ikat pinggang. Pada ikat pinggang itu hanya terselip sebilah pisau, tanpa senjata lain-lain lagi. Topi sombreronya kuning warnanya menutupi muka, melindunginya dari terik matahari. Demikian nyenyaknya orang itu tidur, sehingga sekali-kali tidak diketahuinya, kedua orang itu datang menghampirinya. "Hai, bangunlah!" seru orang kulit putih itu sambil mengguncang-guncang lengan orang yang tidur itu. Ia terbangun, bangkit melompat dan mencabut pisau. "Bedebah, mau apa kalian?" serunya separuh mengantuk. "Mula-mula kami ingin tahu siapakah kamu." "Dan siapakah kalian?" "Mungkin kau takut pada orang Indian itu. Ketakutan demikian tidak beralasan. Ia orang baik-baik. Namanya Shosh-in-liett, kepala suku Apache-Jicarilla dan aku seorang pemburu, bernama Unger." "Shosh-in-liett?" seru orang asing itu. "O, kalau begitu saya tak perlu khawatir. Beliau seorang prajurit Apache dan bersahabat dengan orang kulit putih." Kata Shosh-in-liett berarti "Hati Beruang". "Lalu siapakah Anda?" tanya Unger. "Saya Domenico, seorang vaquero (pekerja perusahaan peternakan)," jawab orang itu. "Di mana?" "Di seberang sungai. Di daerah milik pangeran Rodriganda." "Lalu mengapa kau sampai terdampar ke sini?" "Ala, lebih baik katakan, bagaimana saya dapat sampai ke seberang lagi! Saya sedang dikejar oleh orang-orang suku Comanche." "Perkataanmu tidak sesuai dengan kenyataan. Orang yang sedang dikejar-kejar musuh tidak tidur dengan nyenyak." "Siapa dapat mengelakkan tidur, bila dalam keadaan letih lelah." "Di manakah kau berjumpa dengan suku Comanche itu?" "Tepat di sebelah utara tempat kita ini, ke arah Rio Pecos. Rombongan kami terdiri dari lima belas orang laki-laki dan dua orang wanita, sedang rombongan mereka lebih dari enam puluh." "Kalian telah melawan?" "Ya. Orang-orang Indian menyerang dengan tiba-tiba. Kami tidak dapat mengadakan persiapan lebih dahulu. Karena itu mereka sempat membunuh sebagian besar di antara kami dan menawan kedua wanita itu. Entah berapa banyak di antara kami yang dapat menyelamatkan diri, di samping saya." "Dari mana kalian dan ke mana tujuan kalian?" Vaquero agak segan berbicara. Setiap jawaban harus ditarik keluar dari mulutnya. Jawabnya: "Kami berkuda ke benteng Guadelupe untuk menjemput dua wanita yang datang berkunjung ke sana." "Tetapi Rio Pecos tidak terletak sepanjang perjalanan Anda." "Memang. Sebelum kembali ke peternakan kami, kami mengunjungi Rio Pecos. Di situlah kami diserang." "Siapakah kedua wanita itu?" "Senorita Emma Arbellez dan Karja, seorang wanita Indian." "Siapakah senorita Arbellez?" "Puteri penyewa tanah bernama Pedro Arbellez." "Dan Karja?" "Wanita Indian itu adik Tecalto, kepala suku Mixteca yang masyhur itu." Si Hati Beruang tertambat perhatiannya mendengar ini. "Adik Tecalto?" tanyanya. "Tecalto kawanku; pernah mengisap pipa perdamaian bersamaku. Adiknya tidak boleh dibiarkan menjadi tawanan orang! Kawan-kawan kulit putih, maukah kalian ikut aku membebaskannya?" "Kalian tidak berkuda," kata Domenico mengemukakan keberatan. Orang Indian itu memandangnya dengan rasa cemooh. "Hati Beruang tidak dicemaskan oleh perkara demikian. Dalam waktu satu jam ia dapat memperoleh kuda dari anjing-anjing Comanche itu." "Hebat benar kalau begitu!" "Itu bukan sesuatu yang luar biasa," kata Unger. "Bilamana kalian diserang?" "Pada malam hari." "Berapa lama kau tidur?" "Tidak lebih dari seperempat jam." "Kalau begitu, orang-orang Comanche itu akan segera tiba di sini". "Astaghfirullah." "Kau seorang vaquero, namun kau tidak mengenal kebiasaan orang Indian. Mengapa mereka menawan kedua wanita itu? Adakah maksud mereka untuk minta uang tebusan?" "Pasti tidak! Kedua wanita itu ditawari untuk diperisteri oleh mereka. Keduanya cantik benar." "Memang pernah kudengar, bahwa gadis Mixteca itu cantik-cantik. Bila orang-orang Comanche tidak bersedia mengembalikan kedua wanita itu, maka mereka akan berusaha bersembunyi. Mereka akan menghapus jejak mereka. Akibatnya, kau tidak akan lepas dari perhatian mereka. Kau akan terus dikejar untuk kemudian dibasmi mereka. Dengan demikian kau tidak dapat membawa berita ke rumah." "Memang demikianlah. Hal itulah membuat hatiku resah." jawab orang Meksiko itu. "Orang Comanche itu naik kudakah?" "Benar." "Maka mereka akan melakukan pengejaran dengan naik kuda, mereka akan mengikuti jejakmu dan akan tiba di sini dengan berkendaraan kuda." "Benar juga! Tak terpikir olehku sebelumnya." "Kau tidak dapat dikatakan cerdik, Mengapa kau sampai dapat begitu lalai." "Saya terlalu lelah." "Sekurang-kurangnya kau harus berusaha menyeberangi sungai lebih dahulu." "Sungai terlalu lebar dan kuda saya sedang liar ketika itu." "Kau harus bersyukur, bahwa kami bukanlah kaum Comanche. Kalau tidak, kau akan terbangun dari tidur dengan kepala tanpa kulit lagi. Sudah laparkah kau?" "Sudah." "Ikut saja ke dalam sampan! Tetapi pindahkan kudamu ke tempat yang lebih tersembunyi dahulu!" Hati Beruang sudah lebih dahulu pergi ke sampan. Ia merebahkan diri ke atas kulit lembu. Vaquero diberi daging. Air minum dapat diambil dari dalam sungai, sehingga ia tidak kekurangan sesuatu. Setelah kenyang makan, Unger menyuruhnya berceritera tentang dirinya. Ia seorang pekerja di tanah kepunyaan pangeran Fernando de Rodriganda, terletak di sekitar sungai Rio Grande del Norte. Sungai tersebut merupakan batas antara Meksiko dan Texas dengan Cordilleras dari Coahuila. Beberapa saat kemudian Unger pergi meninggalkan sampan, lalu mendaki tebing sungai untuk meninjau. Baru saja sampai ke atas, maka ia berseru: "Nah, itu dia! Mereka menuju ke mari. Untunglah kami tidak terlambat!" Hati Beruang segera mendampinginya. "Siapa yang akan mengambil kudanya?" tanyanya. "Aku," jawab pemburu itu. Orang Indian itu mengangguk, "dari orang-orang Comanche yang berkuda ini tak seorang pun boleh luput!" Unger mengangguk, lalu bertanya kepada vaquero itu, "Milikmu hanya pisau itu saja? Kalau begitu, kau tak dapat membantu kami. Tinggal di sampan. Aku akan menaiki kudamu!" "Tapi bagaimana kalau ditembak mati?" tanyanya dengan hati kecut. "Tak usah khawatir! Dalam hal itu kami akan mendapat ganti enam ekor." Orang Meksiko itu harus merasa puas dengan jawaban ini. Ia bersembunyi ke dalam sampan, sementara kedua orang lainnya pergi ke tempat vaquero semula. Mereka bersembunyi di samping kuda, di balik semak belukar. Penunggang-penunggang kuda yang mula-mula tampak sebagai enam titik hitam di kejauhan, makin mendekat. Pakaian serta senjata mereka kini dapat dikenali. "Memang, itulah anjing-anjing Comanche," kata si Hati Beruang. "Akan kita tembak bahu mereka. Dua yang berjalan di belakang lebih dahulu menjadi sasaran, kemudian baru yang di depan." "Yang di belakang adalah bagianku." kata orang Apache itu. "Baiklah!" Orang-orang Comanche sudah mendekat sampai jarak setengah kilometer. Mereka tetap berjalan cepat. Dalam waktu semenit mereka akan mencapai jarak tembak senapan kedua orang itu. "Orang-orang Comanche ini berotak udang. Mereka tak dapat menggunakan pikiran!" "Seharusnya mereka mempertimbangkan kemungkinan vaquero itu bersembunyi di sini. Pikir mereka ia sudah terburu-buru menyeberangi sungai." "Uf!" Dengan kata seru yang mengandung makna supaya kita waspada, orang Apache itu mengangkat senapannya. Perbuatan itu diikuti oleh Unger. Sesaat kemudian terdengarlah dua letusan, diikuti oleh dua berikutnya. Empat orang Comanche terjatuh dari kudanya. Pemburu itu melompat ke atas kuda vaquero, lalu keluar dari dalam semak belukar. Kedua orang Comanche yang tersisa terperanjat. Mereka tidak diberi kesempatan berbalik, demikian cepatnya orang kulit putih itu mendekatinya. Mereka mengangkat tomahawknya. Tetapi Unger sudah siap dengan pistol. Dua kali tembakan meletus dan dua orang itu terjatuh dari kudanya. Prajurit-prajurit yang hanya luka ringan itu segera diikat. Kemenangan ini diperoleh dalam waktu kurang dari dua menit. Kuda-kuda mereka ditangkap dengan mudah. Kini Domenico datang. Ia menyaksikan segenap kejadian itu dari sampannya. "Ascuas!" katanya, "itu baru dapat disebut kemenangan!" "Itu bukanlah pekerjaan yang sangat sulit!" kata orang kulit putih itu sambil tertawa. "Hanya enam orang Comanche. Bagaimana sekarang kita akan berangkat lagi?" "Baik!" jawab orang Indian itu. "Adik kawanku tidak boleh sia-sia menantikan pertolongan." "Vaquero itu harus ikut dengan kita?" Si Hati Beruang mengamati orang Meksiko itu, lalu berkata "terserah kepadamulah." "Saya ikut," kata orang Meksiko itu. "Kau menimbulkan kesan seperti tidak berguna," kata Unger. "Kau kurang menunjukkan sifat kejantanan." "Mana mungkin saya berbuat lain. Saya tidak memiliki senjata." "Tetapi dalam pertempuran kemarin pun kau melarikan diri." "Saya bermaksud mendatangkan bala bantuan." "O, begitu? Dapatkah kau temukan kembali tempat kalian diserang kemarin?" "Dapat." "Kalau begitu, kau boleh ikut kami." "Bolehkah saya mengambil senjata dari orang-orang Indian?" "Tentu boleh. Ambil juga salah seekor kuda mereka! Kudamu akan kulepaskan. Ia terlalu letih, sehingga tidak berguna lagi bagi kita." Salah seorang Indian Comanche, ikatannya agak dikendurkan, sehingga ia dapat membebaskan diri. Dengan demikian dapatlah ia membebaskan kawan-kawannya juga. Senapan-senapan orang Comanche itu diambil mereka. Tiga ekor kuda yang terbaik dinaiki, kuda lain-lainnya dilepaskan. Kemudian mereka berangkat. Mereka menuju utara, lurus ke arah Rio Pecos. Mula-mula mereka melalui padang prairi, kemudian daerah pegunungan yang ditumbuhi hutan. Mereka menempuh lembah dan ngarai. Pada malam hari mereka mencapai sebuah bukit. Dari puncak bukit mereka dapat meninjau ke arah savana. "Uf!" seru orang Apache itu, sambil menunjuk ke bawah. Di situ tampak perkemahan orang Indian; di tengah-tengah mereka terdapat tawanan mereka. Orang kulit putih itu mengeluarkan sebuah teropong kecil dari dalam saku. Ia melihat melalui teropong itu. "Apa yang dapat saudara lihat?" tanya Hati Beruang. "Empat puluh sembilan orang Comanche dan enam orang tawanan." "Wanita-wanita itu termasuk juga di dalamnya?" "Ya. Ada dua orang wanita. Akan kita lepaskan mereka nanti malam." Orang Indian itu mengangguk. "Empat puluh sembilan prajurit Comanche tidak sanggup mengadakan penjagaan ketat, karena luas daerah yang harus dijaga itu," tambah pemburu itu. "Namun kita akan bersembunyi juga. Lagi pula ada kemungkinan beberapa vaquero telah lepas pula. Maka mereka harus mengejar vaquero-vaquero itu. Dan bila mereka pulang dari pengejaran itu, mereka akan menemukan kita. Tambatkan kuda-kuda kita!" perintahnya kepada Domenico. "Kami berdua akan berusaha menghapus jejak-jejak kita." Unger pergi bersama Hati Beruang untuk menghapus jejak-jejak mereka. Kemudian mereka mencari tempat persembunyian yang paling aman untuk mereka bersama kudanya. Matahari terbenam. Hari menjadi gelap. Meskipun demikian mereka tetap tinggal di tempat persembunyian. Waktu paling tepat untuk membuka serangan, ialah beberapa saat lewat tengah malam. "Nah, sudahkah ada rencana penyerbuan?" tanya orang kulit putih itu kepada kawannya. "Sudah," jawab orang Indian itu. "Saudara menyergap seorang penjaga. Kami menyelinap mendekati mereka, menyergap para penjaga, lalu memotong tali pengikat para tawanan dan melarikan diri." "Mari kita pergi sekarang juga, karena pekerjaan yang kita hadapi makan waktu yang cukup lama." "Apakah Dominica harus kita tinggalkan?" "Ya, karena ia harus menjaga kuda kita." "Ia harus menanti di mana?" "Di tempat kita pertama kali bertemu dengan orang Comanche tadi. Kita harus melalui daerah itu lagi, karena kita harus kembali ke Rio Grande." Kedua orang gagah berani itu mengambil senapan lalu pergi, setelah memberi petunjuk seperlunya kepada vaquero itu. Di bawah, di lembah, menyala sebuah api unggun. Sekelilingnya tidur prajurit-prajurit Comanche. Di tengah-tengah para tawanan tidur dalam keadaan terikat. Prajurit penjaga tentu bertugas di luar lingkungan itu. Setelah mereka sampai di lembah, si Hati Beruang berbisik: "Aku menempuh arah ke kiri dan kau ke kanan." "Baik. Kedua wanita itu akan kita bebaskan lebih dahulu." Kemudian mereka berpisah. Unger menyelinap ke arah kanan mengelilingi perkampungan. Pekerjaan demikian dilakukan dengan cara yang lazim di daerah padang prairi. Kita harus menelungkup dan merayap seperti ular di atas tanah. Kita tidak boleh terlihat atau terdengar oleh siapa pun. Lagi pula harus kita jaga supaya jangan sampai tercium bau kita oleh kuda-kuda musuh. Kuda-kuda itu akan menjadi gelisah, dengan demikian memberi petunjuk tentang kehadiran kita. Unger pun menyelinap dengan cara demikian. Mula-mula ia mengelilingi perkampungan dengan busur yang amat besar. Sedikit demi sedikit busur itu diperkecil. Akhirnya dilihatnya sesosok tubuh bergerak hilir mudik. Itulah prajurit penjaga. Ia mendekat dengan menyelinap, hati-hati sekali. Untunglah api unggun itu sudah sangat berkurang nyalanya. Maka ia berhasil tanpa dilihat orang, mendekati penjaga sampai pada jarak lima langkah, tiba-tiba ia melompat menerkam orang itu dan mencekik lehernya kuat-kuat. Penjaga itu rebah, tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Dalam sekejap ia sudah terbelenggu. Dengan demikian Unger berhasil menaklukkan seorang penjaga dalam waktu kira-kira seperempat jam saja. Kemudian ia bertemu dengan si Hati Beruang, yang telah menaklukkan dua orang penjaga. "Sekarang giliran membebaskan para wanita!" bisik orang Indian itu. "Hati-hati!" kata orang kulit putih itu. "Pshaw! Orang Apache selalu berani dan bersifat hati-hati. Mari!" jawabnya. Mereka berjalan tanpa terdengar, menempuh padang yang ditumbuhi rumput tinggi, ke arah api unggun. Kedua wanita itu, berkat baju yang berwarna terang, dapat dikenali dengan mudah. Mereka berbaring sebelah menyebelah, dibelenggu kaki dan tangannya. Unger mendekati salah seorang wanita dan berbisik ke dalam telinganya, "Jangan bersuara! Saya adalah kawan. Saya akan membebaskan Anda dan kawan Anda. Setelah itu larilah cepat-cepat ke arah kuda!" Wanita itu mengangguk. Lalu pemburu itu memotong tali-tali, yang mengikat tubuh mereka dengan erat, sehingga sampai melukai mereka. Si Hati Beruang pergi membebaskan tawanan laki-laki. 4 orang vaquero yang harus dibebaskan. Mereka berbaring berdekatan. Segera dicabut pisau untuk memotong tali pengikat mereka. Baru saja ia berhasil memotong tali pengikat dua orang tawanan, maka dilihatnya seorang Comanche bergerak dengan tiba-tiba. Secepat kilat Hati Beruang mendekatinya, lalu menikamkan pisaunya ke dalam dada orang itu. Namun orang Comanche yang luka parah itu masih sempat berteriak minta pertolongan. "Lari! Ikut saya ke tempat kuda," seru orang Apache itu, sambil memotong tali pengikat dua orang tawanan lainnya. Mereka melompat berdiri dan berlari ke arah kuda. "Lari! Cepat!" seru orang kulit putih itu pula, sambil memegang kedua wanita itu, masing-masing dengan sebelah tangannya, lalu menariknya ke arah kuda. Tetapi kedua wanita itu hampir-hampir tidak dapat bergerak lagi, sangat sakit terasa bekas ikatan pada kakinya. "Hati Beruang!" seru Unger agak cemas. "Aku di sini!" jawab orang Apache itu. "Lekas ke mari!" Segera kepala suku itu berdiri di sampingnya. Diangkatnya salah seorang wanita dan didudukkannya ke atas punggung kuda. Demikian juga diperbuat oleh Unger. Mereka sendiri melompat ke atas pungggung kuda, lalu melarikan kudanya kencang-kencang. Segalanya berlangsung dalam waktu singkat sekali. Namun hampir mereka terlambat. Baru saja dipacu kudanya, sudah terdengar bunyi tembakan senapan orang Comanche di belakangnya. Orang-orang Comanche itu sama sekali tidak menduga serangan ini, sehingga mereka lalai dan tidur dengan nyenyaknya. Kini mereka berlompatan kacau-balau, masing-masing mencari senjatanya. Beberapa saat mereka bingung dibuatnya, sehingga terlambat menyadari, bahwa tawanannya sudah melarikan diri. Kemudian mereka melompat ke atas kuda-kuda yang masih ada dan mengejar pelarian mereka. Orang kulit putih bersama kawannya, orang Apache itu, berkendaraan kuda di depan sekali. Masing-masing membawa seorang wanita, duduk di hadapan mereka di atas kuda. Vaquero itu menanti di tempatnya. Demi didengarnya mereka datang, ia melompat ke atas kuda dan membawa dua ekor kuda lainnya. "Ikut aku!" seru Unger kepadanya. Pengejaran berlangsung pada malam hari yang gelap gulita, mendaki bukit dan menuruni lembah kembali. Kaum pelarian di depan, disusul oleh kaum Comanche. Mereka tiada henti-hentinya menembaki lawan. Akhirnya tibalah mereka di padang prairi yang terbuka. Kini kaum pelarian terpaksa harus membela diri. "Dapatkah Anda mengendarai kuda sendiri?" tanya Unger kepada wanitanya. "Dapat." "Ini, peganglah kendalinya! Jalan lurus saja!" Kemudian ia turun dari kuda yang ditumpangi dan melompat ke atas kudanya sendiri, yang dibawa oleh vaquero. Demikian juga dilakukan oleh orang Apache itu. Mereka berjalan di belakang dan membalas menembak kaum Comanche. Dengan demikian kaum Comanche tidak berani terlalu mendekat. Akhirnya mereka sudah ketinggalan agakjauhjuga. "Kita dapat memperlambat jalan kuda," kata Domenico. "Jangan!" jawab si kulit putih. "Justru kita harus berjalan secepat mungkin. Maksud kita supaya menyeberang sungai secepatnya." Kini Unger dapat lebih memperhatikan kedua wanita itu. Yang seorang berkebangsaan Spanyol dan yang seorang lagi berkebangsaan Indian. Keduanya luar biasa cantiknya. "Anda tahan berjalan terus secepat ini, senorita?" tanya Unger kepada gadis kulit putih itu. "Saya tahan selama Anda kehendaki," jawab gadis itu. "Nama sara Unger," kata pemburu itu memperkenalkan diri. "Unger? Seperti nama Jerman." "Memang sara seorang Jerman. Percayakah Anda apa yang akan saya katakan?" "Tentu." "Kita harus menyeberangi sungai. Kami telah menemukan vaquero Domenico di seberang sana dan dari padanya kami mendengar segala hal ihwalnya. Kemudian kami mengalahkan musuh serta dapat membebaskan Anda." "Dua orang saja melawan musuh sebanyak itu?" Gadis itu memandang kepada tubuh pemburu yang kukuh kuat itu dengan penuh kekaguman. Di sinilah percakapan mereka itu berakhir. Keempat tawanan yang dibebaskan adalah tiga orang vaquero dengan majordomusnya, bernama Diego. "Apa yang akan kita perbuat sekarang?" tanya Diego. "Tidakkah lebih baik kita bertahan di sini? Kita mempunyai delapan senapan dan dapat mematahkan perlawanan mereka." "Jangan. Pertumpahan darah yang tidak perlu harus kita cegah." "Apa? Tidak perlu? Bila kita tidak mematahkan perlawanannya di sini, mereka akan mengikuti kita dan kita tak dapat mengusir mereka lagi." "Anda kira, kita dapat mengusir mereka dengan membunuh beberapa puluh orang dari mereka? Sebaliknya, akan menjadi alasan bagi mereka untuk membalas dendam. Lebih baik kita menyeberang sungai dan melanjutkan perjalanan. Biar kedua wanita itu naik ke sampan dahulu." Demikian terjadi, apa yang dikehendaki oleh pemburu itu. Majordomus mendayung sampan dengan kedua wanita tersebut di dalamnya ke seberang, sedang yang lain dengan menunggang kuda mengarungi sungai ke seberang. Sesampai di seberang, sampan ditenggelamkan. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan berkuda. Mereka tetap melarikan kuda cepat-cepat, beberapa jam lamanya. Sesudahnya baru mereka mengurangi kecepatan, dengan demikian percakapan mereka dapat berjalan lancar. Si Hati Beruang berkuda di sisi gadis Indian-Mixteca yang cantik-jelita itu, sedangkan Unger di sisi gadis Meksiko. "Kita sudah berjam-jam berjalan sebelah menyebelah, namun belum saling mengenal," kata pemburu itu kepada kawan gadisnya. "Sayang itu tidak benar," kata gadis itu sambil tertawa, "sebab saya sudah mengenal Anda. Saya mengetahui bahwa Anda suka mempertaruhkan nyawa untuk kepentingan orang lain dan bahwa Anda seorang pemburu yang perkasa dan hati-hati." "Itu pengetahuan yang dapat Anda peroleh sendiri. Tetapi masih harus ditambah lagi." "Silakan menambahnya, senor." "Nama saya Anton Unger. Saya hanya mempunyai seorang abang. Tidak ada lagi saudara saya yang lain. Abang saya dan saya bermaksud hendak bersekolah. Namun karena kekurangan biaya dan ayah kami meninggal, terpaksalah kami urungkan niat kami itu. Abang saya menjadi pelaut dan saya sendiri pergi ke Amerika. Di situ saya hidup mengembara dan akhirnya saya menetap sebagai pemburu di padang prairi." "Tetapi bagaimana Anda sampai terdampar di Rio Grande?" "Maaf, saya segan bicara tentang hal itu." "Jadi suatu rahasia?" "Yah, dapat dinamakan suatu rahasia, tetapi dapat juga dinamakan suatu kebodohan." "Saya ingin benar mengetahui." "Yah, kalau begitu saya menyerah saja." kata Unger sambil tertawa. "Rahasia itu sebenarnya mengenai suatu harta karun yang besar sekali." "Harta apakah gerangan?" "Harta terdiri dari ratna mutu manikam, emas dan perak yang berasal dari bangsa Indian zaman purba." "Di mana harta itu dapat ditemukan?" "Itu saya pun belum tahu." "Sayang! Tetapi dari mana Anda mendengar tentang harta itu?" "Di daerah utara. Suatu kali saya merawat seorang Indian berusia lanjut, dan sakit. Sebelum meninggal, ia mempercayakan rahasia itu kepada saya." "Akan tetapi, keterangan yang paling penting, di mana letak harta itu. justru tidak diberikan?" "Katanya, saya dapat menemukannya di Meksiko, di propinsi Coahuila, lalu saya diberi juga sebuah peta, berikut peta khususnya." "Daerah manakah yang dimaksud peta itu?" "Entahlah, karena peta itu menunjukkan garis-garis ketinggian, lembah-lembah serta aliran-aliran sungai, namun sama sekali tidak bernama." "Itu aneh. Tahukah Shosh-in-liett, kepala suku Apache, tentang harta itu?" "Tidak." "Bukankah ia sahabat Anda?" "Memang, ia sahabat saya yang sesungguhnya." "Namun Anda mau mempercayakan rahasia itu kepada orang seperti saya, yang baru saja Anda kenal?" Unger memandang lurus ke muka gadis Meksiko yang bermata biru itu, lalu menjawabnya, "Ada orang yang dengan sendirinya kita tidak mau menyembunyikan sesuatu terhadapnya." "Dan Anda kira aku termasuk orang demikian?" "Memang demikian." Wajah Emma menjadi merah padam. Ia mengulurkan tangan kepadanya, lalu menjawab, "Anda tidak salah. Saya akan memberi suatu keterangan kepada Anda, yang ada sangkut-paut dengan rahasia Anda itu, senor." "Silakan berceritera tentang hal itu," jawab Unger dengan gembira. "Saya kenal seseorang yang ingin mencari harta karun masa purba itu juga." "Wah! Siapakah orang itu?" "Tuan muda kami, pangeran Don Alfonso de Rodriganda Sevilla. Ia saudara sepupu serta ahli waris dan pangeran Fernando, yang tidak mempunyai putera itu. Dengan maksud mencari harta itu, ia tinggal sementara di rumah ayah saya." "Apa yang diketahuinya tentang harta itu?" "Umum sudah mengetahui, ketika kedatangan bangsa Spanyol pemegang-pemegang kekuasaan zaman dahulu telah menyembunyikan harta kepunyaan bangsanya di berbagai tempat tersebar di seluruh negeri. Lagi pula tersebar khabar tentang adanya tempat-tempat persembunyian emas dan perak dalam jumlah sangat besar. Tempat-tempat demikian disebut bonanza. Orang-orang Indian mengenal tempat-tempat ini, tetapi mereka lebih suka mati daripada membuka rahasia kepada orang kulit putih." "Namun Don Alfonso ini mendapat kepercayaan salah seorang Indian, sampai ia mengetahui tentang hartanya?" "Tidak. Kami yang mendiami hacienda del Erina mendengar dongengnya, bahwa dekat tempat kami itu terdapat sebuah gua, tempat suku Mixteca menyembunyikan hartanya. Banyak sudah orang mencari tempat itu, termasuk juga pangeran Alfonso, tetapi masih belum ada orang yang dapat menemukannya." "Di mana letak hacienda del Erina itu?" "Kira-kira sehari perjalanan dari sini, di lereng pegunungan Coahuila. Anda akan melihatnya sendiri, karena saya harap, Anda bersedia mengantar kami ke situ." "Saya baru berpisah dengan Anda, setelah saya tahu, bahwa Anda selamat tiba di rumah, senorita!" "Setelah itu pun Anda belum dapat meninggalkan kami, karena Anda harus tinggal dahulu bersama kami sebagai tamu kami, bukankah demikian, senor?" "Untuk keselamatan Anda sendiri saya lekas-lekas harus meninggalkan Anda. Saya tahu benar, bahwa diam-diam kita diikuti oleh beberapa prajurit Comanche. Mereka ingin mengadakan pembalasan dan menyerang kita. Karena itu setiba di hacienda, saya bersama si Hati Beruang akan kembali lagi untuk memata-matai mereka." "Tidak takutkah Anda, bahwa kita terkejar oleh kaum Comanche, sebelum kita tiba di hacienda?" "Tidak, karena kemungkinan demikian boleh dikata tidak ada. Kaum Comanche hanya dapat mengejar kita pada waktu siang hari, karena mereka harus mengikuti jejak kita. Sedang kita dapat berjalan siang dan malam. Jadi dengan sendirinya mereka akan tertinggal di belakang jauh. Mereka tidak mudah mengejar ketinggalan itu. Tetapi baiklah kita alihkan pembicaraan kepada harta karun itu lagi. Jadi tak seorang pun mengetahui di mana letak gua itu?" "Di antara kaum kulit putih tidak ada." "Mungkinkah barangkali seorang Indian?" "Benar. Ada seorang Indian, mungkin juga dua orang yang mengetahui tentang harta raja-raja zaman purba itu. Tecalto adalah satu-satunya keturunan raja-raja Mixteca zaman purba itu; ia pun menjadi ahli waris dari rahasia mereka. Dan Karja, yang berkuda di sebelah kepala suku Apache itu, adalah adiknya. Mungkin ia pun mengetahui rahasia itu." Kini Unger lebih memperhatikan gadis Indian itu dari biasanya. "Pandaikah ia menyimpan rahasia?" tanya Unger. "Saya kira demikian," jawab gadis Meksiko itu. "Namun," tambahnya sambil tersenyum sedikit, "kata orang, bahwa kepandaian wanita menyimpan rahasia hanya sampai pada batas-batas tertentu." "Sampai batas manakah yang Anda maksudkan, senorita?" "Batas cinta." "Wah! Mungkin sekali Anda benar," kelakarnya. "Dan bolehkah saya tanya, apakah Karja sudah mencapai batas itu?" "Nampaknya sudah." "Wah! Siapakah orang yang mendapat rezeki besar itu?" "Terka sendiri. Tidak susah." Pemburu itu mengerutkan kening. "Mungkinkah pangeran Alfonso, karena ia dengan demikian dapat mengetahui rahasia itu?" "Tepat sekali." "Dan mungkinkah ia akan berhasil, menurut pendapat Anda?" "Habis, gadis itu mencintainya." "Dan bagaimana dengan abangnya? Sebagai ahli waris tunggal dari raja-raja Mixteca, bagaimana pendapatnya tentang percintaan itu?" "Mungkin ia sama sekali tidak mengetahui tentang perhubungan itu, karena sebagai seorang cibolero (pemburu banteng kenamaan), jarang ia di hacienda." "Cibolero kenamaan? Kalau begitu, saya pun harus mengenalnya. Akan tetapi sayang, nama Tecalto tidak saya kenal." "Oleh kaum pemburu ia tidak dinamakan Tecalto, melainkan Mokashitayis." "Mokashitayis atau si Kepala Banteng?" tanya Unger dengan gembira. "Tentu saja saya kenal dia. Si Kepala Banteng itu pemburu banteng terbesar di wilayah antara sungai Red River dengan gurun Mapimi. Saya telah mendengar ceritera-ceritera tentang dia. Maka saya senang hati, akan berjumpa dengannya. Dan Karja adalah adik orang termasyhur ini? Saya harus memandangnya dengan rasa hormat juga." "Mungkin Anda ingin mencoba juga merayunya?" Unger tertawa. "Saya? Mana ada orang dari daerah Barat merayu! Dan mana dapat pula saya bersaingan dengan seorang pangeran Rodriganda! Andai kata saya mempunyai kepandaian merayu, tentu sudah saya coba pada orang lain." "Kepada siapa?" tanya Emma. "Tak lain tak bukan hanya kepada Anda, senorita!" jawabnya terus terang. Gadis itu melihatnya dengan mata berseri-seri. "Tetapi dari saya, Anda tak mungkin dapat mengetahui tempat harta karun itu." "Jangan khawatir, senorita! Tahukah Anda, bahwa ada harta yang tiada terhingga nilainya, jauh melebihi harta karun yang betapa pun besarnya? Dalam arti itu saya ingin menjadi penggali harta demikian." "Usahakan mencarinya, mungkin Anda akan menemukannya juga!" Lalu gadis itu mengulurkan tangan kepada pemburu itu dan menjabat tangannya dengan mesra. Dalam perjalanan, Unger mendengar, bahwa kedua gadis itu telah bepergian ke Rio Grande del Norte untuk merawat bibi gadis Meksiko tersebut, yang sedang sakit keras. Sayang, bahwa bibi itu akhirnya meninggal juga, meskipun mendapat perawatan yang sangat baik dari kedua gadis itu. Kemudian Arbellez mengirim majordomus Diego bersama beberapa orang vaquero menjemput mereka. Pada perjalanan pulang, mereka diserang oleh kaum Comanche. Sementara Unger bercakap dengan Emma, maka di belakangnya diadakan percakapan lain. Si Hati Beruang mengendarai kudanya di sebelah gadis Indian itu. Mata orang Apache itu memandang gadis Indian yang cantik itu dengan kagum, karena tidak canggung dapat mengendarai kuda yang separuh liar. Kepala suku itu bukan seorang yang banyak cakap. Tiap kata yang diucapkan mengandung lebih dari satu arti. Karja mengenal baik adat bangsa Indian, maka tiadalah mengherankan bahwa orang di sebelahnya diam saja. Tetapi ia dapat merasakan juga, bahwa ia sedang diamati oleh orang itu. Maka ia sangat terkejutlah, ketika kepala suku itu menegurnya. "Adik tergolong kepada suku bangsa mana?" "Suku bangsa Mixteca," jawabnya. "Itu pernah menjadi suku bangsa besar dan sampai sekarang terkenal karena wanitanya yang cantik-jelita. Apakah adik seorang squaw atau masih gadis?" "Saya masih belum bersuami." "Apakah hati adik masih menjadi milik adik sepenuhnya?" Orang Indian menganggap kurang sopan berbicara tentang hal semacam ini, biasa mengajukan pertanyaannya secara halus, berbelit-belit. Ketika gadis itu mendengar pertanyaan ini, mukanya menjadi merah, tetapi menjawab dengan tenang, "Tidak lagi!" Ia mengenal adat istiadat kaum Apache, dan mengetahui, bahwa ia harus terus terang dalam hai ini. Wajah orang Apache itu tidak berubah sedikit pun, lalu ia bertanya lagi, "Apakah hati adik sudah diberikan kepada orang dari bangsa adik sendiri?" "Tidak, kepada seorang kulit putih." "Hati Beruang menyesali adik. Adik jangan segan-segan memberitahu kepadaku, bila orang kulit putih itu menipu adik." "Ia tidak akan menipu saya," jawab Karja dengan bangga. Senyum simpul bermain di bibir orang Apache itu. Jawabnya, "Warna putih itu lekas bernoda. Baik adik sangat hati-hati dalam hal itu." Mereka melarikan kudanya tetap ke arah selatan. Sejam menjelang gelap mereka beristirahat sejenak. Baik manusia maupun hewan membutuhkan istirahat, melepaskan lelah. Setengah jam kemudian mereka melanjutkan perjalanan. Unger sangat kagum, melihat kawan gadisnya dapat bertahan terus menerus mengendarai kudanya. Diutarakan juga perasaan itu. Emma tersenyum, "Anda harus mengetahui, bahwa saya sejak kecil sudah tinggal di daerah ini. Kami selalu tinggal di daerah seperti hutan liar ini." "Belum pernahkah timbul keinginan dalam diri Anda untuk kembali ke dunia beradab, untuk hidup di antara mereka yang sebangsa dengan Anda?" "Sama sekali tidak. Di hacienda dapat saya peroleh segala sesuatu yang saya perlukan dan pergaulan dengan manusia alamiah, yang masih asli, lebih saya hargai dari pergaulan dengan golongan-golongan yang lebih beradab. Bukankah peradaban demikian kerap kali hampa dan palsu?" "Anda tepat mengambil perkataan. Saya pun lebih banyak menjumpai kesetiakawanan pada penduduk yang masih liar daripada di dunia yang sudah beradab. Sebagai contoh, lihat saja kepada kawan saya, orang Apache itu. Ialah orang Indian yang paling berani, gesit dan setia. Saya lebih suka mempercayakan diri saya kepada orang Apache itu sendirian daripada kepada berpuluh, bahkan beratus orang kulit putih. Mereka kerap kali hanya kulitnya yang berwarna putih bersih, namun hatinya hitam kelam." "Memang tak dapat disangkal, bahwa orang Apache itu dapat dipercaya. Tetapi selain dia, masih ada seorang lagi yang patut mendapat kepercayaan kita. Andalah sendiri orangnya!" "Jadi maukah Anda mempercayai saya?" tanya Unger dan matanya berseri-seri. "Dengan sepenuh hati!" jawab Emma. "Anda pandai memuji orang Apache itu, tetapi Anda lupa mengatakan, bahwa Anda sendiri dikaruniai sifat mulia demikian." "Sungguh benarkah demikian?" "Memang benar. Saya telah memperhatikan Anda. Sekarang saya tahu pasti, bahwa Anda bukanlah seorang pemburu biasa. Anda tentu mempunyai nama kehormatan juga, yang diberikan oleh kaum pemburu dan orang Indian kepada Anda." Ia mengangguk. "Tepat juga pendapat Anda itu." "Kalau begitu, apa nama kehormatan Anda itu?" "Ayo, Antonio, ingin benar saya ketahui." "Tidak maukah Anda menyebutnya?" "Sekarang tidak. Bila terlanjur disebut orang lain, maka saya akan mengakuinya." "Ada-ada saja. Anda seperti seorang raja yang sedang bepergian secara incognito." "Memang benar," kata Unger sambil tertawa. "Seorang pemburu yang baik bagaikan raja, raja hutan rimba dan raja padang prairi." "Raja! raja! Tiba-tiba saya teringat sebuah nama kehormatan yang terkenal: Matavase, yaitu Raja Batu Karang. Anda kenalkah dia?" "Tidak, namun saya mendengar, bahwa ia setanah air dengan saya. Nama sebenarnya Kari Sternau dan pekerjaannya dokter. Ia pernah mengembara bersama si Hati Beruang selama beberapa bulan di daerah pegunungan Batu yang sangat berbahaya itu. Kini ia sudah kembali ke Eropa." "Anda Juga berniat pulang ke tanah air?" "Baru setelah saya berhasil mengumpulkan harta cukup banyak, untuk membuat keluarga saya di sana dapat menempuh hidup sejahtera." Setelah perkataan itu mereka terdiam. Keduanya menyadari, bahwa mereka tak dapat terus menerus hidup bersama. Ungerlah yang mulai pembicaraannya. "Belum pernahkah terpikir melihat dunia yang luas, untuk bepergian? Ke Eropa misalnya?" "Belum pernah. Hacienda kami merupakan tanah airku dan saya, tidak pernah ingin meninggalkannya." "Tidakkah Anda pernah takut pada serangan orang Indian terhadap hacienda itu?" "Tidak. Hacienda merupakan benteng kecil." "Saya kenal perusahaan peternakan semacam itu. Rumahnya didirikan dari batu dan pekarangannya dikelilingi oleh tembok pertahanan. Dapatkah benteng demikian bertahan terhadap serangan musuh dengan tiba-tiba?" "Kami akan waspada dan Anda juga. Saya harap, Anda bersedia menjadi tamu kami!" "Saya harus berunding lebih dahulu dengan si Hati Beruang. Saya tak dapat berpisah dengannya." "Ia akan mau tinggal." "Ia mencintai kebebasannya. Tak mungkin ia dapat tinggal lama di dalam sebuah gedung." Emma tersenyum. "Namun saya mengetahui, ia akan dapat bertahan." "Mengapa pendapat Anda demikian?" "Saya telah melihat pandangan matanya kepada Karja." "Anda benar-benar pandai mengadakan pengamatan." "Sayang sekali bagi si Hati Beruang, bila ia membiarkan diri diseret perasaannya." "Tak usah khawatir! Jiwanya keras seperti besi. Percintaan tak dapat mematahkannya." "Dan bagaimana Anda sendiri? Terbuat dari besi jugakah kiranya?" "Memang demikian." "Jadi tak menderita juga oleh percintaan?" "Tidak!" "Gagah benar kedengarannya!" "Akan tetapi itulah kenyataan. Wanita yang saya cinta, harus dapat menghargai perasaanku. Tetapi, kita sudah ketinggalan! Orang Apache itu ingin cepat-cepat. Ia ingin menggunakan waktu siang hari untuk mencapai jarak sejauh-jauhnya. Kita jangan menyulitkan dengan berjalan lambat." Setengah jam telah berlalu, hari menjadi gelap. Mereka masih melanjutkan perjalanan mereka selama dua jam, sampai mereka menemui sebuah batang air. Pada suatu kelokan batang air mereka berhenti. Mereka berlompatan turun dari kuda dan menyiapkan tempat bermalam. Kuda-kuda ditempatkan dekat tepi sungai. Kemudian mereka menyalakan api unggun dan duduk-duduk di sekitarnya. Lebih masuk ke darat tumbuh semak belukar. Seorang penjaga di tempatkan di situ. Unger membuat tempat tidur yang empuk dari ranting-ranting dan daun-daunan untuk Emma; si Hati Beruang membuat juga untuk gadis Indian, kawannya. Itu merupakan suatu kehormatan besar, karena seorang Indian lazimnya tidak bersedia membuatkan seorang wanita sesuatu, yang dapat dikerjakan wanita itu sendiri. Akhirnya mereka tidur. Sudah diputuskan, masing-masing mendapat giliran jaga selama seperempat jam. Unger dan Hati Beruang mendapat giliran terakhir, justru karena saat-saat sebelum fajar menyingsing biasa digunakan bangsa Indian untuk melakukan serangan. Akan tetapi malam berlalu tanpa terjadi sesuatu dan ketika fajar menyingsing mereka berangkat lagi. Mereka melalui daerah, makin lama makin banyak dihuni orang. Tengah hari mereka mencapai tujuannya. BAB II HACIENDA DEL ERINA Hacienda del Erina merupakan sebidang tanah yang luas. Di dalamnya terdapat sebuah gedung dari batu alam. Gedung dikitari oleh dinding, dapat melindungi para penghuninya dari serangan musuh. Bagian dalam rumah tinggal dibangun dengan elok dan luas sekali, sehingga dapat dihuni oleh beratus-ratus orang. Di sekeliling rumah terdapat taman yang luas, ditanami tumbuh-tumbuhan tropis dengan bunga-bunga aneka warna dan menyebarkan bau harum semerbak ke sekelilingnya. Salah satu tepinya berbataskan hutan rimba, sedangkan tepi yang lain berbataskan ladang-ladang pertanian yang amat luas. Kedua tepi sisanya berbatasan padang rumput yang luas pula, tempat memelihara ternak beribu-ribu ekor banyaknya. Ketika rombongan kecil itu tiba di padang rumput, mereka disambut dengan gembira oleh beberapa orang vaquero. Tempik sorak mereka segera berubah menjadi luapan amarah, ketika didengar apa yang telah terjadi. Mereka menuntut segera dikirim rombongan orang untuk mengadakan pembalasan. Majordomus sudah pergi lebih dahulu untuk memberitakan kedatangan mereka. Maka Pedro Arbellez, yang sudah lanjut usia, sudah berdiri di depan pintu, menyambut kedatangan anak perempuannya dengan para pengawalnya. Dengan air mata berlinang, ia mengangkat anaknya dari atas punggung kuda. "Selamat datang, anakku," katanya. "Tentu banyak penderitaan yang telah kau tanggung dalam perjalananmu yang penuh dengan bahaya itu. Kau kelihatannya letih dan lelah." Dipeluknya sang ayah, lalu jawabnya, "Benarlah ayah, saya telah ditimpa malapetaka besar." "Malapetaka apakah kiranya?" tanya ayahnya, setelah menyambut wanita Indian kawannya juga dengan ramahnya. "Kami telah ditawan oleh kaum Comanche." "Astaghfirullah! Mereka sudah di Rio Grande?" "Tidak, tetapi kami kurang hati-hati, karena sampai ke dekat Rio Pecos. Di situ kami diserang. Dua orang inilah, yang menyelamatkan kami." Emma memegang tangan orang kulit putih dan tangan orang Indian itu, lalu diperkenalkan kepada ayahnya. "Don Antonio Unger dan Shosh-in-liett, kepala suku Apache. Tanpa mereka, saya sudah menjadi squaw orang Comanche, sedang yang lain mati di tiang penyiksa." Orang tua itu berkeringat sekujur tubuhnya, hanya dengan membayangkan kekejaman-kekejaman yang digambarkan. "Masya Allah, alangkah celaka, tetapi juga alangkah bahagia kita sekarang," katanya. "Selamat datang, senores, selamat datang! Anda harus menceriterakan segala pengalaman Anda dan saya akan berusaha memperlihatkan kegembiraan serta terima kasih saya. Silahkan masuk dan anggaplah rumah ini seperti kepunyaan Anda sendiri!" Sangat ramah penyambutan itu. Lagi pula orang tua itu menimbulkan kesan sebagai orang yang luhur budinya. Para tamu masuk melalui dinding pertahanan, menyerahkan kuda kepada para pelayan, lalu masuk rumah. Majordomus beserta para vaquero tinggal di ruang depan, sedang dua orang tamu beserta wanitanya diantar oleh haciendero ke salon. Mereka dipersilahkan duduk, lalu Emma menceriterakan secara ringkas pengalaman mereka. "Masya Allah," keluh haciendero, "alangkah pahitnya pengalaman Anda, anak-anak yang malang! Tetapi Tuhanlah mengirim kedua senores ini untuk menyelamatkan kalian. Puji syukur kepada Tuhan. Apa yang akan dikatakan oleh pangeran dan oleh Tecalto?" "Tecalto?" tanya Karja. "Si Kepala Banteng ada di sini?" "Benar. Kemarin baru tiba." "Dan pangeran pun juga?" tanya Emma. "Ya, sejak seminggu yang lalu. Nah, itulah dia!" Pintu yang menghubungkan dengan ruangan berikutnya terbuka dan pangeran Alfonso masuk ke dalam. Ia memakai baju kamar sutera berwarna merah, menerawang dengan indah dan menyebarkan bau harum semerbak menusuk hidung. Pintu yang tetap terbuka memperlihatkan ruangan makan. Ruangan itu diatur dengan cara mewah dan telah banyak mengeluarkan biaya. Dari serbet yang dipegang pangeran dalam tangannya dapat dilihat, bahwa ia tengah menikmati hidangan lezat ala Meksiko. "Saya mendengar namaku disebut orang," katanya. "Ha, senorita-senorita cantik sudah kembali lagi. Anda membawa kabar baik?" Demi melihat pangeran, wajah gadis Indian itu menjadi agak merah dan hal itu tidak luput dari penglihatan orang Apache itu. Namun Emma tidak terpengaruh sedikit pun. Ia menjawab dengan dingin, meskipun tetap sopan. "Seperti Anda lihat sendiri, tuan. Hampir kami tidak dapat kembali lagi. Kami telah ditawan oleh kaum Comanche." "Ascuas!" serunya. "Akan saya suruh mencambuk mereka!" "Itu tidak mudah dilaksanakan," jawab Emma menyindir. "Lagi pula kami sekarang sudah kembali dengan tak kurang suatu apa. Inilah pahlawan-pahlawan penyelamat jiwa kami." Pangeran itu mundur beberapa langkah, mengamati kedua pahlawan itu, lalu menarik muka, seolah-olah ia kecewa dan bertanya, "Siapakah orang-orang ini?" "Senor Unger dari Jerman dan Hati Beruang, kepala suku Apache." "Nah, orang Jerman dengan orang Apache. Kapan mereka berangkat lagi? Sebaiknya selekasnya." "Mereka adalah tamu saya dan mereka boleh tinggal di sini selama mereka menghendaki," jawab haciendero. "Apa kata Anda?" seru sang pangeran. "Saya bersama mereka di bawah satu atap? Mereka berbau hutan dan rawa. Saya tak tahan tinggal di sini lebih lama lagi!" Arbellez bangkit berdiri. Matanya bersinar-sinar karena marah. "Itu terserah kepada Anda. Saya tak dapat menahan Anda tetap tinggal di sini. Kedua senores itu telah menyelamatkan jiwa anak saya dan mereka saya terima dengan tangan terbuka." "Jadi, Anda membantah perkataan saya?" seru pangeran. "Terpaksa," jawab Arbellez dengan tegas. "Tahukah Anda, bahwa sayalah yang berkuasa di sini?" "Sepanjang pengetahuan saya bukan Anda." "Bukan saya? Siapa, kalau begitu?" "Pangeran Fernando. Anda di sini hanya tamu saja. Lagi pula bahkan pangeran Fernando pun tidak berhak mencampuri urusan saya dalam hal ini. Saya adalah pengontrak hacienda yang sah selama hidup saya. Maka tak ada orang, yang dapat memerintah saya, tamu manakah yang dapat saya terima dan manakah yang tidak." "Ascuas, itu sudah terlalu." "Yang terlalu sebenarnya Anda sendiri dengan sikap yang kasar terhadap tamu saya. Lagi pula, perlukah disebut-sebut tentang bau hutan dan rawa, yang sekali-kali tidak tercium oleh saya. Apakah wangi-wangian yang Anda pakai, yang terlalu menusuk hidung itu, tidak lebih memuakkan? Kini para tamu akan saya antar ke ruang makan. Terserah kepada Anda, masih mau melanjutkan makan atau tidak." Sesudah berkata demikian dibuka oleh haciendero pintu menuju ruang makan dan para tamu dipersilahkan masuk. Orang Indian itu berdiri tanpa bergerak, seolah-olah tidak mengerti, apa yang sedang diperbincangkan. Dengan sikap gagah ia masuk ke dalam ruang makan. Namun Unger pergi menghampiri pangeran. "Anda pangeran Alfonso de Rodriganda?" "Benarlah," jawab pangeran, terheran-heran karena pemburu ini berani menegurnya. "Senor Arbellez lupa memperkenalkan Anda kepada kami. Saya menantang Anda berduel. Anda boleh memilih senjatanya: anggar, pistol atau bedil." "Anda ingin berduel dengan saya?" tanya pangeran tercengang-cengang. "Tentu saja! Andaikata Anda menghina saya di luar hacienda, maka saya akan memukul Anda, tanpa pikir panjang lagi. Tetapi penghinaan ini terjadi di bawah atap tuan rumah yang saya hormati. Maka untuk menghormati beliau serta dua orang wanita, saya mengajukan tantangan itu." "Berduel? Dengan Anda? Siapakah Anda itu? Seorang pemburu, seorang pengembara, cis!" "Jadi tidak berani? Kalau begitu, Anda patut disebut seorang pembual dan pengecut, seorang yang patut dikasihani. Bila Anda tak mau mengubah pendirian Anda, harga Anda sudah ditentukan. Terserah kepada Anda!" Unger mengikuti orang Apache, kawannya. Pangeran berdiri termangu. "Arbellez, Anda membiarkan dia?" tanyanya kepada haciendero. "Anda sendiri tidak berani menghalangi?" jawabnya. "Mari, Emma, mari, Karja! Tempat kita di dalam ruang makan, bersama orang-orang terhormat." "Alangkah curangnya! Akan kuberi pelajaran kepada Anda, Arbellez!" "Terserahlah!" Orang tua yang gagah berani itu mengantar kedua wanita itu ke dalam kamar makan. Ketika Emma berjalan, melintas di hadapan pangeran, ia berkata, "Rendah benar perbuatan Anda tadi!" Wanita Indian mengikuti dengan kepala tertunduk. Ia tidak sampai hati mencela perbuatan kekasihnya, namun tak dapat ia menatap mukanya. Pangeran Alfonso tidak kembali ke kamar makan. Dilemparkannya serbetnya ke atas lantai, lalu diinjak-injaknya. Kemudian ia berkata dengan menggertakkan gigi. Barang siapa melihat pandangan matanya yang liar serta urat-urat dahinya membengkak karena marah, akan dapat membayangkan, bahwa dengan nekad ia sanggup melakukan tindakan kekerasan. Pangeran Alfonso sebenarnya bukan seorang yang berwajah buruk atau menjijikkan. Raut mukanya dalam keadaan tenang mungkin tampak menarik; tetapi kini, sedang dikuasai oleh setan amarah, wajahnya berubah menjadi buruk dan menjijikkan. Setelah terpaksa mengalami kekalahan, Alfonso pergi ke kamarnya sendiri. Sementara itu para tamu beserta tuan rumah dan kedua wanita itu sedang menikmati hidangan-hidangan istimewa di ruang makan. Hidangan terdiri dari semangka masak yang sudah dipotong-potong, air buahnya menitik ke atas pinggan perak; buah delima merekah, jeruk manis, granadilla dan segala masakan daging dan terigu, yang biasa dapat dinikmati oleh keluarga Meksiko. Sambil menyantap makanan, diceriterakan mereka lebih banyak tentang pengalaman-pengalamannya. Setelah itu, haciendero menunjukkan kepada para tamu, kamarnya masing-masing. Kedua orang itu mendapat kamar yang bersebelahan letaknya. Unger tidak dapat berlama-lama tinggal dalam kamarnya. Ia pergi ke taman. Kemudian ia mengamati kuda-kuda Meksiko, yang sedang makan rumput. Sedang berjalan-jalan di situ, tiba-tiba dilihatnya sesosok tubuh, tampak agak ganjil muncul di hadapannya. Orang itu bertubuh tinggi dan tegap; berbaju kulit, seperti dipakai oleh kaum cibolero. Di atas kepala memakai bagian atas dari kepala beruang. Dari kepala beruang itu bergantungan ke bawah beberapa lembar kulit, sampai hampir mencapai tanah. Pada ikat pinggang yang lebar, tersisip beberapa bilah pisau dan perkakas lain. Ia pun menyandang sebuah laso pada bahu kanannya. Pada pagar tersandar sebuah senapan, dari jenis yang seratus tahun lalu dibuat di Kentucky dan sangat berat, sehingga tidak dapat digunakan orang biasa. "Siapakah kau?" tanya Unger terheran-heran. "Saya Mokashitayis, dari suku Mixteca," jawabnya. "Apakah namamu Tecalto, cibolero yang termasyhur itu?" "Benarlah. Kau sudah kenal akan daku?" "Aku belum pernah melihatmu, namun sering kali mendengar namamu." "Siapa namamu?" Wajah orang Indian yang sungguh-sungguh itu menjadi cerah. Mungkin baru berusia dua puluh lima tahun. Mukanya tampan. "Jadi kaulah pemburu, yang telah menyelamatkan adikku, Karja." "Kebetulan nasib baik ada di pihak kami." "Bukan, itu bukan nasib. Kau telah merebut kuda-kuda dari tangan kaum Comanche dan kau telah mengikutinya. Kepala Banteng banyak berutang budi kepadamu. Kau sama perkasanya dengan Matavase, si Raja Batu Karang. Pernah juga aku mendengar nama lain lagi, yaitu Itinti-ka atau si Panah Halilintar. Nama itu diberikan suku Apache dan suku Comanche kepadanya." "Tetapi belum pernahkah kau melihatnya sendiri?" tanya pemburu itu. "Disebut demikian karena ia secepat dan setepat panah, sedang kekuatannya seperti halilintar. Senapannya belum pernah luput mengenai sasarannya dan matanya tajam, tak pernah salah dalam mengikuti jejak. Sampai sekarang belum pernah aku melihatnya. Namun kini ia berdiri di hadapanku." "Dari mana dapat kau kenali aku?" tanya Unger terheran-heran. "Dengan hanya melihat pipimu. Panah Halilintar mempunyai cacat bekas tusukan pisau di pipinya. Tanda-tanda pengenal demikian diingat orang. Benar tidak?" Unger mengangguk. "Kau benar. Aku diberi nama Itinti-ka, si Panah Halilintar." "Aku mengucap syukur kepada Manitou, karena aku diberi kesempatan bertemu denganmu. Kau seorang yang gagah perkasa. Mari kita berjabat tangan. Kau kuanggap saudaraku sendiri!" Mereka berjabatan tangan dan Unger berkata, "Selama kita dapat saling memandang, kita akan hidup sebagai saudara." Kemudian ditambahkan lagi oleh orang Indian itu, "Tanganmu adalah tanganku dan kakimu adalah kakiku pula! Awas bagi musuhmu, karena dia juga musuhku dan awas bagi musuhku, karena dia juga musuhmu! Aku adalah kau, dan kau adalah aku. Kita sebenarnya satu!" Si Kepala Banteng itu suka bercakap-cakap tidak seperti orang Indian yang tinggal di daerah utara. Akan tetapi Kepala Banteng tidaklah kurang wibawanya dari mereka yang lebih bersifat pendiam, yang mempunyai anggapan, bahwa seorang prajurit pantang sekali mencurahkan isi hatinya. "Kau tinggal di hacienda?" tanya Unger. "Tidak," jawab pemburu banteng itu. "Siapa mau tinggal di tempat, yang dibatasi oleh dinding? Tempat tinggalku di sini." Ditunjuknya padang rumput, tempat ia berdiri. "Kukira, tempat tidurmu yang terbaik di hacienda ini. Aku pun tidak dapat tahan tinggal dalam kamar saja." "Hati Beruang, kawanmu, telah mencari padang rumput juga. Aku telah berbicara dengannya dan mengucapkan terima kasih kepadanya. Kami sudah menjadi saudara, seperti juga kau dengan aku." "Di manakah ia?" "Ia duduk di sana, bersama kaum vaquero. Mereka sedang berceritera tentang serangan kaum Comanche." "Mari kita pergi ke tempat mereka!" Orang Indian itu meraih senapannya yang berat, memanggulnya, lalu menunjukkan jalan kepada orang kulit putih itu. Jauh dari rumah, di tengah-tengah kelompok kuda setengah liar, yang sedang makan rumput, serombongan vaquero sedang berbaring di atas tanah, sedang berceritera tentang kisah perjalanan majikan wanitanya. Si Hati Beruang tidak turut dalam percakapan itu, meskipun sebenarnya ia lebih mengetahui kejadiannya. Dua orang yang baru datang bergabung dengan mereka. Orang kulit putih, pahlawannya yang kedua, segera turut juga mengemukakan pendapat-pendapatnya. Akhirnya terjadilah percakapan yang asyik dan memikat perhatian, hanya dapat ditemukan di dalam suatu perkampungan di hutan rimba. Tiba-tiba percakapan mereka diganggu oleh bunyi dengus dan ringkik kuda yang sedang marah. "Apa itu?" tanya Unger, yang cepat-cepat menoleh, mendengar bunyi itu. "Kuda jantan si Hitam," jawab salah seorang vaquero. "Biar ia mati kelaparan, kalau tak mau menurut." "Mati kelaparan? Mengapa?" "Ia tidak dapat dijinakkan." "Masa?" "Benar, senor. Tak perlu sangsi tentang hal itu. Kami telah mencoba berbagai usaha. Tiga kali kami berusaha menjinakkan, tetapi sia-sia saja. Kami semua penunggang kuda yang tangkas, percayalah! Akan tetapi tiap kali kami akan naik, selalu dilempar oleh kuda setan itu ke atas tanah. Hanya seorang dapat menaiki." "Siapakah orang itu?" "Si Kepala Banteng, kepala suku Mixteca. Hanya dia seorang, tidak dilempar ke atas tanah. Namun ia tidak berhasil menjinakkannya." "Aneh. Siapa dapat tetap duduk di atas punggung kuda, harus juga menguasainya." "Itu pikiran kami juga. Tetapi si setan hitam itu lain dari pada yang lain. Setelah ia tidak berhasil melemparkan penunggangnya itu ke atas tanah, maka ia lari masuk ke dalam sungai. Setelah siasat itu tidak berhasil, ia lari masuk ke dalam hutan lebat dan menyapu penunggangnya dari atas punggungnya." "Terlalu!" seru Unger. "Memang harus diakui kebenarannya," kata si Kepala Banteng, "meskipun agak memalukan juga. Anehnya sampai sekarang aku selalu berhasil menjinakkan kuda yang betapa pun liarnya." Vaquero itu melanjutkan, "Di hacienda ini banyak penunggang kuda yang tangkas. Mereka masing-masing mencoba kekuatan serta kesigapannya, namun selalu sia-sia. Kata mereka, mungkin hanya seorang saja, sanggup menjinakkan kuda jantan itu." "Dan siapakah kiranya orang itu?" "Pemburu itu seorang asing, ia pengembara dekat sungai Red River. Bahkan setan di neraka pun sanggup ditungganginya. Kata orang, pemburu inilah pernah ada di tengah-tengah sekelompok kuda liar. Ia sanggup melompat dari satu kuda ke kuda yang lain untuk memilih, mana yang terbaik." Unger tertawa gembira, lalu bertanya, "Siapakah nama pemburu itu?" "Siapakah nama yang sebenarnya, tidaklah kuketahui, tetapi orang Indian menyebutnya Itinti-ka atau si Panah Halilintar. Banyak pemburu, yang datang dari utara, dapat berkisah tentangnya." Si Hati Beruang dan si Kepala Banteng berbuat seolah-olah tidak mengetahui, bahwa mereka sedang membicarakan Unger. Unger pun tidak membuka rahasia, lalu ia bertanya, "Di manakah kuda itu?" "Ia diikat di balik bukit itu." "Ayme! - wahai, itu sangat tidak adil." "Senor Arbellez sebenarnya sangat sayang kepada hewannya. Tetapi sekali ini ia bersumpah, akan membiarkan si Hitam mati kelaparan, bila ia tak mau menurut." "Jadi kalian telah mengikat mulutnya juga?" "Tentu saja." "Perlihatkan kuda itu kepadaku!" "Ikut saja, senor." Ketika mereka bangkit berdiri, tampak tuan Arbellez datang bersama anak perempuannya dan Karja, menghampiri mereka. Ia sedang dalam perjalanan keliling mengadakan inspeksi. Para vaquero mengantarkan Unger ke kuda liar itu. Kuda itu terbaring di atas tanah dengan keempat kakinya terikat dan sebuah keranjang di hadapan moncongnya. Matanya merah karena amarah dan dari moncongnya keluar busa bergumpal-gumpal. "Aduh, sayang benar!" seru Unger. "Habis, apa lagi yang dapat diperbuat?" tanya vaquero itu tanpa menunjukkan kasihan. "Itu merupakan penganiayaan! Tak dapat dibenarkan! Dengan demikian kuda yang sangat bermutu itu akan binasa." Kini rombongan Arbellez dengan kedua gadis itu menghampiri Unger. "Mengapa Anda bersitegang leher seperti itu, senor?" tanya Arbellez. "Anda membunuh kuda jantan itu!" jawab Unger terus terang. "Memang itulah kehendak saya, sebab ia tak menurut." "Kuda itu akan menurut juga, asal jangan dengan cara demikian." "Kami telah mencoba dengan segala macam usaha, tetapi sia-sia saja." "Usahakan seorang penunggang kuda yang tangguh untuk menaiki punggungnya!" "Tak ada gunanya! Sudah berkali-kali dicoba!" "Masa! Boleh saya menaikinya, senor?" "Tidak!" Unger memandang dengan rasa heran, "Mengapa tidak?" "Karena pekerjaan itu terlalu berbahaya bagi Anda." "Terlalu berbahaya? Lebih baik saya mati daripada membiarkan keadaan demikian. Sebagai seorang pencinta kuda, saya tidak tahan melihat kuda itu. Jadi bolehkah saya menaikinya?" Kini Emma, yang sedang cemas hatinya, menghampiri Unger. "Jangan izinkan Don Antonio menaikinya, yah. Ayah mengetahui, betapa berbahaya kuda itu." Unger memandang gadis itu dengan tersenyum. Kecemasan gadis itu merupakan bukti nyata, bahwa gadis itu tidak acuh tak acuh terhadapnya. Maka kemudian ia berkata dengan nada sungguh-sungguh, "Senorita, saya mohon, janganlah menyinggung perasaan saya. Saya sama sekali tidak takut pada kuda itu." "Anda belum mengenal kuda itu, senor," kata Arbellez. "Pernah saya mendengar, bahwa hanya Itinti-ka, si Panah Halilintar dapat menjinakkan kuda itu." "Kenalkah Anda pada Itinti-ka?" "Tidak, tetapi ia penunggang kuda terbaik, yang hidup di antara kedua samudera." "Namun saya tetap minta naik kuda tersebut." "Yah, saya harus meluluskan, meskipun dengan pedih hati. Karena Anda adalah tamu saya. Tapi bila berakibat buruk, jangan menyalahkan saya!" Kini Emma turun dari kuda, pergi menghampiri Unger, lalu mohon, sambil memegang tangannya, "Senor Unger, maukah Anda demi persahabatan kita mengurungkan niat Anda, naik kuda itu? Saya benar-benar cemas!" Unger memandang dengan penuh pengertian, "Senorita," katanya, "coba berterus teranglah kepada diri sendiri. Apakah baik dan terhormat bagi saya untuk mengatakan, mula-mula saya tidak takut, tetapi kemudian menarik kembali perkataan itu?" Gadis itu menundukkan kepala dan mengerti, bahwa Unger akan kehilangan muka terhadap para penunggang kuda yang tangkas itu, bila ia berbuat demikian. Maka katanya hanya, "Jadi tetapkah Anda pada pendirian Anda?" "Sungguh senorita, pekerjaan itu tidak sukar bagiku." Unger memandang kepada gadis itu dengan penuh keyakinan pada kesanggupannya, sehingga gadis itu akhirnya percaya, bahwa pekerjaan itu akan berhasil. "Mari!" kata Unger, lalu pergi menghampiri kuda liar itu. Beberapa orang vaquero hendak membantu membuka ikatan kuda, tetapi Unger memberi isyarat, supaya mereka pergi saja. Kuda masih berbaring, mendengus dan berguling-guling di atas tanah. Unger melepaskan keranjang dari mulut kuda, lalu memotong tali yang mengikat mulut kuda serta kaki depan dan kaki belakang. Dengan sangat menakjubkan melompat ke atas kuda yang sudah bangkit berdiri di atas kakinya itu. Kini mulai berlangsung pergulatan seru antara kuda dengan penunggangnya. Pertarungan demikian hebat belum pernah disaksikan oleh penonton. Kuda itu tiba-tiba mengangkat kaki depannya tinggi-tinggi, melompat dengan ganjil ke kiri dan ke kanan, memukul dan menggigit, membanting penunggang ke atas tanah, berguling-guling seperti kuda gila, bangkit melompat lagi, namun penunggangnya masih tetap di atas punggung. Peristiwa ini merupakan pergulatan antara ketangkasan manusia dengan tingkah liar seekor hewan, akan tetapi makin lama pergulatan makin berubah menjadi adu tenaga otot-otot manusia yang kuat melawan tenaga hewan. Kuda itu berkeringat. Ia tidak mengendus lagi, melainkan hanya mengerang. Ia berusaha mengumpulkan sisa tenaganya, tetapi penunggangnya pantang menyerah. Dengan paha sekuat tenaga dikepitnya tubuh kuda itu, sehingga hampir tak dapat bernapas lagi. Lalu kuda itu melompat yang terakhir kali dengan keempat kakinya tinggi-tinggi ke udara, untuk kemudian lari melompat melampaui pagar dan semak belukar, menghilang dengan penunggangnya dalam waktu kurang dari setengah menit. "Bagus! Bagus! Belum pernah kulihat pertunjukan semacam itu!" puji Arbellez. "Akan patah lehernya," kata seorang vaquero. "Takkan terjadi," kata yang seorang lagi. "Ia sudah berhasil menaklukkannya." "Betapa cemas hatiku," kata Emma terus terang. "Tetapi sudah tidak berbahaya lagi, bukankah demikian, yah?" "Jangan khawatir! Kau liat sendiri, betapa kokoh ia duduk di atas punggung kuda dan betapa kuat tenaganya. Seolah-olah ia bergulat dengan setan. Kukira, Itinti-ka sendiri takkan dapat mengatasinya." Kini si Kepala Banteng tampil ke muka dan berkata, "Memang Itinti-ka tak dapat mengatasinya, karena senor Unger tak lain si Panah Halilintar sendiri." "Apa?" seru Arbellez. "Dia? Si Panah Halilintar?" "Benar. Tanyakan kepada kepala suku Apache!" Pedro Arbellez memandang kepada si Hati Beruang dengan penuh tanda tanya. "Benar demikian," kata Hati Beruang. "Seandainya tadi sudah saya ketahui, saya tak menderita ketakutan seperti ini," kata haciendero. "Saya benar-benar takut, ketika ia mengendarai kuda itu. Seperti saya sendiri, yang duduk di atasnya." Emma terdiam saja, tetapi dalam hati ia sangat gembira. Semua orang tetap berdiri di tempat masing-masing. Mereka menanti dengan hati berdebar-debar. Setelah seperempat jam berlalu, kembalilah Unger. Kuda hitam itu letih, tetapi penunggangnya masih tetap duduk di atasnya, sambil tertawa gembira. Emma menghampiri. "Terima kasih, senor!" katanya. Orang lain akan bertanya, "Mengapa?" Akan tetapi Unger mengerti isi hati gadis itu, lalu tersenyum kepadanya. "Jadi, senor Arbellez," kata Unger. "Tidak perlu Itinti-ka mengendarai kuda itu, saya pun dapat." "Karena Anda sendiri Itinti-ka." "Ha-ha! Jadi rahasia saya sudah diketahui orang!" "Dan Raja dari padang savana itu tidak dapat bepergian secara incognito lagi," demikian ditambahkan oleh Emma. Semua orang berebut memuji, menyatakan kekagumannya kepada Unger. Namun ditolaknya segala puji-pujian itu. "Pekerjaan saya belum selesai," katanya. "Boleh saya ikut Anda dalam perjalanan Anda, senor Arbellez?" tanyanya. "Bukankah kuda jantan itu sudah terlalu lelah?" "Tidak. Ia harus dibawa pergi juga." "Baik, ikutlah kami!" Mereka mengendarai kuda, melalui padang yang luas. Di padang itu dipelihara kuda, lembu, domba dan kambing. Setelah pulang ke rumah, kuda jantan itu ditambatkan. Ketika Karja, si gadis Indian sedang menuju ke kamarnya, melintasi kamar pangeran, pintu kamar dibuka dan Alfonso keluar sebentar. "Karja, dapatkah kau bertemu aku hari ini juga?" "Pukul berapa?" tanya gadis itu. "Dua jam sebelum tengah malam." "Di mana?" "Di bawah pohon zaitun, dekat anak sungai." "Aku akan datang." Ketika malam tiba, orang-orang pergi menuju kamar makan, mereka dapat menikmati hidangan istimewa. Kedua kepala suku pun hadir juga, tetapi pangeran tiada tampak di situ. Ia telah menyelinap ke tempat pertemuan di bawah pohon zaitun. Di dekatnya mengalir anak sungai. Pada waktu yang telah ditentukan datanglah gadis Indian itu. Pangeran menyilahkan duduk. Gadis itu diam saja. "Ada apa dengan kau, Karja?" tegurnya. "Sudah tidak menghiraukan aku lagi?" "Aku masih cinta, meskipun sebenarnya kau tidak patut mendapat perhatianku lagi," jawabnya. "Tidak gembirakah hatimu mendengar, aku telah selamat?" "Ah. Mengapa kau berpikir demikian?" "Kau menghina pahlawan-pahlawan penyelamatku?" "Tempat mereka di luar, di padang rumput dan bukan di dalam hacienda." Gadis Indian yang rupawan itu menggelengkan kepala. "Itu bukan perbuatan mulia, Alfonso!" "Tetapi aku benci sesuatu yang buruk." "Jadi si Panah Halilintar kau anggap buruk?" "Si Panah Halilintar? Si pencari jejak? Tidak saya lihat dia!" "Kau telah melihatnya. Unger itulah dia." "Ascuas! Kini aku mengerti, mengapa ia menantangku." "Kau jadi berduel dengannya?" "Tak terpikir sedikit pun olehku. Ia tidak sederajat denganku." Gadis Indian itu mencintainya, maka jawabnya, "Aku setuju dengan pendirianmu. Jangan terima tantangan itu, karena pasti kau kalah." Tidak menyenangkan, mendengar dari mulut seorang kekasih, bahwa orang lain lebih gagah perkasa dari diri sendiri. Maka lekas-lekas ditambahkan oleh Alfonso, "Kau salah. Pernahkah kau saksikan, aku sedang menembak atau berkelahi?" "Belum." "Nah, kalau begitu kau tak berhak mengemukakan pendapatmu. Seorang pangeran harus melebihi orang biasa dan juga pemburu semacam itu. Tunggu sampai kau menjadi permaisuriku dan sempat menyaksikan kesanggupanku." "Jadi permaisurimu? Aduh, mungkinkah itu? Alfonso, aku sangat cinta kepadamu. Sungguh, kita akan hidup bahagia." "Memang, kebahagiaan itu tinggal dipetik saja. Segalanya tergantung kepadamu. Sudah kau ketahui syarat yang harus dipenuhi." "Tapi alangkah berat syaratmu itu, karena aku harus mengingkari sumpah-suciku. Aku harus mengkhianati bangsaku." "Bodoh, kalau mau diikat sumpah yang diucapkan, ketika kau masih anak kecil sekali. Sumpah demikian sudah lapuk. Lagi pula bangsamu kini sudah punah. Bangsaku akan menjadi bangsamu juga. Aku telah bersusah-payah pergi ke mari untuk mengetahui, benarkah kau masih cinta kepadaku atau tidak. Sayang, bila kau tidak memenuhi pengharapanku. Maka terpaksa aku pergi seorang diri ke Spanyol." "Kejam benar kau." "Bukan kejam. Aku hanya berhati-hati. Cinta yang tidak disertai pengorbanan, bukanlah cinta yang sesungguhnya!" "O, tidak!" kata Karja dengan penuh semangat, sambil memeluk kekasihnya. "Kau tahu, betapa besar cintaku kepadamu. Aku pun mau berkorban." "Maka buktikan dahulu! Dengarlah! Kita sungguh memerlukan harta karun itu untuk kepentingan raja baru di tanah airmu yang baru itu. Raja itu akan mengangkatmu menjadi bangsawan. Itulah jalan supaya kau dapat dinikahkan denganku. Tiadakah kau bangga menjadi puteri Rodriganda, permaisuriku?" "Sungguh benar perkataanmu itu?" "Memang benar. Sudah seribu kali kukatakan hal itu kepadamu." "Kau mau berjanji, tidak membuka rahasiaku kepada abangku?" "Abangmu takkan mengetahui, siapa yang mengambil harta itu." Alfonso senang hati, karena tampaknya gadis Indian itu terjebak ke dalam perangkapnya. Ia pura-pura mencintai gadis itu, hanya untuk mengetahui tentang rahasia harta karun itu. "Baik, kalau begitu. Akan kukatakan kepadamu, di mana harta itu dapat kau temukan. Tetapi dengan syarat, rahasia baru mau kubuka, setelah diadakan pengumuman tentang pertunangan kita." "Itu tak mungkin," katanya kecewa. "Kau baru dapat diangkat menjadi bangsawan, setelah diadakan penyerahan harta itu dan pertunangan kita baru dapat diumumkan setelah pengangkatanmu sebagai bangsawan. Itulah adat istiadat istana di negeriku, tidak dapat ditentang." "Benarkah semua itu?" tanya gadis Indian itu. Alfonso memeluk gadis itu dengan mesra dan menciumnya. "Memang demikian, percayalah, Karjaku sayang! Kau kan mengetahui bahwa aku tak dapat hidup tanpamu! Meskipun sebenarnya kau anak seorang raja, namun kebangsawananmu itu tidak diakui di negeriku. Menurut ukuran hatiku kau sederajat denganku, namun di mata dunia tidak demikian. Maka dapatkah kau percayakan rahasiamu kepadaku?" "Baik, akan kau ketahui rahasia itu," kata Karja, yang makin lama makin lemah pertahanannya. "Akan tetapi masih harus kau penuhi permintaanku yang remeh ini. Berikan lebih dahulu sebuah pernyataan tertulis kepadaku, bahwa kau akan menerima harta karun itu, jika kau mengambil aku sebagai isterimu." Syarat ini sebenarnya agak berat bagi Alfonso, tetapi setelah hampir tercapai tujuannya, masihkah harus terhambat oleh tingkah gadis itu? Jangan. Gadis Indian itu takkan sanggup menggunakan sepucuk surat untuk kepentingannya. Maka ia mengalah saja. "Boleh Karjaku sayang! Permintaanmu akan kupenuhi dengan segala senang hati. Jadi, katakan saja, di mana dapat ditemukan harta itu, sayang?" "Surat pernyataannya lebih dahulu, Alfonso sayang!" "Baik. Besok sore akan kusiapkan." "Memakai meterai." "Baik." "Malam harinya akan kuberitahukan tempat persembunyian itu." "Mengapa baru malam hari? Surat itu akan kau peroleh sore hari. Bolehkah aku datang mengunjungimu?" "Jangan. Aku takut, kalau Emma atau seorang pelayan datang. Mereka dapat menemukan kita berdua." "Kau saja datang padaku." "Masa aku yang datang?" tanyanya ragu-ragu. "Kau takut?" "Tidak. Aku akan datang." Kembali dipeluk dan diciumnya Karja, meskipun ia harus memaksakan diri berbuat demikian. Memang benar ia menyukai gadis-gadis, tetapi gadis Indian tidak sesuai dengan seleranya. Sedang Alfonso dan Karja duduk-duduk di bawah pohon zaitun, Unger mengantar Tecalto ke tempat tidurnya di atas rumput. Ia sudah biasa tidur beratap langit. Sebelum tidur, hendak menghirup udara segar lebih dahulu. Ia duduk di tepi kolam dahulu, di tengah-tengahnya terdapat sebuah air mancur. Belum lama ia duduk, ia mendengar jejak kaki perlahan-lahan di atas rumput. Seorang wanita melangkahkan kaki ke arah air mancur. Ia mengenali Emma, lalu segera berdiri, supaya jangan disangka mata-mata. Emma melihatnya juga, lalu agak ragu-ragu. "Senorita, jangan ragu-ragu! Silahkan ke mari," kata Unger. "Aku segera meninggalkan tempat ini, supaya jangan mengganggu Anda!" "O, Andakah itu? Kukira, Anda sudah lama tidur." "Kamar itu agak panas bagi saya; saya masih harus menyesuaikan diri." "Demikian juga dengan saya, maka saya ke mari." "Nikmatilah kesegaran malam, tanpa diganggu. Selamat malam, senorita." Unger hendak pergi, tetapi Emma menahan sambil memegang tangannya. "Biar Anda tetap di sini, bila Anda kehendaki. Alam indah ini kepunyaan Tuhan dan cukup luas untuk kita nikmati berdua. Anda sekali-kali tidak mengganggu saya!" Ia menurut dan duduk di tepi kolam di sisi gadis itu. Dalam pada itu kepala suku Mixteca membaringkan diri di taman dekat pagar. Ia menengadah ke langit dan melamun tentang bulan-bulan dan bintang-bintang, berjuta-juta banyaknya, yang tiada hentinya berputar dan dipuja oleh nenek moyangnya itu. Meskipun demikian tiap suara yang halus pun tiada luput dari perhatiannya. Benarkah ia mendengar langkah kaki perlahan-lahan di atas rumput dan suara berbisik? Ia mengetahui, bahwa pangeran selalu berusaha mendekati adiknya dan adiknya tidak sanggup mempertahankan diri terhadap rayuan sang pangeran. Maka curiganya mulai bangkit. Sudah selama satu jam pangeran maupun Karja tiada nampak di hacienda. Mungkin mereka diam-diam mengadakan pertemuan di taman? Itu harus diselidikinya. Perlahan-lahan ia berdiri dan memanjat pagar secara lincah, seperti biasa dilakukan oleh seorang Indian. Kemudian ia meniarap di atas rumput dan menyelinap, tanpa mengeluarkan suara, sehingga sampai tiada tertangkap oleh pendengaran Unger yang sudah terlatih. Maka orang Indian itu dapat mencapai tepi seberang kolam dan mendengar tiap-tiap kata yang diucapkan oleh kedua orang itu. "Senor, saya sebenarnya harus marah kepada Anda," kata Emma. "Anda telah menyebabkan saya ketakutan tadi." "Berhubung dengan kuda itu? Ya, Anda merasa ketakutan tanpa alasan. Saya pernah menjinakkan kuda-kuda sekurang-kurangnya sama liar dengan kuda itu. Lihat saja, kuda hitam itu sekarang sudah jinak sekali, sampai seorang wanita pun dapat menungganginya." "Tetapi masih ada baiknya, kejadian siang tadi. Anda terpaksa melepaskan incognito Anda. Anda tak dapat pura-pura bodoh lagi." "Bukan pura-pura bodoh," katanya sambil tertawa. "Itu hanya kebiasaan saya untuk berhati-hati. Justru karena orang menganggap saya pemburu biasa, saya sering dapat memperoleh keuntungan." "Tetapi kepada saya hal itu tidak perlu disembunyikan, bukan? Rahasia yang jauh lebih besar, sudah Anda percayakan kepada saya." "Rahasia itu sebenarnya tidak ada harganya bagi saya. Gua, yang berisi harta karun itu, besar kemungkinan tidak akan saya temukan, meskipun saya ada di dekatnya." "Mengapa demikian?" "Keadaan tanah, pegunungan dan sungai di daerah sekitar saya, telah saya selidiki. Daerah terakhir yang kita lalui, sesuai benar dengan peta saya." "Jadi ada harapan, Anda dapat menemukan harta itu dengan bantuan peta Anda." "Benar, tetapi saya rasa, tidak dapat melanjutkan penyelidikan itu. Saya ragu-ragu, apakah saya mempunyai hak untuk mengambil harta itu." "Saya kira, Anda mempunyai hak, bila Anda dapat menemukannya. Meskipun saya tidak melebih-lebihkan keuntungan memiliki harta itu, namun sudah pasti dengan memilikinya, Anda dapat memenuhi berbagai keinginan dalam hidup Anda. Beribu-ribu orang ingin kekayaan demikian. Maka carilah, senor. Anda akan menemukannya!" "Benar, harta itu membuat kita berkuasa," katanya sambil termenung. "Di negeri saya, ada seorang saudara yang miskin. Saya dapat membuatnya bahagia dengan harta itu. Tetapi harta itu sudah ada pemiliknya. Tentu keturunan raja-raja itu berhak memilikinya." "Dari siapa Anda memperoleh peta itu?" "Dari seorang Indian, seperti sudah saya katakan. Ia luka dan meninggal, sebelum ia dapat memberi keterangan-keterangan yang diperlukan secara lisan." "Namanya tidak tertera?" "Tidak. Di sudut tertera sebuah lambang aneh. Baik, saya mengambil keputusan akan tetap mencarinya. Tetapi bila saya menemukannya, saya tak akan menyentuhnya, sebelum saya dapat bertemu dengan pemilik yang sah." "Senor, Anda benar-benar seorang yang berbudi luhur." "Saya hanya mendengarkan kata hati, tak mau mengerjakan sesuatu yang tidak adil." "Saudara Anda itu miskin?" "Benar. Ia seorang pelaut dan ia selalu bergantung pada orang lain, kalau tak ada bantuan dari luar. Saya sendiri hanya memiliki sedikit uang dari hasil perburuan." "Milik Anda pasti lebih besar. Saya tidak percaya, seorang seperti Panah Halilintar, tidak memiliki harta lebih banyak. Maksud saya, harta lain dari emas." "Memang saya kenal harta demikian. Harta tak ternilai besarnya. Bila saya memiliki seratus kehidupan, semua rela saya abdikan kepadanya." "Bolehkah saya mengetahui, harta apakah yang Anda maksud gerangan?" Lalu suara Unger berubah menjadi terharu sekali, ketika ia membisikkan, "Andalah harta itu." "Saya percaya kepada perkataan Anda," kata gadis itu secara sederhana. "Saya beranggapan, bahwa hati manusia harus kita nilai lebih tinggi dari harta benda. Ingin saya sampaikan juga, bahwa saya pun mengenal harta rohani yang tak ternilai harganya." Unger, ketika mendengar ini merasa gembira, karena menduga sesuatu, yang sampai sekarang belum berani diharapkannya. "Harta apakah yang Anda maksudkan, senorita?" "Andalah - tidak, saya salah - kaulah harta itu, Antonio!" Dengan mengucap kata-kata itu didekapnya Unger dan dilekatkan kepalanya pada dadanya. "Sungguhkah demikian, mungkinkah demikian?" tanyanya. "Sungguh. Pertama kali aku melihatmu, ketika melepaskan belengguku, kemudian mengangkatku ke atas kuda, aku mengagumimu, aku cinta padamu. Kini aku milikmu. Mulai sekarang setiap saat dalam hidupku kuabdikan kepadamu." Maka ia pun membalas memeluk gadis itu dan berbisik, "Alangkah bahagia aku! Hampir-hampir tidak dapat dipercaya, bahwa nasib yang begitu baik menimpa seorang pemburu miskin." Mereka masih berpelukan beberapa waktu lamanya dan tidak mendengar, bahwa di tepi seberang ada sesuatu yang bergerak. Itulah si Kepala Banteng, sedang menyelinap kembali ke tempat tidur. Keesokan harinya, ketika Unger baru bangun, haciendero sudah masuk ke dalam kamarnya, memberi salam pagi. Dalam waktu singkat dalam perkenalan mereka haciendero sudah menaruh simpati yang besar pada tamunya. "Saya datang dengan sebuah permintaan," katanya. "Akan saya kabulkan, bila mungkin," jawab Unger. "Sampai sekarang Anda belum sempat memikirkan pakaian Anda. Saya menganggap, itu sudah perlu ditukar dengan yang baru dan boleh saya katakan saya mempunyai persediaan cukup dalam bidang itu. Jika Anda mau, harga-harga yang saya pasang, sangat murah." Unger menangkap maksud baik tuan rumah, namun di satu pihak ia tidak mau menyinggung perasaan dan di pihak lain ia pun sadar, bahwa baju perburuannya sudah sangat tidak layak. Ia berpikir sejenak, lalu menjawab, "Baik, saya terima tawaran Anda, senor Arbellez, tetapi dengan satu syarat, yaitu bahwa harganya janganlah terlalu tinggi, sebab saya hanyalah seorang miskin." "Hm. Sedikit harus dibayar juga, meskipun soal pembayaran tidak perlu dilakukan segera. Mari, senor, akan kuperlihatkan persediaanku!" Ketika Unger sejam kemudian berdiri di muka sebuah cermin, dirinya hampir-hampir tak dapat dikenali lagi. Ia memakai celana Meksiko, bersulamkan benang emas dan terbuka sedikit jahitan di bawahnya; sepatu bot ringan berpacu besar-besar; kemeja putih bersih dan baju luar pendek yang terbuka bagian depannya serta dihiasi dengan uang emas dan perak. Di atas kepala dipakainya topi sombrero bertepi lebar dan pinggangnya berlilitkan selendang sutera Cina yang sangat halus. Rambutnya dipangkas dan janggutnya digunting rapih-rapih. Hampir-hampir ia tak dapat mengenali dirinya kembali dalam pakaian yang indah dan mewah. Ketika ia masuk ke dalam kamar makan untuk makan pagi, dijumpainya Emma di situ. Gadis itu merah mukanya, ketika dilihatnya, betapa banyak perubahan yang terjadi atas diri Unger. Karja baru sekarang dapat melihat, betapa gagahnya orang kulit putih itu. Barangkali ia membanding-bandingkan dengan pangeran. Kedua kepala suku Indian pura-pura tidak melihat perubahan itu. Hanya seorang menjadi kesal sekali. Orang itulah pangeran. Ia sedang gembira, mengingat harta karun akan jatuh ke dalam tangannya. Ketika ia masuk ke ruang makan untuk makan pagi, demi dilihatnya Unger menjadi pusat perhatian, ingin sekali ia langsung meninggalkan ruang itu. Apalagi ketika dilihatnya Emma asyik berbicara dengannya. Pangeran menggertakkan giginya dan mengambil keputusan, diam-diam hendak mencelakakannya. Selesai makan pagi, Emma minta kepada Unger dan ayahnya, supaya jangan meninggalkan ruangan dahulu. Unger sama sekali tidak menduga, apa yang dikehendaki gadis itu. Tetapi ketika mereka hanya bertiga, maka gadis cantik itu menarik ayahnya, lalu berkata, "Ayah, bukankah kemarin kita berunding untuk menentukan, bagaimana sebaiknya kita dapat membalas budi senor Unger?" "Memang," katanya, "namun kita tak dapat menemukan caranya." "Kemudian saya terus memikirkan hal itu," kata gadis itu. "Dan akhirnya saya menemukan cara paling tepat. Mau ayah melihatnya?" "Tentu saja, nak!" Maka Emma menghampiri Unger, lalu menciumnya. "Inilah cara yang saya maksudkan, ayah, dan saya kira, ia patut menerima." Mata haciendero bercahaya dan berlinang-linang. "Apakah senor Unger juga berkenan dengan hadiah itu?" "Saya bergembira, ayah, karena tahu, bahwa Antonio mencintaiku." "Sudahkah ia mengatakan sendiri?" "Sudah!" katanya dengan air mata berlinang. "Bilamana?" "Semalam. Di taman. Tapi ayah, perlukah Anda mengetahui semua? Tidak cukupkan Anda mengetahui, bahwa saya sedang bahagia?" "Memang, itu sudah cukup, meskipun harus kukatakan bahwa kamu telah membuatku bahagia juga. Dan bagaimana dengan Anda, senor Unger, benarkah Anda rela menjadi menantu seorang yang sudah tua dan sederhana?" "Saya merasa bahagia sekali!" jawabnya. "Tetapi saya ini hanya seorang miskin." "Tidak apa. Justru saya menjadi lebih kaya lagi oleh karena itu. Semoga Tuhan memberkati kita semua dan menjadikan hari ini permulaan dari kehidupan yang bahagia!" Mereka saling memeluk dalam keadaan yang penuh bahagia, ketika pintu terbuka dan pangeran masuk ke dalam. Ia berdiri terpaku. Segera diketahuinya, apa yang sebenarnya terjadi dan ia menjadi pucat karena berangnya. "Saya merasa, bahwa saya mengganggu!" katanya. "Jangan pergi dahulu, dengarlah tentang pertunangan puteri saya dengan senor Unger!" kata haciendero. "Saya ucapkan selamat!" Setelah mengucapkan perkataan itu, dengan amarah yang tertekan, ia meninggalkan ruangan. Pedro Arbellez tidak tanggung-tanggung mengumumkan kepada para pegawainya, bahwa hari itu menjadi hari libur berhubung dengan perayaan pertunangan senorita Emma. Hacienda dengan daerah sekitarnya menjadi ramai. Gegap gempita terdengar tempik sorak kaum vaquero serta orang-orang Indian, pekerja hacienda. Semua sayang kepada majikannya. Mereka pun mengenal senor Unger sebagai seorang pahlawan yang gagah perkasa, maka sangat rela menganggap sebagai tunangan gadis, puteri majikannya itu. Ketika Unger hendak pergi ke padang rumput, dijumpainya kepala suku Mixteca. "Kau seorang yang gagah berani," kata kepala suku itu. "Kau menaklukkan lawanmu serta merebut hati gadis tercantik di negeri ini. Semoga Manitou memberkatimu!" "Benarlah, aku telah mendapat rezeki besar," jawab si kulit putih. "Aku pemburu miskin, tiba-tiba menjadi seorang haciendero yang kaya raya." "Kau tidak miskin, kau kaya!" "Bagaimana dapat dikatakan kaya," kata Unger sambil tertawa, "tidurku beratap langit, berselimut embun." "Tidak," kata orang Indian itu sungguh-sungguh. "Kau benar-benar kaya. Bukankah kau mempunyai peta tentang harta karun?" Orang kulit putih itu melangkah ke belakang, terheran-heran. "Dari mana kau ketahui?" "Aku mengetahui! Bolehkah aku melihat petanya?" "Boleh. Ikut saja aku!" Unger mengantarkan orang Indian itu ke kamarnya, lalu membentangkan secarik kertas yang agak kumal di hadapannya. Tecalto melayangkan pandangnya ke arah sudut peta itu. "Benarlah. Ini lambang Toxertes, ayah dari ayahku. Ia harus meninggalkan tanahnya dan tidak kembali lagi. Kau tidak miskin. Maukah kau melihat gua yang berisi harta karun itu?" "Dapatkah kau tunjukkan kepadaku?" "Dapat." "Milik siapakah harta itu?" "Milikku dengan Karja. Kami adalah sisa dari keturunan raja-raja Mixteca. Sukakah kutunjukkan jalannya?" "Suka." "Bersiaplah menjelang tengah malam. Perjalanan hanya dapat ditempuh pada malam hari. Tak boleh diketahui orang. Hanya wanita yang kau cintai boleh mengetahuinya. Karena ia sudah mengetahui bahwa kau sedang mencari harta itu." "Aneh. Dari mana dapat kau ketahui?" "Aku telah mendengar tiap-tiap kata, yang kau ucapkan semalam di taman. Kau memiliki peta itu, namun tidak mau mengambil harta. Kau ingin bertemu lebih dahulu dengan pemilik yang sah. Kau seorang yang jujur, jarang bersua pada orang kulit putih lainnya. Karena itu kau akan diberi kesempatan melihat harta itu." Sejam kemudian, pada waktu makan siang, ketika orang-orang masih bercakap-cakap sehabis makan, gadis Indian itu menyelinap ke kamar pangeran. "Sudahkah kau siapkan suratnya?" "Dapatkah kau membaca?" "Dapat," jawab gadis itu bangga. "Inilah suratnya!" Alfonso memberi Karja selembar kertas, yang berisi tulisan seperti berikut: "Dengan ini saya menyatakan, bahwa telah menerima harta raja-raja Mixteca, saya menganggap diriku sebagai tunangan Karja, ahli waris raja-raja itu, lalu hendak membawanya sebagai isteri ke tanah air saya. Alfonso Pangeran de Rodriganda y Sevilla. " "Cukupkah demikian?" tanyanya. "Perkataannya benar, hanya masih belum ada materainya." "Itu tidak perlu." "Kau telah berjanji kepadaku." "Baik, meterai itu akan kau dapat," katanya dengan menyembunyikan kekesalan hatinya. Alfonso membubuhkan capnya di bawah surat itu. "Ini, Karjaku! Sekarang pegang juga janjimu!" "Akan kupegang janjiku. Tahu kau letak gunung El Reparo?" "Saya tahu. Letaknya empat jam perjalanan dari sini ke arah barat." "Bentuknya menyerupai bendungan yang memanjang, tempat keluarnya tiga anak sungai. Anak sungai di tengahlah, yang harus kau perhatikan. Permulaannya bukan suatu mata air. Anak sungai itu keluar dari dalam tanah, sudah sebagai sungai yang lebar. Kau dapat mengarungi air itu dengan membungkuk di tempat air itu keluar dari gunung. Bila tempat itu kau masuki, kau akan tiba dalam gua." "O, mudah kalau begitu." "Memang mudah." "Apakah diperlukan juga penerangan?" "Di sebelah kanan ruang masuk itu akan kau temukan beberapa batang obor." "Sudah semua yang hendak kau beritahukan kepadaku?" "Sudah semua." "Benarkah harta itu dapat ditemukan di situ?" "Seluruh harta selengkapnya." "Terima kasih, Karjaku sayang! Kini kau sudah menjadi tunanganku dan tak lama lagi kau akan menjadi isteriku. Tetapi lekas pergi sekarang! Orang dapat menemukan kita berdua." Karja pergi. Ia telah berkorban dan korban itu menekan berat kepada jiwanya. Ia harus menghadiri pesta pertunangan hari itu, tetapi sebenarnya hatinya merasa sedih. Pangeran tetap tinggal dalam kamar. Siang hari datanglah seorang pengantar surat dari ibu kota Meksiko. Surat itu dialamatkan kepadanya pribadi. Setelah surat itu dibaca, ia melamun sejenak, kemudian melompat dan berkata dalam hati, "Mungkin merupakan suatu kejahatan. Peduli apa! Aku setuju, karena akan mendatangkan mahkota pangeran bagiku. Untunglah aku sudah siap untuk berangkat. Akan kubawa kekayaan, akan menjadi bahan iri hati raja-raja di dunia." Surat itu berbunyi demikian: "Keponakanku yang baik! Ayahmu telah menulis surat. Surat itu diterima delapan hari setelah kepergianmu. Engkau harus berangkat ke Spanyol, ke istana keluarga Rodriganda. Akan tetapi, pangeran Fernando yang sudah tua sudah meninggal lebih dahulu. Kapten Landola sementara itu akan berangkat ke Vera Cruz. Pamanmu Pablo Cortejo. " BAB III HARTA KARUN RAJA RAJA Perayaan berlangsung, tanpa mendapat gangguan sesuatu, terutama karena pangeran tidak menampakkan diri. Kini ia sudah tahu rahasianya. Ia menyuruh kedua pelayannya mengemasi barang-barangnya. Setelah makan malam, diberitahukannya kepada Arbellez, bahwa ia akan berangkat malam itu. Meskipun perbuatan itu tampak ganjil, namun Arbellez tidak menanyakan sebabnya atau berusaha menghalang-halangi. Ketika Alfonso kemudian meninggalkan rumah, dijumpainya Karja, sudah menanti di taman beberapa waktu lamanya. Karena sudah yakin tujuannya akan berhasil, ia berbuat bodoh dengan mengatakan kepada Karja, "Tadi telah kuberitahukan pada Arbellez, bahwa aku akan berangkat." "Ke mana?" tanya gadis itu. "Ke ibu kota." "Dan bagaimana dengan hartanya?" "Itu akan kuambil lebih dahulu. Mungkin hanya sebagian dahulu. Pelayanku siap sedia dengan kudanya dan akan pergi ke gunung El Reparo, untuk menggali harta tersebut. Dari situ aku langsung pergi ke Meksiko." "Bilamana kau kembali lagi?" "Entahlah." "Kau jemput aku di sini?" "Baru setelah rencanaku benar-benar selesai." Perkataan itu diucapkan dengan nada agak menyindir. Gadis Indian itu mulai menyadari, bahwa ia sedang dipermainkan. "Bila kau tidak kembali, saya akan mencarimu di ibu kota," katanya. "Janganlah berbuat demikian. Kau tinggal menantikan kedatanganku kembali di sini!" kata pangeran dengan sombong. "Kau berani menegurku dengan nada sombong itu? Kukira, seorang pangeran tidak layak memperlakukan calon isterinya sedemikian rupa." "Harus kau cari kesalahan pada dirimu sendiri. Bila kau datang dengan permintaan yang aneh-aneh, maka kau tak layak dapat kubawa ke dalam kalanganku." Gadis itu terkejut dan berkata terbata-bata, "Kurasa kau mempermainkanku! Kau pandai berpura-pura, hanya untuk mendapatkan harta itu." "Seorang pangeran tidak dapat berbohong, soalnya, aku hanya lebih cerdik daripadamu. Harta itu sudah menjadi milikku dan kau harus tunduk pada peraturanku. Bila kau tak mau, terserahlah. Aku tidak merasa terikat lagi oleh perjanjian kita." Karja memekik. Pangeran terkejut dan menyesal atas perbuatan bodoh itu. Ia mendengar bunyi langkah kaki di lorong. Kesombongannya berubah menjadi rasa sangat ketakutan. Cepat ia melarikan diri ke tempat pelayannya sedang menanti. Karja berjalan terhuyung-huyung, masuk ke dalam rumah dan langsung jatuh pingsan di dalam tangan Arbellez. Arbellez membawanya ke dalam kamar. Tidak lama kemudian berduyun-duyunlah orang masuk ke dalam rumah. Mula-mula tak ada yang mengetahui, bahwa orang kulit putih dengan si Kepala Banteng tidak hadir di situ. Emma berlutut di sisi gadis pingsan itu. Kemudian Karja membuka mata, melepaskan diri dari pegangan kawannya, lalu bangkit. Dengan muka merah padam, ia berseru sekuat suaranya. "Uf, siapa mau ikut aku untuk menangkap dan membunuh pangeran, karena ia seorang penipu dan pengkhianat. Ia bermaksud mencuri harta raja-raja dan ia telah pergi bersama dua orang pelayan ke gunung El Reparo." "Masya Allah!" kata Emma. "Senor Unger telah pergi juga dengan Tecalto ke situ. Sebenarnya harus kurahasiakan, tetapi apa boleh buat! Keadaan memaksa!" "Maka mereka dalam bahaya!" seru gadis Indian itu. "Pangeran akan menemukan senor Unger dan abangku di situ dan akan membunuh mereka. Senor Arbellez, tiuplah serunai tanda ada bahaya! Kumpulkan semua vaquero dan cibolero! Mereka harus ke gua-gua harta raja-raja untuk menyelamatkan kedua orang itu." Kini terdengar bunyi hiruk-pikuk orang bertanya dan menjawab. Hanya orang Apache itu tetap tenang saja. Ia sedang memperhatikan Karja. Alangkah cantik gadis itu, ketika meluap-luap amarahnya. Perangai wanita Indian sejati! Maka berkatalah ia, "Siapa tahu, di mana letak gua itu?" "Saya," jawab Karja. "Saya dapat menunjukkan pada Anda jalan ke situ." "Dapatkah dicapai dengan naik kuda?" "Dapat." "Biar gadis itu dengan seorang vaquero menemani saya! Lebih dari itu tidak saya perlukan. Karena lawan kita hanyalah tiga orang." "Saya pun turut!" kata Arbellez. "Jangan!" kata orang Apache itu tegas. "Kalau Anda pergi, siapa yang mengatur hacienda? Berikan saya seorang saja. Yang lain perlu menjaga hacienda. Itulah yang sebaiknya." Itu pun yang dikerjakan mereka. Arbellez pergi dan tak lama kemudian vaquero yang diperlukan tiba. Karja menaiki kuda, lalu mereka berangkat. Suasana hiruk pikuk yang baru lalu menyebabkan keberangkatan agak terlambat. Beberapa jam sebelumnya, selesai perayaan pesta pertunangan, orang-orang sudah menuju ke tempat tidurnya, pergilah si Kepala Banteng ke kamar Unger. "Sudah siap?" Kepala Banteng bertanya. "Sudah." "Mari kita berangkat!" Unger mengambil senjata dan mengikuti orang Indian itu. Di bawah, tiga ekor kuda sudah siap, dua ekor berpelana dan seekor lagi berpelana pembawa beban. "Apa maksud Anda dengan kuda itu?" tanya Unger sambil menunjuk ke arah kuda beban itu. "Telah kukatakan, bahwa kau bukan seorang miskin. Kau tidak mau mencuri harta ini. Karena itu kau diizinkan, membawa pulang sebagian harta itu, sebanyak yang dapat diangkut oleh seekor kuda." "Apa-apaan!" seru Unger terkejut. "Jangan bantah, lekaslah, ikut aku." Orang Indian itu naik ke atas kudanya, memegang tali kekang kuda beban itu, lalu pergi. Pemburu itu mengikutinya. Hari gelap gulita, tetapi orang Indian itu mengenal jalannya dan kuda Meksiko separuh liar itu matanya setajam kucing dalam gelap. Mereka tidak dapat maju pesat, karena harus menempuh jalan pegunungan, yang hampir tidak dapat dilalui. Si Kepala Banteng tidak berkata sepatah kata pun. Malam itu sunyi sepi. Tak ada suara lain yang terdengar selain bunyi dengus kuda. Sejam berlalu, sejam lagi dan sejam lagi. Kemudian terdengar desir air. Mereka tiba pada suatu anak sungai dan menelusurinya. Sekonyong-konyong mereka melihat sebuah punggung gunung di hadapannya. Di kaki gunung orang Indian itu turun dari atas kudanya. "Kita akan menunggu di sini sampai hari menjadi siang," katanya. Unger turun dari atas kudanya, membiarkan kudanya memakan rumput dan duduk di atas sebuah batu besar di sisi Kepala Banteng. "Sudah dekatkah gua itu?" tanyanya. "Sudah. Di tempat air keluar dari pegunungan. Kau harus masuk ke dalam air, membungkukkan badan dan merangkak ke dalam lubang. Kau akan tiba di gua itu. Tak seorang pun mengetahui tentang besar dan berapa jumlah cabang-cabang gua itu, kecuali Kepala Banteng dan Karja." Unger ingat perkataan Emma yang berhubungan dengan hal itu, lalu katanya, "Akan tetapi seorang yang ingin mengetahui rahasia itu dari Karja. Ialah pangeran Alfonso." "Uf! Kita harus hati-hati!" "Kau kawanku, harus kau ketahui, bahwa adikmu menaruh cinta kepada orang Spanyol itu." "Aku sudah mengetahui." "Tapi bila ia membuka rahasia itu kepadanya?" "Dalam hal itu Kepala Banteng masih ada. Orang kulit putih itu tak akan mendapat bahagian sedikitpun juga dari harta itu." "Besarkah harta itu?" "Kau akan melihatnya sendiri. Semua emas di Meksiko dikumpulkan menjadi satu, masih belum sepersepuluh bagian dari harta itu. Hanya seorang kulit putih berhasil menyaksikan harta itu dan..." "Kau telah membunuhnya?" "Tidak. Ia tidak perlu dibunuh, karena ia menjadi gila, setelah melihat harta itu, dan karena kegembiraan yang amat besar. Orang kulit putih itu tidak dapat menahan diri, melihat harta terkumpul sebanyak itu. Hanya orang Indian yang tahan." "Dan kau hendak memperlihatkan sebagian saja dari harta itu kepadaku juga?" "Tidak, aku hendak memperlihatkan sebagian saja dari harta itu kepadamu, karena aku sayang kepadamu. Aku tak ingin melihatmu menjadi gila juga. Coba boleh aku periksa nadimu?" Orang Indian itu memegang tangan Unger, lalu meraba nadinya. Kemudian ia berkata, "Benar, kau orang kuat. Jiwamu masih belum terpengaruh emas itu. Tetapi bila kau sudah masuk gua itu, darahmu akan berdesir seperti air terjun dari batu karang itu." Percakapan itu terhentilah. Orang kulit putih itu dihinggapi perasaan aneh. Kini langit mulai menampakkan warna. Cahaya sayup-sayup di timur mulai bertambah terang. Tak lama kemudian makin jelas kelihatan benda-benda di sekitarnya. Unger melihat di hadapannya gunung El Reparo. Lerengnya penuh pohon eik. Di kaki gunung keluarlah sebuah anak sungai dari dalam batu-batunya. Anak sungai itu lebar satu meter dan dalam satu setengah meter. "Itukah jalan masuknya?" tanyanya. "Benar," jawab si Kepala Banteng. "Tetapi kita belum akan masuk. Kita harus menyembunyikan kuda-kuda kita. Orang yang harus menjaga harta harus berlaku hati-hati." Mereka menyembunyikan kuda di balik semak-semak. Kemudian mereka kembali ke anak sungai, lalu menghapus jejak kaki mereka, seperti biasa dilakukan orang Indian. Akhirnya mereka sampai pada batu karang, tempat air itu keluar melalui suatu lubang. "Mari!" kata si Kepala Banteng, lalu masuk ke dalam air; di antara permukaan air dengan batu karang terdapat ruang kosong, sehingga mereka dapat mengangkat kepala ke atas air. Selama beberapa waktu mereka harus mengarungi air, kemudian tiba dalam ruangan gelap. Udara di situ kering, meskipun ada anak sungai. "Coba lihat tanganmu!" perintah orang Indian itu, lalu mengantar pemburu itu ke tempat kering. Kemudian dirasakan lagi denyut nadinya. "Jantungmu kuat!" katanya, "aku akan menyalakan obor." Ia menjauh beberapa langkah dari Unger. Tak lama kemudian tampak kilatan api di udara, diikuti oleh bunyi desis lalu sebatang obor mulai menyala. Tetapi apa yang terjadi? Bukan hanya sebatang, melainkan tampak seperti beribu-ribu batang menyala serentak. Unger merasa seperti di tengah-tengah matahari, cahayanya menyilaukan mata. Sedang menghadapi pancaran cahaya terang benderang itu, terdengar suara orang Indian itu berkata, "Inilah gua dengan harta raja-raja! Kuatkan imanmu!" Beberapa saat berlalu, sebelum mata Unger dapat membiasakan diri dengan keadaan cemerlang ini. Gua itu berbentuk bujur sangkar tinggi, panjang dan lebarnya kira-kira enam puluh langkah kaki dan dilalui anak sungai itu. Anak sungai itu permukaannya ditutup dengan plat-plat batu. Ruang itu dari lantai dasar sampai ke langit-langit yang lengkung, penuh berisi barang perhiasan yang tak ternilai harganya, cahaya yang menyilaukan itu dapat menggoncangkan iman, biar berapa teguh sekalipun. Terdapat berhala-berhala bertahtakan ratna mutu manikam, terutama yang melambangkan dewa udara Quetzalcoatl, dewa pencipta Tetzkatlipoka, dewa perang Huitzilopochtli dengan isterinya dewi Teoyaniqui, serta berhala saudaranya Tlakahuepankuexkotzin. Selanjutnya berhala dewi air Chalcuikueja, dewi api Ixcozauhqui dan dewa anggur Cenzontotochtin. Beratus-ratus dewa rumah terdapat di atas rak-rak; patung-patung demikian terbuat dari logam mulia atau diasah dari batu kristal. Di antaranya terdapat bermacam-macam alat perang emas, pot-pot emas dan perak, perhiasan bertahtakan intan, pisau untuk memotong kurban, pucuknya bertatahkan batu berkilauan. Pucuk pisau itu sendiri sudah tidak ternilai harganya. Perisai dari kulit binatang berlapis emas tempa. Di tengah langit-langit tergantung sesuatu bagaikan lampu hias yang menakjubkan. Sebuah mahkota raja berbentuk mahkota seperti sebuah pici, terbuat dari benang emas kasar bertatahkan intan. Selanjutnya tampak kantong-kantong penuh dengan pasir-emas dan serbuk-emas, peti-peti berisi butir-butir emas sebesar kacang hijau sampai sebesar telur burung merpati. Terlihat juga bungkah-bungkah perak murni, keluar dari urat-urat di dalam tanah. Di atas meja-meja besar terdapat contoh berbagai bangunan, seperti kuil Meksiko, Cholula dan Teotihuakan, tak perlu lagi disebut barang-barang mosaik indah memakai bahan kulit kerang, emas, perak, batu mulia serta mutiara, yang berserakan terhampar di atas tanah. Melihat harta sebanyak ini orang kulit putih itu mabuk. Ia merasa seperti seorang pangeran dalam dongeng Seribu-Satu-Malam. Ia berusaha sekuat tenaga, supaya tetap tenang, namun tanpa hasil. Unger merasa berdebar-debar, intan yang besar-besar itu tampak seolah-olah berpusing di hadapan matanya. Ia benar-benar mabuk. Ia pun menyadari bahwa kekayaan sebesar itu dapat mendatangkan pengaruh buruk bagi kita. Sehingga kita terdorong oleh keserakahan, akhirnya dapat melakukan perbuatan jahat yang sekeji-kejinya. "Inilah gua harta raja-raja," demikian orang Indian itu mengulangi perkataannya. "Dan harta ini hanyalah aku dan Karja pemiliknya, keturunan terakhir dari raja-raja Mixteca." "Maka kau lebih kaya dari raja-raja lain di dunia ini!" kata Unger menyatakan kekagumannya. "Kau salah! Aku sebenarnya lebih miskin dari kau dan siapapun juga. Atau perlukah kau iri hati kepada keturunan raja-raja, yang sudah tak berkuasa dan kerajaannya sudah hancur menjadi puing? Para prajurit, pemakai perkakas perang ini, dihormati oleh rakyatnya. Sepatah kata yang mereka ucapkan dapat menentukan hidup atau mati. Harta mereka masih utuh, akan tetapi kuburan, tempat menaruh tulang-tulang mereka, sudah dirusak oleh orang kulit putih. Abu jenazah mereka berserakan ditiup angin. Cucu-cucu mereka mengembara di hutan-hutan serta padang prairi. Pekerjaannya memburu banteng. Kemudian datang orang kulit putih. Ia pun dusta dan penipu, ia memerangi serta membunuh bangsaku, hanya untuk memperoleh harta ini. Tanah sudah menjadi kepunyaannya, tetapi orang Indian sudah menyingkirkan harta ke tempat yang gelap di bawah tanah, agar tidak terjamah oleh tangan perampok. Namun kau ternyata tidak seperti yang lain, hatimu tidak mengenal kejahatan. Kau telah menyelamatkan adikku dari tangan kaum Comanche. Kau adalah saudaraku. Karena itu kau boleh membawa pulang sebagian harta, sebanyak yang dapat diangkut oleh seekor kuda. Tetapi dua jenis yang boleh kau miliki. Lihatlah bungkah-bungkah emas ini, lalu barang-barang perhiasan seperti cincin, rantai, gelang dan lain-lain. Pilih mana yang kau sukai. Akan tetapi benda-benda lain adalah benda suci. Benda-benda itu tidak boleh kena cahaya matahari, matahari yang telah menyaksikan tenggelamnya bangsa Mixteca." Unger melihat bungkah-bungkah emas dan benda-benda perhiasan itu. Kepalanya menjadi pusing. "Tetapi benda-benda yang hendak kau hadiahkan itu beratus-ratus dolar harganya!" "Bahkan mungkin berjuta-juta dolar." "Aku tidak dapat menerimanya!" "Kau hendak menolak pemberian sahabatmu?" "Tidak, tetapi aku tak mau kau harus berkorban untukku." Orang Indian itu menggelengkan kepalanya. "Itu bukanlah korban. Apa yang kau lihat di sini, hanya sebagian dari harta-harta yang disimpan di El Reparo. Masih ada beberapa gua lagi. Bahkan Karja pun tidak mengenalnya. Bila sampai aku meninggal, tak seorang pun dapat menerobos ke dalam tempat-tempat penyimpanan harta itu. Kini aku hendak pergi mengunjungi gua-gua lain. Perhatikanlah benda-benda berharga itu dan sampingkanlah benda-benda pilihanmu. Sekembaliku, benda-benda pilihanmu akan kumuatkan ke atas kuda, lalu kita kembali ke Hacienda del Erina." Obor itu kemudian dipancangkan oleh si Kepala Banteng ke sebuah lubang, ia lalu pergi ke sudut paling jauh dari gua itu dan menghilang. Orang kulit putih itu kini berdiri seorang diri di tengah-tengah kekayaan yang tiada terhingga. Alangkah besar kepercayaan yang diberikan kepadanya. Andaikata ia membunuh orang Mixteca itu, ia akan dapat memiliki segenap kekayaan, yang sekarang hanya dijanjikan sebagian saja kepadanya. Namun pikiran demikian tak pernah timbul dari hati orang yang jujur itu. Ia sudah terlalu bahagia dengan bagian yang diserahkan kepadanya. Sementara itu Alfonso sedang menuju ke gua itu bersama pelayan-pelayannya dengan naik kuda. Ketakutannya pada akibat buruk dari perbuatan bodoh itu menyebabkan ia berusaha mengejar waktu. Meskipun sebagai keponakan dan ahli waris pangeran Fernando, pemilik sebenarnya dari hacienda patut dihormati orang namun kenyataannya ia kurang disegani oleh orang-orang di daerah ini. Dengan berharap di kota besar akan mendapat penghargaan lebih banyak, sesuai dengan derajat dan martabatnya, ia mengambil keputusan untuk selekasnya pergi ke ibu kota Meksiko, setelah mengambil harta karun dari dalam gua itu. Dibiarkan kudanya berjalan mengatur kecepatan sendiri, karena dalam gelap agak berbahaya untuk berjalan cepat-cepat. Gunung, yang ditujunya cukup dikenal Alfonso, tetapi dari arah ini belum pernah didekatinya. Jalan-jalan yang dilaluinya tidak dikenal hanya arah menjadi pedoman baginya. Karena itu tidak mengherankan, bila ia agak lambat majunya. Baru setelah pagi dapatlah ia menyuruh kudanya berlari lebih cepat. Tak lama kemudian tampak di hadapannya gunung El Reparo. Mereka menyeberang sungai pertama. Sebelum sampai di sungai yang kedua, Alfonso menyuruh mereka berhenti. Ia tidak mau diikuti pelayannya sampai ke gua itu. Mula-mula ia ingin meyakinkan diri sendiri, apakah gua itu ada. "Bagaimana sekarang?" tanya yang seorang. "Kalian menunggu!" "Jadi Anda hendak meninggalkan kami?" "Hanya sebentar!" "Barang apa yang harus kami muat?" "Itu bukan urusanmu; tunggu sampai saya kembali!" Alfonso menjalankan kuda perlahan-lahan. Tiada berapa lama dijumpainya sungai yang kedua. Ia turun dari atas kuda, menambatkan pada sebatang pohon, lalu menghilang di balik semak belukar. Tak jauh lagi tampak sungai keluar dari gunung. Setelah ditelitinya tempat itu, dengan hati-hati ia masuk ke dalam air yang dingin itu, lalu melanjutkan perjalanan dengan merangkak. Sebelum sampai ia ke gua, tampak cahaya terang benderang dan sangat mengherankannya. Apakah itu? Mungkinkah nyala obor? Ataukah cahaya matahari yang masuk melalui celah-celah? Tidak terpikir oleh orang Spanyol itu untuk kembali lagi. Hati-hati ia merangkak terus, sambil berusaha, supaya jangan mengeluarkan suara sedikit pun. Tiba-tiba tampak olehnya kilatan sinar berkilauan, berasal dari benda-benda perhiasan dalam gua itu. Demi dilihatnya segala keindahan itu, tubuh merasa gemetar. Setan harta sudah menguasainya. Matanya berganti-ganti dipejamkan dan dibuka lagi. Hampir ia berteriak, kalau ia tidak melihat sesosok tubuh tak jauh dari tempatnya sedang berlutut, memeriksa bungkah-bungkah emas dan benda perhiasan yang terletak di hadapannya. Siapakah dia? Nah, kini ia memutar tubuh sedikit, sehingga tampak mukanya. Pangeran mengenali orang itu. "Unger!" katanya dalam hati. "Siapa yang memberi tahu rahasia itu kepadanya? Seorang dirikah atau berkawan?" Matanya mencari ke segenap penjuru, namun tak dapat ditemukannya orang lain. Tiada disangkanya bahwa si Kepala Banteng ada di dalam. Ia seorang diri, pikirnya dengan gembira. Ia tak akan menikmati penemuannya itu. Tak sebutir emas pun akan jatuh ke tangannya. Inilah kesempatan untuk membalas dendam terhadapnya. Tak jauh daripadanya terletak sebuah pemukul, terbuat dari kayu besi dan dilekatkan pada pemukul, kaca kristal tajam. Dipegangnya senjata itu, lalu menyelinap ke arah Unger, yang sedang asyik mengamati kalung berlian yang bercahaya dengan sangat menakjubkan. "Bukan main indahnya! Benda perhiasan ini tiada ternilai harganya." Benda ini hendak ditaruh terpisah dari yang lain-lain. Ketika itu senjata pemukul diayunkan dan jatuh dengan kuatnya ke atas kepala Unger. Seketika itu tubuh Unger jatuh terkulai ke atas tanah. Kini pangeran berteriak-teriak liar. "Mati dia! Sekarang harta ini semua milikku, milikku!" Kegembiraan luar biasa membuat dia separuh gila. Ia meloncat-loncat dan bertepuk tangan seperti orang yang berubah akal. Tetapi apakah itu? Di sudut sana bergerak sesosok tubuh makin mendekat. Itulah si Kepala Banteng, baru kembali dari dalam. Kini dilihatnya di tempat Unger seorang lain, sedangkan Unger tergeletak di atas tanah di sebelahnya. Dengan dua lompatan orang Mixteca itu sudah sampai di dekatnya, lalu memegang tubuh penjahat itu. "Anjing! Mengapa kamu di sini?" serunya. Pangeran terdiam saja. Ia mengetahui, bahwa orang Indian itu bukan tandingannya. Sekarang matilah ia. Dari tingkat puncak kebahagiaan, dalam sekejap mata terjatuh dalam lembah kematian yang mengerikan. Keringat dingin bercucuran di seluruh tubuhnya. "Kau telah memukulnya?" seru si Kepala Banteng, sambil menunjuk ke arah tubuh Unger dan senjata pemukul di atas tanah. Diguncang-guncangnya tubuh Alfonso itu seperti tubuh anak kecil saja. "Ya," jawab Alfonso dengan hati kecut. "Mengapa?" "Harta inilah sebabnya," jawabnya terbata-bata. "Masa! Aku tahu, dia adalah musuhmu. Sudah lama kau kehendaki kematiannya. Celaka kamu, tiga kali celaka!" Si Kepala Banteng membungkuk untuk menyelidiki tubuh kawannya. Pangeran berdiri dengan diam. Betapa mudah untuk mengambil senjata pemukul dan berusaha untuk berkelahi. Tetapi hal itu tidak dilakukannya. Ia seperti burung pipit, tak sanggup terbang lagi di hadapan ular yang menunggunya dan akhirnya burung itu akan ditelan oleh sang ular, tanpa mengadakan perlawanan. "Ia sudah mati!" kata si Kepala Banteng, sambil meluruskan badannya. "Aku akan menghakimimu! Kau telah membunuh seorang pemburu, yang paling mulia hatinya di dunia ini. Sebagai hukuman kau patut mati seribu kali." Orang Indian itu berdiri di hadapannya dengan tangan dilipat. Otot-ototnya menonjol, matanya memancarkan sinar berapi-api serta menakutkan. "Wah kau gemetar!" katanya, seraya melemparkan pandangan hina kepadanya. "Kau seperti cacing, seorang pengecut tak ada harganya. Dari siapa kau ketahui jalan ke gua ini?" Alfonso berdiam diri. Ketakutan membuatnya menundukkan kepala. "Lekas jawab!" bentak cibolero. "Karja!" bisik pangeran. "Adikku?" "Benar." Mata orang Indian itu bercahaya seperti nyala obor yang panas. "Bohong! Dengan menyebut-nyebut nama adikku, kau berharap dapat terhindar dari hukuman?" "Aku berterus terang. Kau harus percaya." "Wah, tentu telah kau gunakan ilmu hitam untuk merayu adikku, sampai ia mau membuka rahasia tentang El Reparo. Tentu kau pura-pura menyatakan cinta?" Pangeran berdiam diri. "Bicaralah terus terang, kau dapat meringankan nasibmu. Tahukah kau, bagaimana cara kau akan menjumpai ajalmu? Di atas gunung terdapat sebuah kolam. Kolam itu tidak berapa besar, tetapi dalamnya terdapat sepuluh ekor buaya suci. Perut buaya itu digunakan raja-raja zaman dahulu sebagai kuburan bagi para penjahat. Usia buaya itu lebih dari seratus tahun. Binatang-binatang itu tentu lapar sekali, karena sudah lama tidak makan. Kau akan kubawa ke atas dan akan kugantung pada sebatang pohon, sehingga kau hidup-hidup tergantung di atas kolam itu. Buaya akan berlompatan ke atas, namun tak mencapai tubuhmu. Buaya-buaya itu akan berebut untuk mendapat tubuhmu dan bau busuk akan tercium olehmu. Berhari-hari dan bermalam-malam kau akan tergantung, tak seorang pun akan melepaskan ikatan sekitar lehermu. Panas terik matahari akan membuatmu kehausan dan kelaparan. Akhirnya kau akan terjatuh dan ditelan buaya-buaya." Alfonso mendengar dengan ketakutan. Lidahnya kaku, tak dapat digerakkan. Tak dapat diucapkannya kata-kata untuk mohon belas kasihan. "Hanya dengan berterus terang dapat meringankan nasibmu," demikian diulang sekali lagi oleh orang Indian itu. "Jadi kau telah menyatakan cinta kepada adikku?" "Benar," kata Alfonso. "Tapi sebenarnya kau tidak mencintainya?" "Tidak," jawab orang kulit putih itu. Ia tidak berani membohonginya. "Tetapi ia mencintaimu?" tanya orang Indian itu lebih lanjut. Pertanyaan ini dijawab dengan mengiakan. "Kau bertemu dengan dia di mana?" "Di bawah pohon zaitun di dekat anak sungai, di belakang hacienda." "Kau telah berjanji akan mengawininya?" "Benar." "Bilamana Karja membuka rahasia itu kepadamu?" "Kemarin petang," jawabnya. "Kau di sini seorang diri?" "Aku beserta dua orang pelayan." "Mereka tentu harus mengangkut harta itu. Kau telah memberi tahu rahasia itu pada mereka juga!" "Mereka tidak mengetahui apa yang harus diangkut dan tidak mengetahui tentang terdapatnya gua itu." "Di mana mereka?" "Mereka menanti dekat dari sini." "Baik. Orang ini kubiarkan berbaring di sini, tetapi kau harus mengikutiku. Kau belum kuikat, tetapi kau tak dapat melarikan diri. Kau seekor cacing, mudah kuhancurkan dalam tanganku. Mari, ikut aku!" "Hendak diapakan aku?" tanya Alfonso ketakutan. "Itu segera akan kau ketahui." Si Kepala Banteng memegang tangan Alfonso, lalu menarik Alfonso ke dalam sungai, menuju ke luar gua. Air sungai serta cahaya matahari dari luar membuat Alfonso merasa segar kembali. Ia menarik napas dalam-dalam dan bertanya kepada dirinya sendiri, apakah ada jalan untuk menyelamatkan diri. "Di mana kudamu?" tanya orang Mixteca itu. "Kutambat pada sebatang pohon eik di sebelah kanan sana!" "Di mana pelayanmu?" "Di belakang bukit itu." "Tunjukkan padaku kudamu." Si Kepala Banteng pergi dengan tawanannya ke tempat yang telah ditunjukkan. Setelah sampai di tempat kuda, diikatnya tangan pangeran ke belakang, kakinya pun diikat dan mulutnya disumbat. Pangeran membiarkan diri diperlakukan demikian, tanpa mengadakan perlawanan. Kemudian ia ditinggal di situ, setelah orang Mixteca itu mengambil senapannya. Kini orang Mixteca itu menyelinap, mencari kedua pelayan pangeran. Setelah sampai dekat sungai pertama didengarnya orang sedang bercakap-cakap. Si Kepala Banteng meniarap dan merangkak ke arah suara itu. Di balik gerombolan semak terakhir dilihatnya kedua orang itu sedang duduk di tanah dan sedang asyik bercakap-cakap. Orang Indian itu memastikan bahwa dari pihak mereka bahaya tidak mengancam, lalu kembali lagi ke tempat tawanannya. BAB IV DI KOLAM DENGAN BUAYA Sementara itu kepala suku Apache bersama Karja dan vaquero mendekati El Reparo dari sudut lain. Mereka belum sampai juga, karena Karja tersesat dalam gelap. Karena itu mereka harus menempuh jalan memutar, menyebabkan mereka terlambat sampai di tempat tujuan. "Ini sungainya," kata Karja kepada si Hati Beruang. "Kita akan segera tiba di gua." Orang Apache itu mulai memeriksa daerah sekeliling. "Uf!" serunya, lalu menunjuk ke arah bekas tapak kaki di atas tanah. "Pangeran dengan orang-orangnya! Jalan terus, tetapi hati-hatilah!" Si Hati Beruang, yang mengepalai rombongan, tiba-tiba memerintahkan berhenti. Ia telah melihat kuda-kuda pelayan pangeran, yang sedang makan rumput, lalu ia turun dari atas kuda. Ia memberi isyarat dengan tangan, supaya orang-orang tidak mengikutinya. Ia menyelinap ke dalam semak-semak. Tak lama kemudian ia kembali untuk memberitahu, bahwa pelayan Alfonso sedang duduk-duduk di sana. Kemudian mereka berangkat lagi. Kini mereka tiba di sungai kedua. Tiba-tiba mereka melihat kepala orang muncul dari balik semak-semak. Itulah si Kepala Banteng. Ia telah mendengar mereka datang dan diam-diam menyelinap ke arah mereka untuk mengetahui, siapakah yang datang. "Uf! Kepala Banteng!" kata orang Apache. "Di manakah si Panah Halilintar?" "Mati!" "Siapa pembunuhnya?" tanya si Hati Beruang dengan berang. "Alfonso." "Di mana?" "Tak dapat kuterangkan di sini," jawab si Kepala Banteng, sambil memandang vaquero. "Ikutlah aku ke orang kulit putih itu!" Alfonso memandang mereka dengan ketakutan. Namun Hati Beruang maupun Karja tidak menghiraukannya. Orang Mixteca berkata kepada orang Apache itu, "Maukah saudara menjaga tawanan ini, sampai saya kembali lagi?" Kemudian ia kembali ke gua. Sesampai di gua, ternyata, obor sudah hampir terbakar habis. Ia menyalakan obor yang baru lagi dan menghampiri orang kulit putih itu. Segera diketahuinya, bahwa letak tubuh kawannya itu sudah berubah dari semula. Nadi orang itu diperiksa lagi. Ternyata masih berdenyut. Hal itu sangat menggembirakan orang Mixteca itu. Pemburu itu, ketika ditinggalkannya sadar kembali dan menggerakkan tubuhnya. Kemudian ia jatuh pingsan lagi. Orang Mixteca itu mengangkatnya dengan hati-hati ke luar dan meletakkannya di atas rumput. Orang Apache, ketika melihat kawannya dalam keadaan demikian, menepuk mulut bedilnya yang menunjuk ke atas dan berseru, "Bila saudara kulit putihku meninggal, awas pembunuhnya! Binatang buas dalam hutan akan mencabik tubuhnya. Demikian sabda Shosh-in-liett, kepala suku Apache." Ia membungkuk memandang Unger dan memeriksa kepalanya. "Bekas pukulan dengan senjata pemukul," katanya setelah diperiksanya. "Rongga otaknya pecah. Harus disediakan usungan untuk membawa ke hacienda. Akan kucari akar obat oregano yang dapat menyembuhkan setiap luka." Sedang vaquero pergi untuk membuat sebuah usungan dan Hati Beruang pergi pula mencari akar obat, Kepala Banteng tinggal di tempat itu bersama adiknya. "Kau marah padaku?" tanya gadis itu dengan lemah lembut. Si Kepala Banteng tidak memandang kepadanya, tetapi ia menjawab, "Roh Agung telah meninggalkan dirimu, dik!" "Ia hanya meninggalkan diriku untuk sementara," katanya. "Tetapi waktu Roh sedang meninggalkan dirimu telah terjadi hal-hal yang menyedihkan. Kau mencintai Alfonso?" "Benar." "Kau kira ia membalas cintamu?" "Ya." "Apakah ia berjanji akan mengawinimu dan kau percaya kepadanya?" "Ya. Pengkhianat itu telah membuat surat pengakuan tertulis, bahwa ia akan mengawiniku." "Uf! Masih adakah surat itu padamu?" "Ada di kamarku." "Bolehkah aku membaca surat itu?" "Boleh. Maukah kau maafkan daku?" "Hanya dapat kumaafkan bila kau menurut kehendakku." "Aku akan menurut. Apa yang harus kuperbuat?" "Akan kau dengar segera. Naiklah kuda dan kembali ke Hacienda, memanggil semua orang Indian keturunan Mixteca. Katakan kepada mereka, bahwa Tecalto kepala suku mereka, memerlukan bantuan mereka. Mereka harus meninggalkan pekerjaan mereka dan langsung ke sini." Karja langsung naik kuda, tanpa menanyakan sesuatu lalu melarikan kudanya. Setengah jam kemudian kembalilah Hati Beruang. Akar-akar obat diperas dan dibubuhkannya ke atas dahi Unger. Setelah itu dibalutnya luka itu. Vaquero pun sudah siap usungannya, yang dibuat dari cabang dan ranting pohon, ditutup dengan selimut. Usungan itu diletakkan di atas punggung dua ekor kuda yang diikat menjadi satu. Unger diletakkan di atas usungan itu. "Pangeran hendak diapakan?" tanya vaquero. "Dia adalah milikku!" jawab Kepala Banteng. "Antarkanlah si Panah Halilintar ke hacienda. Hati Beruang tinggal di sini saja." Vaquero menurut dan membawa Unger ke hacienda. Kedua kepala suku berdiam diri sejenak. Kemudian dilepaskan oleh si Kepala Banteng tali pengikat kaki tawanannya, supaya tawanannya dapat berdiri di atas kakinya. Setelah itu diikatkan pada ekor kuda. Lalu katanya kepada orang Apache itu, "Saudara boleh mengikuti aku!" Kedua orang itu pergi naik kuda meninggalkan tempat itu. Bagi pangeran perjalanan itu merupakan siksaan besar. Kepala Banteng menjalankan kudanya mengitari lereng gunung, kemudian mendaki. Setelah menempuh satu jam perjalanan mereka sampai di punggung pegunungan. Kini mereka masuk hutan lebat. Di tengah-tengah hutan itu, dikelilingi semak belukar, terdapat reruntuhan sebuah kuil lama, kepunyaan bangsa Astek. Kuil itu dahulu berbentuk sebuah piramida terpancung, dikelilingi taman-taman. Taman-taman itu dikelilingi dinding pula. Kini semuanya sudah tinggal reruntuhan saja. Di salah satu taman itu terdapat sebuah kolam yang dalam airnya. Ke situlah dibawa mereka tawanannya, yang telah dibebaskan dari tali pengikat dan sumbat mulutnya. Kolam itu pada zaman dahulu berukuran kecil, tetapi sekarang sudah seperti danau kecil. Di tepi tumbuh pohon-pohonan yang tinggi. Di situlah dua orang kepala suku itu turun dari atas kudanya. Orang Mixteca itu duduk di atas rumput dan mengajak orang Apache itu duduk di sebelahnya. Mula-mula mereka duduk tanpa bercakap, sesuai dengan adat kebiasaan orang Indian. Kemudian cibolero bertanya, "Saudara mengasihi si Panah Halilintar?" "Benar, saya mengasihinya!" jawab orang Apache itu pendek. "Orang kulit putih ini mau membunuhnya." "Ia seorang pembunuh, karena kawan kita itu akan mati." "Apa hukuman seorang pembunuh?" "Hukuman mati." Diam sejenak. Kemudian si Kepala Banteng mulai lagi, "Saudara kenal akan bangsa Mixteca?" "Benar, aku mengenalnya," kata si Hati Beruang sambil mengangguk. "Bangsa yang terkaya di Meksiko." "Benar, mereka memiliki kekayaan yang tak ada bandingnya," kata orang Apache itu. "Tahukah saudara, di mana harta kekayaan itu sekarang?" "Saya tidak tahu." "Dapatkah kepala suku Apache itu menyimpan rahasia?" "Mulutnya tertutup seperti batu karang." "Maka ia boleh mengetahui, bahwa Kepala Banteng adalah penjaga harta itu." "Saudaraku Kepala Banteng sebaiknya menghancurkan harta itu! Emas itu dihuni roh jahat. Seandainya bumi itu terbuat dari emas, maka Hati Beruang lebih baik mati saja." "Saudara mempunyai kebijaksanaan tinggi, seperti yang dimiliki oleh kepala-kepala suku zaman dahulu. Namun orang lain mencintai emas itu. Umpamanya, orang kulit putih ini, ingin sekali memiliki harta kaum Mixteca itu." "Uf!" "Ia datang dengan dua orang pelayan ingin mencuri harta itu." "Siapa yang menunjukkan jalan?" "Karja, seorang puteri bangsa Mixteca." "Karja, adik si Kepala Banteng? Uf!" "Benar," kata si Kepala Banteng dengan hati sedih. "Jiwanya gelap, karena ia mencintai orang kulit putih itu. Orang kulit putih itu berjanji hendak mengawininya, tetapi sebenarnya ia hanya menginginkan harta itu, untuk kemudian meninggalkan gadis itu." "Ia seorang pengkhianat." "Apa hukuman seorang pengkhianat?" "Hukuman mati." "Dan apa hukuman seorang pengkhianat serta pembunuh?" "Hukuman mati berganda." "Saudara benar." Diam lagi sejenak. Kedua kepala suku itu merupakan hakim prairi yang sangat dahsyat dan ditakuti oleh lawan-lawan, karena mereka tidak dapat naik banding atau dibela oleh seorang pengacara. Sebenarnya si Kepala Banteng itu dapat juga menghakimi sendiri, tetapi ia ingin memberi kesempatan kepada orang Apache itu, turut memberi suara, untuk menuntut bela terhadap kawannya yang terbunuh itu. Mereka berbicara dengan logat bahasa Apache, yang tidak dipahami oleh Alfonso; namun ia mengetahui bahwa mereka sedang memperbincangkan nasibnya. Ia gemetar sekujur badan, mengingat buaya-buaya yang disinggung oleh si Kepala Banteng dalam keterangannya. Inilah kolam yang dimaksud dan dekat tempat mereka duduk, tumbuh sebatang pohon. Tumbuhnya agak condong ke atas air. Dahan-dahannya menunduk, hampir-hampir mencapai permukaan air. Ngeri hati orang Spanyol itu, bila ia mengarahkan pandang kepada pohon itu. Kemudian si Kepala Banteng memulai lagi, "Tahukah saudara, di mana kematian berganda itu dapat ditemukan?" "Saudara kepala suku Mixteca saja yang mengatakannya." "Di sana!" Si Kepala Banteng menunjuk ke air. Orang Apache itu, tanpa menoleh, menjawab, seolah-olah hal itu merupakan hal yang biasa saja, "Buayakah penghuninya?" "Benar. Saksikan sendiri saja!" Ia menghampiri kolam, mengulurkan tangannya, lalu berseru, "Nikan! Tlatlaka! Kemarilah!" Serta merta permukaan air menjadi berbuih. Di sepuluh tempat tampak air mulai beriak dan jumlah buaya sebanyak itu melaju ke tepi. Di situ binatang-binatang itu berhenti dan mengeluarkan kepalanya yang jijik itu ke atas permukaan air. Sebagian buaya itu tubuhnya berloreng dan sebagian lagi berbintik-bintik. Panjang tak ada yang kurang dari empat meter. Tubuhnya menyerupai batang pohon diliputi lumpur, kepalanya tampak mengerikan, ketika membuka dan menutup moncongnya yang panjang itu; memperlihatkan baris-baris giginya yang tajam, tak melepaskan mangsanya lagi, bila sudah tertangkap. Terdengar seorang memekik ketakutan. Alfonsolah yang mengeluarkan pekik itu. Kedua orang Indian itu memandang dengan hina. Seorang Indian mempunyai kebiasaan, dapat menahan rasa sakit dengan sempurna. Bahkan di tiang penyiksa, biar menderita ia tidak mengeluarkan suara sedikit pun atau memperlihatkan dengan cara lain. Menurut kepercayaannya, seseorang yang menampakkan rasa sakit di tiang penyiksa, tak diterima di padang perburuan abadi, yaitu surga bagi orang Indian setelah meninggal dunia. Oleh karena itu, orang Indian sedari kecil sekali sudah dididik menahan sakit. Biasanya mereka memandang rendah orang kulit putih, karena mereka lebih peka pada macam-macam rasa sakit dari orang Indian. "Kau lihat binatang-binatang itu? Ganas semua. Usianya tak ada yang kurang dari sepuluh kali sepuluh musim semi. Kau lihat juga tali laso yang kubawa?" "Aku paham maksud saudara dengan baik," jawab orang Apache itu pendek. "Berapa tinggi binatang itu dapat melompat?" "Ia tidak dapat mengangkat moncong lebih tinggi dari dua hasta, bila air itu lebih dalam dari panjang badannya." "Dan bila ia dapat menyentuh dasar kolam dengan ekornya?" "Maka ia akan dapat melompat dua kali tinggi itu." "Baik. Air itu cukup dalam. Maka kaki orang itu harus tergantung setinggi tiga hasta di atas permukaan air. Siapa yang memanjat pohon? Saudara atau aku?" "Aku yang memanjat," kata orang Apache itu. Kedua orang Indian itu bangkit dari tempat duduknya, menghampiri Alfonso, lalu mengikat tangannya ke belakang punggung dengan tali laso, yang dililitkan dua kali sekitar tubuhnya. Pada tali itu dihubungkan dua potong tali lagi, ujungnya dipegang oleh orang Apache itu, ketika memanjat pohon. Kini pangeran sadar, bahwa mereka sungguh-sungguh akan melaksanakan hukuman itu terhadapnya. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Telinganya mengiang, seolah-olah mendengar bunyi desing angin badai. "Ampun, ampun!" demikian ratap dan rintihannya. Kedua hakim acuh tak acuh saja. "Ampun!" serunya lagi. "Aku mau melakukan apa pun asal aku jangan digantung di atas kolam itu!" Permohonan ini pun tiada mendapat sambutan. Si Kepala Banteng memegang Alfonso dan menarik ke arah pohon. "Jangan! Ampun! Akan kuhadiahkan seluruh milikku kepada kalian, kekuasaanku sebagai pangeran, harta benda seluruh Rodriganda. Aku rela kehilangan segala-galanya asal biarkan aku tetap hidup." Kini kepala suku Mixteca menjawab, "Cih! Apa artinya Rodriganda itu? Apa artinya seluruh harta bendamu, harta benda seorang pangeran? Apa artinya, dibandingkan dengan harta raja-raja Mixteca, yang telah kau saksikan sendiri? Harta itu tidak menggiurkan hati kami, apa lagi harta kepunyaan orang miskin, yang kau tawarkan kepada kami. Keputusan kami tetap: kau akan mati! Perhatikan binatang-binatang buas itu, belum pernah mendapat sajian daging orang kulit putih. Lama sekali kau akan bergantung di pohon itu dan setiap kali kau menarik kakimu ke atas, bila buaya-buaya itu hendak mencapaimu. Dan akhirnya kau akan letih lelah, badanmu terlalu lemah untuk menggerakkan kaki. Saat itu kau akan menjadi mangsa binatang itu. Mereka akan berebut mencabik badanmu. Itulah ganjaran seorang pangeran, yang menipu dan merampok harta seorang gadis Indian!" "Ampun! Ampun!" teriak Alfonso sekali lagi, mohon belas kasihan. "Apa? Ampun? Kau kenal ampun, ketika kau pukul kepala pemburu kawan kami, dengan senjata pemukul itu? Kau kenal ampun, ketika kau hancurkan hati gadis Indian itu? Kami sangsikan, apakah hanya itu perbuatan jahatmu itu. Wahkonda telah menciptakan manusia demikian, sehingga tidak mengetahui segala-galanya. Aku tidak kenal hidupmu, tetapi orang yang melakukan kejahatan-kejahatan seperti kamu, biasanya sudah kerap kali melakukannya sebelumnya. Maka kami ingin menghakimimu dengan memperhitungkan segala kejahatan yang pernah kau lakukan. Buaya-buaya yang akan menelan tubuhmu itu, sebenarnya masih belum sejahat kau. Wahkonda telah menciptakan buaya untuk makan daging, tetapi manusia diciptakan untuk menjadi baik. Maka jiwamu lebih busuk dari jiwa buaya." Si Kepala Banteng mendorong orang malang itu lebih dekat ke arah air. Alfonso memberontak. Kakinya masih bebas. Ia berusaha menahan dengan kaki. Kini orang Indian itu mengikat kakinya, sehingga tawanan itu tidak berdaya sama sekali. "Ampun! Ampun!" teriaknya. Tetapi sia-sia. Orang Mixteca yang kuat itu mengangkatnya ke pohon, sambil membawa kedua ujung tali itu dengan cara menggigitnya. Sesampai di atas duduklah ia, lalu menghubungkan kedua potong tali menjadi satu dan mengaitkan tali itu pada sebuah dahan yang kuat. Kemudian ia menarik tali itu. Dengan demikian tubuh pangeran tertarik ke atas. Si Kepala Banteng membantu mendorong pangeran. Sedikit demi sedikit tubuh pangeran naik ke atas. "Lepaskan aku! Lepaskan aku!" seru Alfonso, membayangkan kematian yang mengerikan itu. "Aku rela menjadi pelayanmu. Apa pun yang kau suruh, aku akan mengerjakan." "Seorang pangeran perlu mempunyai pelayan-pelayan, tetapi seorang Indian tidak memerlukannya," jawabnya. Buaya-buaya dalam kolam merupakan pemandangan yang mengerikan. Kolam itu terlalu kecil baginya, makanan pun jauh dari cukup. Sudah lama buaya-buaya itu menderita lapar. Karena kekurangan makanan, terjadilah saling serang-menyerang, sehingga akibatnya, seekor kehilangan sebuah kaki dan seekor lagi sebagian dari tubuhnya. Kini buaya-buaya itu melihat, bahwa akan diberi makanan. Maka binatang-binatang itu berdesakan, berkumpul di tepi, di bawah pohon. Ekornya mengibas-ngibas, membuat air berbuih. Sorot matanya yang menjijikkan membayangkan kerakusannya dan moncong yang terbuka lebar itu mengatup memperdengarkan suara keras seperti dua bilah papan tebal yang dipukulkan, satu kepada yang lain. Kesepuluh binatang itu seolah-olah bersatu padu, merupakan seekor naga raksasa, bermoncong serta berekor sepuluh. Tawanan itu menggigil. "Lepaskan aku, bangsat!" teriaknya. "Tolong ditarik talinya sedikit ke atas!" kata si Kepala Banteng kepada orang Apache itu. "Terkutuk kalian semua!" teriak pangeran dengan suara parau, sedang matanya liar mencari sesuatu, yang dapat menolongnya. "Cukuplah!" kata orang Mixteca itu, setelah membandingkan jarak antara dahan dan permukaan air dengan panjang tali laso. "Lilitkan saja tali laso itu ke batang pohon, lalu buatlah simpul yang kencang!" Orang Apache itu berbuat seperti yang dikatakan kepadanya. Si Kepala Banteng hingga kini dengan tangan sebelah berpegangan pada batang pohon, sedangkan tangan yang sebelah memegang tawanannya. Untuk itu diperlukan tenaga otot-otot yang kuat sekali. Andaikata pohon itu tidak cukup kuat disebabkan tumbuhnya yang condong akan roboh, memikul beban tiga orang yang berat itu. Kini saat genting akan tiba. Alfonso menyadari hal itu, lalu ia berteriak-teriak penuh kebencian. "Kalian bukan manusia lagi. Kalian setan!" "Kami adalah manusia, yang sedang menghakimi setan," jawab orang Mixteca itu. "Lepaskan!" Aba-aba itu diikuti oleh jeritan orang yang dicekam maut. Tecalto telah melepaskan Alfonso, serentak dengan itu mendorongnya kuat-kuat. Karena dorongan ini tawanan berayun-ayun dari pohon ke atas permukaan air. Ia berayun kian kemari. Tiap kali ia terayun ke atas permukaan air, buaya-buaya itu berlompatan ke atas untuk mencapai orang itu. "Cukuplah! Saudara boleh turun!" Orang Apache itu lalu turun dari pohon. Mereka berdiri di tepi kolam, mengamati keadaan yang mengerikan. Ayun-mengayun itu makin lama makin lemah. Akhirnya berhenti dengan keadaan tawanan tergantung tegak lurus ke bawah. Ternyata taksiran orang Mixteca itu tepat. Alfonso tergantung demikian tinggi, sehingga buaya-buaya itu, bila melompat dapat mencapai kakinya. Maka Alfonso harus cepat menarik kakinya ke atas, bila salah seekor buaya memagutnya. Itu dapat dilakukannya, bila keadaan badannya masih kuat. Setelah badannya lemah ia tak tertolong lagi. Memang banyak sekali dosa yang diperbuatnya, namun kematian secara ini disertai rasa takut yang mencekam, seimbang dengan semua dosa yang dipikulnya. "Selesailah tugas kita! Mari kita kembali lagi!" kata orang Apache yang turut merasa ngeri juga. Kemudian mereka naik kudanya dan pergi meninggalkan tempat itu. Di belakangnya masih lama terdengar jerit tangis pangeran. "Aku ikut saudara," kata si Kepala Banteng. Kini mereka dapat melarikan kuda lebih cepat lagi, karena mereka menuruni gunung. Di bawah, dekat sungai, dijumpainya orang-orang Indian. Orang-orang itu semuanya masuk suku Mixteca yang hampir punah. Mereka dipanggil Karja. Kepala suku mereka berkata kepada orang Apache itu. "Terima kasih atas bantuan saudara untuk menghakimi orang kulit putih itu. Saudara boleh pulang ke hacienda lagi untuk merawat luka-luka si Panah Halilintar. Aku sendiri baru besok dapat pergi ke sana, karena di sini masih menunggu pekerjaan-pekerjaan yang harus diselesaikan." Si Hati Beruang pergi meninggalkan mereka. Namun orang Mixteca itu mengumpulkan orang-orang Indian yang hadir di situ. Mereka membuat lingkaran mengitarinya untuk mendengar, apa yang dikehendakinya. Kepala suku itu melayangkan pandangnya ke sekeliling dan mulai berkata, "Kita ini putera-putera suatu bangsa yang akan punah. Orang kulit putih mendatangkan kematian bagi kita. Mereka menghendaki harta kekayaan kita, akan tetapi tidak memperolehnya. Nenek moyang kalian telah membantu nenek moyangku menyembunyikan harta itu dan tak ada seorang pun di antara mereka berkhianat, membuka rahasia itu kepada orang asing. Dapatkah kalian menutup rahasia itu juga?" Mereka semuanya mengangguk, menyatakan setuju, lalu yang tertua di antara mereka berkata atas nama semuanya, "Terkutuklah mulut mereka, yang memberitahu tempat penyimpanan harta itu kepada orang asing!" "Aku percaya kepada kalian. Hanya akulah yang mengetahui tempat itu. Namun ada seorang kulit putih menemukan harta itu. Orang kulit putih itu hanya melihat sebagian. Maka bagian itulah harus dipindahkan ke tempat persembunyian lain. Bersediakah kalian membantuku?" "Kami akan membantu." "Maka bersumpahlah demi roh ayah, saudara dan puteramu, bahwa kalian tidak akan membuka rahasia tempat penyimpanan harta itu, atau pun menjamahnya sendiri!" "Kami bersumpah," kata mereka semuanya. "Beri makan kudamu, lalu ikutlah." Setelah kudanya cukup makan rumput, orang-orang kulit merah itu masuk ke dalam gua. Di situ mereka sibuk mengerjakan sesuatu. Hanya seorang berada di luar menjaga keamanan kuda-kuda serta orang-orang yang sedang bekerja di dalam gua. Pekerjaan ini dilakukan sepanjang malam. Baru keesokan harinya orang-orang Mixteca itu keluar satu per satu dari dalam gua. Masing-masing membawa beban ditumpukkan menjadi satu. Benda-benda itu terdiri atas bungkah-bungkah emas yang besar dan barang-barang perhiasan, yang disisihkan Unger. "Baik!" kata si Kepala Banteng, sambil mengamati tumpukan itu. "Bungkuslah semuanya dengan sehelai selimut, lalu muatkan ke atas kuda! Inilah hadiah dari suku Mixteca kepada seorang kulit putih, satu-satunya yang telah menyaksikan harta raja-raja dengan seizinku. Semoga ia mendapat bahagia." Setelah kuda beban penuh muatan, ia kembali lagi menyaksikan gua itu terakhir kali. Bagian depan gua, yang telah dilihat Unger dan Alfonso telah kosong. Si Kepala Banteng melihat-lihat sekeliling sekali lagi, lalu pergi ke suatu sudut gua. Di situ terlihat sepotong sumbu tersembul keluar dari dalam tanah. Si Kepala Banteng menyalakan sumbu itu dengan api obornya, lalu lari ke luar gua. Di luar, semua orang menyingkir jauh dan menunggu. Beberapa saat kemudian terdengar bunyi ledakan hebat. Bumi bergetar, asap tebal di bagian depan gunung membubung ke langit, batu-batu besar terpecah-pecah. Batu-batuan itu runtuh perlahan-lahan ke bawah, diikuti bunyi gemuruh. Anak sungai mengalirkan airnya berbuih-buih melalui tumpukan puing itu, mula-mula bergumul dengan dahsyat, tetapi kemudian tenang kembali, karena menemukan jalan air yang baru. Jalan masuk ke harta raja-raja Mixteca sudah tertutup. "Bersumpahlah sekali lagi dengan berjabat tangan, bahwa selama kalian hidup, tidak membuka rahasia ini kepada siapa pun!" perintah si Kepala Banteng. Orang-orang Indian itu bersumpah lagi. Nyata kelihatan pada wajah-wajah mereka, bahwa mereka sungguh-sungguh, bahwa mereka lebih baik mati daripada melepaskan sesuatu tentang rahasia mereka. Sekali lagi mereka mengarahkan pandang ke tempat rahasia terpendam itu. Kemudian mereka pergi meninggalkan tempat itu. Sekembali orang Apache dari gunung El Reparo ke hacienda, dijumpainya penduduk sedang dalam dukacita besar. Emma sedang merawat tunangannya, yang menderita luka parah di dalam kamar. Kebahagiaan mereka yang baru saja dikecapnya, jatuh berkeping-keping. Karja mendampinginya merawat orang sakit itu dan berusaha menghibur hatinya pula. Haciendero segera memerintahkan salah seorang penunggang kuda terbaik, pergi ke Manclova untuk memanggil seorang dokter berpengalaman. Ketika dilihatnya, orang Apache itu turun dari atas kuda, haciendero menghampirinya untuk menanyakan berbagai hal kepadanya. Pada kesempatan ini ia ber-"aku" ber-"engkau", seperti lazimnya digunakan oleh orang Indian. "Engkau datang seorang diri?" tanyanya. "Di manakah Tecalto?" "Masih di gunung El Reparo." "Sedang mengapa ia di situ?" "Itu tidak dikatakannya kepadaku." "Kudengar, ia mengumpulkan orang-orang Indian. Apa maksudnya?" "Aku tidak menanyakannya." "Di mana pangeran Alfonso sekarang?" "Tidak boleh kukatakan." Arbellez agak kecewa, lalu berkata, "Itu tidak kau katakan, aku pun tidak akan menanyakan, tidak dapat kukatakan! Jawaban macam apakah itu?" Orang Apache itu menggerakkan tangan, seperti hendak menolak tuduhan itu, lalu menjawab, "Saudara jangan menanyakan sesuatu yang tak dapat kujawab! Kepala suku Apache bukanlah orang banyak cakap, melainkan orang yang mengutamakan perbuatan." "Tetapi aku ingin mengetahui sedikit tentang apa yang terjadi di gunung itu." "Puteri suku Mixteca akan menceriterakannya." "Dia pun tak bersedia berbicara." "Kepala Banteng akan segera kembali dan akan menceriterakannya. Tolong saudara antarkan aku ke tempat tidur si Panah Halilintar, supaya aku dapat memeriksa lukanya." "Ikut aku." Ketika kedua orang itu masuk ke dalam kamar Unger, tampak olehnya kedua gadis itu sedang mendampingi orang sakit itu, Emma dengan air mata berlinang dan Karja dengan hati yang sedih. Orang sakit itu sedang berguling dengan gelisah di tempat tidurnya. Sudah nyata, bahwa ia sangat menderita, namun ia tetap menutup mata dan tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Ketika si Hati Beruang memegang kepalanya, ia mengerutkan muka, tetapi ia tetap tidak bersuara. "Bagaimana keadaannya?" tanya haciendero. "Ia tidak akan meninggal," jawab kepala suku itu. "Setiap kali lukanya harus dibubuhi akar-akar obat itu!" "Besok dokter akan datang." "Akar obat oregano lebih manjur dari obat dokter. Apakah saudara mempunyai seorang vaquero yang pandai menunggang kuda serta menembak?" "Orangku yang paling pandai berburu dan menembak ialah Fransisco." "Tolong panggilkan orang itu dan sediakan seekor kuda baginya! Ia harus mendampingi aku. Aku hendak pergi ke daerah orang Comanche." "Ke daerah orang Comanche? Astaghfirullah! Apa yang kau kehendaki di situ?" "Saudara tidak kenal tabiat kaum Comanche? Kita telah merebut tawanan mereka. Maka mereka pasti akan ke sini untuk membalas dendam." "Mereka ke hacienda? Jarak sejauh itu?" "Orang Indian tidak mengenal jarak, bila tujuannya hendak membalas dendam dan untuk mengambil scalp (kulit kepala) musuhnya. Orang-orang Comanche pasti akan datang." "Tetapi mengapa harus menyongsong mereka?" "Untuk melihat mereka dan untuk mengetahui, kapan mereka tiba di sini dan jalan mana yang dilaluinya." "Apakah tidak lebih baik menanti mereka di sini dan mengirim beberapa prajurit untuk memata-matai mereka?" "Aku lebih suka melihat dengan mata kepala sendiri dan kurang percaya laporan orang lain. Si Panah Halilintarlah, sebenarnya mengusulkan pergi menyongsong anjing-anjing kaum Comanche itu. Sekarang ia sedang sakit, akulah yang menggantikannya." "Kalau begitu, saudara dapat pergi. Aku akan memanggil Fransisco." Tak lama kemudian vaquero itu tiba. Dari wajahnya dapat dipastikan, bahwa dialah orang yang sesuai untuk tugas ini. Mereka mengemasi barang-barang yang diperlukan dalam perjalanan mereka. Kemudian berangkatlah mereka. Dua orang gadis itu hanya bersama orang luka itu dalam kamar, air mata Emma tak tertahan lagi, mulai bercucuran. Kehadiran gadis itu benar-benar menyejukkan hati orang sakit itu. Bila gadis itu melihat ia menderita, maka dipegang tangannya, ketegangan pada wajahnya segera lenyap. Bila suatu kali diciumnya dahi si sakit yang pucat pasi atau bibirnya, maka pada wajah si sakit tampak cahaya kegembiraan, yang membuatnya melupakan penderitaan seketika. "Ia sudah mengenal aku kembali, bukankah demikian?" tanya Emma kepada gadis Indian. "Masa? Ia tidak melihatmu!" jawab Karja. "Tanpa melihat dengan matanya ia dapat mengenaliku. Ia dapat melihat dengan hatinya, bahwa kekasihnya duduk di sampingnya. Aku sangat menyesali kepergiannya ke El Reparo. Mengapa saudaramu Tecalto harus membawanya ke gunung sial itu?" "Jangan menyalahkan Tecalto. Sesungguhnya ia bermaksud baik. Ia ingin memperlihatkan harta raja-raja kepadanya dan menghadiahkan sebagian dari harta itu kepadanya." "Dan kau ingin memberi harta itu kepada pangeran!" kata Emma, menyesali perbuatan kawannya. "Tak dapatkah kau memaafkan aku?" demikian Karja memohon. "Aku memaafkanmu, karena aku mengetahui, bahwa cinta lebih kuat dari perkara lain. Dapatkah ia sehat kembali seperti sedia kala?" "Tidak. Kau saja yang melihat. Aku tidak ingin mengetahui sesuatu yang dimiliki Alfonso." Barang bawaan Alfonso terdiri dari dua tas pelana, padat berisi barang-barang. Tas-tas itu dibuka gadis Indian itu. Di antara barang-barang isinya, tak ada yang mencurigakan. Hanya di dasar tas kedua ditemukan sepucuk surat. Langsung surat dibaca oleh gadis itu. Itulah surat yang diterima pangeran dari seorang utusan. Karja melirik Emma. Karena dilihatnya Emma sedang sibuk dengan si sakit, maka cepat-cepat dimasukkannya surat itu ke dalam baju. Kuda-kuda Meksiko itu dapat berjalan cepat dan tidak lekas letih. Si Hati Beruang melarikan kudanya bersama Fransisco, vaquero itu, secepat angin ke arah utara. Ketika malam tiba, sekonyong-konyong si Hati Beruang menghentikan kudanya, lalu melihat ke tanah. Vaquero pun turut melihat ke tanah juga. "Bukankah ini jejak-jejak kaki?" ia bertanya kepada orang Apache itu. "Benarlah. Jejak kaki kuda; banyak sekali!" jawab orang Indian itu. "Mereka datang dari arah utara!" "Lalu membelok ke arah timur." "Mari kita memeriksa lebih teliti!" Mereka turun dari atas kuda dan memeriksa jejak-jejak kaki itu. "Banyak benar kuda yang lewat di sini!" "Mungkin ada dua ratus ekor." Si Hati Beruang mengangguk, lalu menunjuk pada jejak kaki kuda yang tepinya masih tajam. "Ya," kata vaquero yang mulai merasa cemas. "Kita beruntung. Mereka baru seperempat jam yang lalu meninggalkan tempat ini." "Mari, kita harus pergi sekarang juga! Aku harus melihat mereka." Mereka segera naik kudanya, lalu mengikuti jejak itu. Mereka menuju ke daerah pegunungan. Menjelang malam mereka melihat di atas sebuah bukit di hadapan mereka garis hitam meliuk-liuk. "Itulah penunggang-penunggang kuda kaum Comanche!" seru orang Apache itu. "Benarlah. Mereka tentu menuju ke hacienda." "Mereka bersembunyi sampai esok di pegunungan," jawab orang Indian itu. "Saudara harus selekasnya pulang ke hacienda untuk bersiap menghadapi musuh. Aku tetap di sini mengikuti jejak musuh. Aku harus mengetahui apa yang mereka kehendaki." Setelah mengucap perkataan, orang Apache itu berpaling dan melanjutkan perjalanannya, tanpa melihat vaquero itu menjalankan perintah atau tidak. "Per dios!" kata Fransisco perlahan-lahan. "Orang Indian itu benar-benar hebat! Seorang diri berani menghadapi musuh sebanyak dua ratus orang. Ia memberi perintah, apa yang harus kulakukan, lalu tidak menghiraukan lagi, perintahnya diturut atau tidak." Kemudian berpaling dan melarikan kudanya kembali ke arah selatan. Fransisco harus lekas-lekas membawa berita kemalangan itu ke hacienda. Maka dipacu kudanya. Hampir tengah malam ia tiba di situ. Semua penghuni hacienda sudah tidur, hanya Emma masih bangun menjaga kekasihnya. Vaquero itu mula-mula menghadap kepadanya. Emma membangunkan ayahnya. Vaquero itu disuruh menghadap ayahnya dalam kamar. "Benarkah, apa yang dikatakan Emma itu?" tanya Arbellez. "Kaum Comanche sedang menuju ke mari?" "Benarlah, senor." "Bilamana mereka diperkirakan dapat sampai ke sini? Kuharap, jangan hari ini." "Tidak. Hari ini kita masih aman." "Banyakkah mereka itu?" "Tak kurang dari dua ratus orang." "Santa Madonna! Celaka kita! Mereka akan menghancurkan hacienda." "Itu tidak kukhawatirkan, senor," bantah vaquero perkasa itu. "Kita masih dapat mengadakan perlawanan; senjata kita pun cukup banyak." "Tempat kau menjumpai mereka, berapa jauh dari sini?" "Kira-kira enam jam naik kuda." "Mereka tidak langsung menuju ke hacienda?" "Tidak. Mereka terlalu hati-hati untuk berbuat demikian. Sekarang mereka sedang bersembunyi di pegunungan. Sudah dapat dipastikan, bahwa mereka tidak akan sampai ke mari sebelum besok malam." "Namun kita harus membuat persiapan sekarang juga. Sayang sekali, senor Unger sedang sakit!" "Hati Beruang dan Kepala Banteng pun masih ada." "Kepala Banteng masih di gunung El Reparo. Akan kusuruh seseorang memanggilnya." "Aku sajakah yang ke sana?" "Kau terlalu lelah." "Lelah?" kata Fransisco sambil tertawa. "Kudaku yang lelah, aku sendiri tidak." "Tahukah kau di mana kepala suku itu dapat dijumpai?" "Di ujung sungai kedua." "Baik. Pasti akan kau jumpai dia. Boleh kau membangunkan orang-orang, lalu naik kuda ke El Reparo." Seperempat jam setelah kepergiannya, beberapa api unggun dinyalakan orang di sekitar hacienda. Terang nyala api itu menghindarkan mereka dari kedatangan musuh. Si Kepala Banteng sedang meninggalkan gunung El Reparo bersama orang-orang suku Mixteca, ketika mereka dijumpai oleh Fransisco. "Mengapa kau datang ke mari? Apa yang terjadi?" "Cepat pergi ke hacienda. Orang-orang Comanche datang menyerang kita!" seru Fransisco. "Masa begitu cepat? Siapa yang mengatakannya?" tanya orang Indian itu. "Aku melihatnya sendiri." "Di mana?" Fransisco menceritakan tentang perjalanan sehari sebelumnya. "Kalau begitu, kita masih mempunyai waktu," kata si Kepala Banteng. "Kaum Comanche akan kehilangan beberapa scalp (kulit kepala). Bila si Hati Beruang mengejarnya, segalanya akan beres. Mereka tidak akan lepas dari tangan kami." Kini ia melarikan kuda cepat-cepat ke hacienda, yang dijumpainya dalam keadaan kacau-balau. Arbellez sendiri menerima cibolero dan menanyakan pendapatnya. Orang Indian itu memperhatikan sekeliling, lalu menggeleng kepala, ketika melihat persiapan pertahanan mereka. "Kau kira orang Comanche itu bodoh semuanya?" katanya. "Tidak," kata Arbellez. "Sebaliknya, mereka cerdik. Tetapi mengapa bertanya demikian?" "Perlukah segala persiapan ini?" "Santa Madonna! Jadi kita tidak perlu mempertahankan diri?" "Memang perlu, tapi bukan begini caranya. Kaum Comanche akan mengirim orang-orangnya untuk memata-matai gerak-gerik kita. Mereka takkan menyerang pada siang hari. Bila kita hendak menghalau mereka, mereka tidak boleh mengetahui, bahwa kita sudah mengetahui lebih dahulu tentang kedatangan mereka." "Benar juga pendapatmu!" "Jadi kita harus mengadakan persiapan secara diam-diam. Berapa orang bernaung di bawah pimpinanmu?" "Empat puluh orang." "Itu sudah memadai. Mereka masing-masing punya senapan?" "Semua mereka mempunyai senjata. Mesiu pun cukup. Bahkan meriam pun tersedia." "Meriam?" tanya orang Indian itu terheran-heran. "Benar, ada empat pucuk." "Aku tidak mengetahui tentang itu. Dari mana dapat diperoleh?" "Tukang besi kita telah membuatnya, ketika kau tidak di sini." Orang Indian itu menggeleng kepala. "Tukang besi dapat membuatnya? Tetapi senjata itu benar ampuhkah?" "Memang ampuh. Senjata itu sudah kami tes lebih dahulu. Larasnya terbuat dari kayu besi yang kuat, diperkuat oleh lima gelang besi tempa sekitarnya. Tak mungkin laras itu meledak." "Kalau begitu, senjata itu boleh digunakan. Kita akan menembak dengan kaca, paku dan besi tua. Tembakan demikian akan membingungkan mereka. Kemungkinan besar musuh akan mengadakan serangan besok malam. Hacienda harus gelap-gulita, sehingga kaum Comanche mengira kita sedang tidur nyenyak semuanya. Bila mereka mendekat, api-api unggun kita nyalakan di mana-mana, sehingga daerah sekitar hacienda akan terang-benderang. Dengan demikian peluru kita lebih tepat mengenai sasarannya." "Baik kita nyalakan api-api itu di atas atap rumah yang datar itu." "Itu pendapat baik. Kita sediakan di tiap sudut setumpuk kayu bakar, yang kita sirami dengan minyak tanah. Itu cukup untuk menerangi seluruh pekarangan." "Dan di mana meriam itu kita tempatkan?" "Di tiap sudut rumah kita mendirikan semacam kubu pertahanan. Di belakangnya kita tempatkan meriam-meriam. Tiap meriam harus dapat menembak dua jurusan. Ah!" Kata seru itu ditujukan pada seorang penunggang kuda, yang telah menempuh jarak jauh. Orang Apachelah, yang baru datang itu. "Hati Beruang!" seru Arbellez. "Dari mana kau?" "Dari daerah orang Comanche." "Di manakah mereka?" "Di El Reparo." "Di El Reparo?" tanya si Kepala Banteng. "Mereka bermalam di sana?" "Benar. Aku telah mengikuti sampai ke gunung. Mereka baru tengah malam tiba di sana." "Di sebelah mana tempat perkemahan mereka?" "Di sebelah utara." "Uf! Jangan-jangan..." Orang Mixteca itu tiba-tiba memotong perkataannya sendiri, lalu bicara berbisik-bisik dengan orang Apache itu: "Jangan-jangan mereka menemukan pangeran di situ!" "Tak usah takut. Ketika itu ia sudah mati dimakan buaya," jawab orang Apache itu berbisik pula. Kaum Comanche terdiri atas dua ratus orang. Mereka dipimpin oleh salah seorang kepala suku yang termasyhur, Arika-tugh atau si Rusa Hitam namanya. Di sisinya terdapat dua orang penunggang kuda yang tangkas dan mengenal baik daerah sekitar hacienda. Mereka tidak mungkin menempuh jalan sesat. Mereka naik kuda beriring-iringan seperti biasa dilakukan orang Indian, bila mendaki gunung dan mereka tidak menyadari, bahwa mereka sedang diikuti dari belakang oleh orang Apache itu. Akhirnya mereka sampai di kaki gunung sebelah utara. Mereka mendaki lerengnya, kemudian berhenti di balik gerombolan pohon-pohonan. "Tahukah saudara sebuah tempat persembunyian yang baik di sekitar daerah ini untuk bersembunyi pada siang hari?" tanya si Rusa Hitam kepada salah seorang penunjuk jalan. Orang itu berpikir sejenak, lalu menjawab, "Ada. Di atas sana, dekat puncak gunung." "Tempat apakah itu?" "Di sana ada reruntuhan sebuah kuil. Pekarangannya luas dapat menampung beribu-ribu orang prajurit." "Saudara kenal baik tempat itu?" "Benarlah demikian." "Perlukah tempat itu diselidiki lebih dahulu?" "Memang, itu lebih baik." "Kalau begitu, kita akan pergi berdua, sedangkan yang lain harus menunggu." Mereka turun dari atas kudanya, memegang senjata mereka dan masuk ke dalam hutan. Orang Indian mempunyai bakat mencari jalan di hutan-hutan. Perasaan serta pandangan matanya sangat tajam, sehingga boleh dikata, mereka tak pernah tersesat. Maka penunjuk jalan ini pun, dipimpin oleh perasaan tajam itu, tanpa ragu-ragu melangkahkan kakinya mengarungi hutan ke arah reruntuhan kuil itu. Kepala suku Comanche mengikuti mereka. Meskipun hari sudah gelap gulita, mereka dapat menemukan reruntuhan itu, lalu mulai menyusuri dinding-dinding separuh runtuh itu. Hati mereka lega, karena tidak bertemu dengan orang di daerah itu. Tapi apakah itu? Suara siapakah meraung-raung di kejauhan? Suara manusia atau binatangkah? "Suara apakah itu?" tanya si Rusa Hitam. "Belum pernah kudengar suara seaneh itu," kata penunjuk jalan itu. Sekali lagi terdengar teriak itu, memanjang bunyinya serta mengerikan. "Itu suara seorang manusia dalam bahaya maut! Dari manakah suara itu?" tanya kepala suku itu. "Entahlah. Gema yang memantulkannya memberi petunjuk yang salah." "Tempat reruntuhan harus kita tinggalkan terlebih dahulu." Kini orang-orang Indian itu mendaki tumpukan-tumpukan puing, lalu tiba di udara terbuka. Ketika itu terdengar sekali lagi raung suara mengerikan itu. Dan sekarang mereka mengetahui, dari mana suara itu datang. Kedua orang itu menyelinap dengan hati-hati, lalu tiba di tepi kolam. Ketika mereka menyusuri tepi kolam, tiba-tiba terdengar suara yang mendirikan bulu roma, sekali ini dari tempat yang sangat dekat dengan mereka. Meskipun orang Indian itu terkenal sebagai orang yang mempunyai urat saraf baja, namun mereka saling terkejut mendengar suara itu. "Dari sinilah keluar suara itu," kata penunjuk jalan, "dari dalam air." "Bukan. Dari atas air," kata kepala suku memperbaiki ucapan tadi. "Dengarlah!" "Bunyi ketepuk-ketepuk seperti gelepar buaya dalam air." Air yang digerakkan binatang-binatang itu berkilat-kilat. "Benar buaya! Lihat kilat di air itu!" "Dan ada orang di tengah-tengah binatang itu!" "Bukan. Orang itu di atasnya, di pohon." Arika-tugh menunjuk pada pohon di hadapannya. "Kalau begitu, orang itu terikat tubuhnya." Terdengar lagi raung itu, berasal dari ruang udara di antara permukaan air dengan daun-daun pohon. "Siapa memanggil?" tanya kepala suku dengan suara kuat. "Tolong!" jawabnya. "Kau di mana?" "Aku tergantung di pohon." "Uf! Di atas air?" "Benar! Cepat tolong!" "Siapakah kau?" "Seorang Spanyol." "Seorang Spanyol! Seorang kulit putih!" bisik si Rusa Hitam kepada kawannya. "Biarkan dia tergantung di pohon." Namun kemudian ia bertanya lagi. "Siapa yang menggantungmu?" "Dua orang Indian musuhku." "Uf!" kata kepala suku itu. "Ia digantung di pohon untuk pembalas dendam." Kemudian ia bertanya, "siapakah orang Indian yang dimaksud?" "Seorang suku Mixteca dan seorang suku Apache. Lekas, tolong aku! Aku tidak tahan lagi. Buaya akan mencabik-cabik tubuhku." "Mereka musuh kita. Kalau begitu, baik kita bebaskan orang itu. Tetapi mula-mula ia harus diterangi dahulu." Lalu orang Indian itu mencari tumbuh-tumbuhan kering dan menyalakan api dengan memakai pemantik apinya. Api itu menerangi sekeliling, di pohon tergantung tubuh seorang kulit putih, kakinya sedikit di atas permukaan air. Tiap kali ia menarik kaki ke atas, bila buaya-buaya itu hendak memagutnya. "Hukuman berat itu untuk melaksanakan balas dendam!" kata si Rusa Hitam. "Ia harus menjawab pertanyaan tanpa takut pada buaya-buaya itu." Maka ia memanjat pohon, lalu menarik pada tali laso. Tubuh orang itu makin naik ke atas, sehingga ia terhindar dari bahaya dimakan buaya itu. Alfonso melihat dengan sekejap mata dalam cahaya api itu, bahwa orang yang baru datang orang Indian suku Comanche. Wajahnya yang coreng-moreng menandakan, bahwa mereka dalam keadaan perang. Ia paham semua itu dan hatinya merasa lega. Jiwanya akan diselamatkan oleh kaum Comanche itu. "Mengapa kau sampai digantung demikian?" tanya kepala suku itu selanjutnya. "Karena aku berperang melawan mereka. Mereka musuhku." "Mengapa tidak kau bunuh anjing-anjing itu. Orang Apache dan Mixteca adalah pengecut." "Dua orang itu si Hati Beruang, kepala suku Apache dan si Kepala Banteng, kepala suku Mixteca." "Si Hati Beruang dan si Kepala Banteng!" seru orang Comanche itu. "Di mana mereka sekarang?" "Lepaskan aku dan aku akan dapat menangkap mereka." "Baik. Akan tetap kubebaskan kau." Si Rusa Hitam menarik dengan sekuat tenaga tali laso, sehingga pangeran itu akhirnya dapat mencapai sebuah dahan, lalu bersandar pada dahan itu. Oleh karena itu tangan orang Comanche itu menjadi bebas. Ia mencabut pisau dan memotong tali pengikat tubuh pangeran. Kini pangeran, meskipun masih sangat lemah, dapat berpegangan dengan tangan sendiri. "Nah!" serunya. "Aku bebas! Bebaas!" Kemudian ia berteriak penuh kebencian dalam gelap gulita. "Tapi kini pembalasannya! Pembalasan!" "Jangan khawatir! Pembalasan pasti akan terlaksana!" kata orang Comanche itu, yang merasa girang karena mendapat kawan baru. "Tetapi apa guna berteriak sekeras itu! Kau mengetahui pasti, bahwa tak seorang pun terdapat di sekitar daerah ini?" "Tiada seorang pun. Yang terdapat hanya aku dengan buaya-buaya ini. Aduh, peristiwa ini takkan kulupakan seumur hidupku." "Benarlah pendapat itu. Perlakuan sekejam ini tidak boleh kau lupakan seumur hidup. Berusahalah membalas dendam! Mari, kita sekarang turun dari atas pohon ini." Alfonso baru sekarang merasa bebas benar, ketika kakinya menginjak tanah. "Terima kasih!" katanya. "Mintalah apa yang kau kehendaki. Akan kukabulkan!" Jawab orang Comanche itu tenang, "Duduklah di sisi kami dan jawablah pertanyaan kami." Alfonso duduk di atas rumput. Kakinya yang sakit karena tali pengikat, kini dapat diluruskannya dengan bebas. Belum pernah hidup dirasakannya senyaman sekarang. Kemudian ia bertanya, "Kalian orang-orang Comanche?" "Benar. Aku kepala sukunya, bernama Arika-tugh atau Rusa Hitam." "Kalian sedang dalam keadaan perang?" Orang Indian itu mengangguk. Lalu bertanya, "Kau kenal Hacienda del Erina? Siapa nama orang yang tinggal di situ?" "Namanya Pedro Arbellez." "Ia mempunyai anak perempuan?" "Benar." "Gadis itu mempunyai kawan, seorang gadis Indian dari suku Mixteca?" "Benar. Namanya Karja, adik Tecalto." "Adik si Kepala Banteng?" tanya kepala suku itu terkejut. "Uf! Sayang kami tidak menjaga dua squaw itu lebih baik." "Aku sudah dari dahulu mengetahuinya." "Ah, apakah mungkin?" tanya si Rusa Hitam. "Ya, karena mereka tinggal bersamaku." "Bersamamu? Kau menggunakan bahasa teka-teki. Kukira, mereka tinggal di hacienda." "Itu pun benar, karena hacienda itu kepunyaanku." "Kepunyaanmu? Jadi kau adalah senor Pedro Arbellez?" "Bukan. Aku adalah pangeran Alfonso de Rodriganda. Arbellez hanya menyewa haciendaku." "Uf!" kata orang Comanche itu dengan nada dingin, sambil bangkit berdiri. "Kalau begitu, kau harus digantung lagi di pohon di atas air, supaya menjadi mangsa buaya." Akan tetapi Alfonso tidak hilang akal. Ia percaya, bahwa perkara ini akan beres. Dengan tersenyum ia bertanya, "Mengapa aku harus digantung lagi?" "Karena kau adalah pelindung dua squaw itu." "Tenang dahulu, Rusa Hitam! Aku bukan pelindungnya. Sebaliknya, mereka adalah musuhku dan kalian kawanku. Tahukah kalian, bahwa aku digantung karena pengaduan dua orang gadis itu? Untunglah kalian datang tepat pada waktunya. Kalian menyelamatkan jiwaku. Untuk menyatakan terima kasih akan kuhadiahkan kepadamu tiga orang musuh besarmu, yaitu: Kepala Banteng, Hati Beruang dan Panah Halilintar." "Maksudnya Itinti-ka, pencari jejak yang ulung?" seru orang Comanche itu. "Di manakah dia?" Pertanyaan ini diajukannya dengan gugup. Pengharapan untuk menguasai sekaligus tiga orang kenamaan itu membuatnya kehilangan segala keseimbangan jiwa dan ketenangannya. "Akan kau dapat keterangan itu, tetapi dengan syarat tertentu. Kau hendak menyerang hacienda?" "Benar," kata orang Indian itu. "Engkau akan berhasil?" "Rusa Hitam belum pernah gagal." "Kau mempunyai banyak prajurit?" "Sepuluh kali sepuluh kali dua orang." "Dua ratus orang? Sudah cukup. Kau akan memperoleh ketiga orang kepala suku itu serta scalp-scalp semua penghuni hacienda, pendeknya semua yang dapat ditemukan dalam hacienda, asal jangan mengganggu rumahnya, karena rumah itu milikku." Orang itu berpikir sejenak, lalu menjawab, "Baiklah. Keinginanmu akan terlaksana! Di manakah dapat ditemukan tiga orang itu?" "Mereka semua bertempat tinggal di hacienda," kata pangeran sambil tersenyum puas. "Uf, uf! Kau benar-benar cerdik!" kata Rusa Hitam. "Tetapi kau harus memegang janji!" "Kepala suku Comanche tak pernah ingkar janji. Baik! Rumah itu milikmu. Musuh kita tiga orang itu, kulit kepala orang-orang hacienda, seluruh isi hacienda adalah bagian kami. Apakah hacienda terbuat dari batu?" "Dari batu dan dikelilingi dinding. Tetapi kuketahui jalan-jalan rahasia dan akan kutunjukkan kepada kalian. Kalian akan masuk ke dalam rumah, ketika penghuninya masih tidur nyenyak. Mereka akan terbangun, menjadi mangsa pisau belati dan tomahawkmu." "Banyakkah senjata di hacienda itu?" "Banyak, tetapi mereka tak dapat menggunakannya." "Berapa orang bertempat tinggal di situ?" "Kira-kira empat puluh." "Empat kali sepuluh? Itu berarti tujuh kali sepuluh, karena setiap kepala suku sama nilai dengan sepuluh orang." "Panah Halilintar tidak dapat dihitung. Ia luka-luka, mungkin sudah mati. Telah kupukul kepalanya dengan senjata pemukul." "Uf. Kau telah berkelahi dengan Itinti-ka? Siapa berani berkelahi dengan dia adalah seorang prajurit gagah perkasa." "Aku bukan seorang pengecut, meskipun kau jumpai aku sebagai seorang tawanan." "Itu akan terbukti. Bila engkau mengantar kami ke hacienda. Apakah tidak terduga oleh mereka, bahwa prajurit-prajurit Comanche akan datang membalas dendam?" "Aku tidak mendengar mereka berbicara tentang hal itu." "Akan kukirim seorang mata-mata." "Tapi ia tak boleh diketahui seseorang." "Uf! Ia akan langsung pergi ke hacienda." "Ia akan dibunuh!" "Tidak. Ia bukan orang Comanche, melainkan seorang Indian suku Opata. Mereka tidak mencurigainya, sedangkan diam-diam ia mengumpulkan berita tentang mereka, apakah mereka bersiap menghadapi peperangan dengan kaum Comanche atau tidak. Tetapi sekarang aku mengetahui semua. Saudara boleh pergi mengumpulkan prajurit dan membawa ke tempat reruntuhan kuil itu. Aku pun hendak ke sana bersama kepala suku orang kulit putih itu." Penunjuk jalan itu bergegas meninggalkan tempat itu dan kepala suku pergi bersama Alfonso ke tempat reruntuhan kuil. Tetapi sebelumnya, orang Spanyol itu masih sempat melirik ke kolam penuh buaya, yang membawa kenangan-kenangan yang mencekam dan mengerikan. Di tepi kolam bergerombol binatang menjijikkan itu, melihat dengan kepala terangkat ke arah mangsanya, yang sudah terlepas itu. BAB V PERBUATAN HATI BERUANG YANG MENDATANGKAN KEKAGUMAN Pagi-pagi keesokan harinya, kepala suku itu menempuh hutan bersama Alfonso dan penunjuk jalan untuk menyelidiki daerah itu. Mereka tiba di tepi punggung bukit. Dari atas tempat itu mereka dapat meninjau lembah di bawah. Tiba-tiba terdengar ledakan dahsyat di bawah. "Apa itu?" tanya Rusa Hitam. "Bunyi tembakan," terka penunjuk jalan. "Bukan tembakan, melainkan ledakan," kata Alfonso, yang segera mengetahui, apa yang sebenarnya terjadi di bawah. Mereka berjalan sampai ke ujung tebing, melihat ke bawah, ke anak sungai. Di situ mereka melihat Kepala Banteng sedang melarikan kuda bersama orang-orang Indian lainnya. Alfonso melihat kuda beban yang membawa selimut-selimut dan ia menduga, bahwa selimut itu diisi dengan sebagian harta raja-raja. "Siapakah orang-orang itu?" tanya kepala suku itu. "Mereka kaum Mixteca," jawab orang Spanyol itu. "Nasib kaum Mixteca akan mati punah!" "Mereka masih cukup kuat. Ingat saja, bahwa mereka di bawah pimpinan Kepala Banteng." "Uf! Itu dia, Kepala Banteng!" seru Arika-tugh, sambil memandang dengan rasa benci kepadanya. "Tak lama lagi pasti ia digiring ke perkampungan orang Comanche untuk mati di tiang penyiksa." Setelah mereka kembali di tempat reruntuhan, mereka mengirim seorang mata-mata. Orang itu berpakaian sebagai seorang Indian yang terhormat, mendapat sepucuk senapan tua dan diberi seekor kuda pilihan yang terburuk. Ia mendapat tugas mengunjungi hacienda, tetapi melalui jalan memutar, sehingga masuk dari arah selatan. Kepala Banteng sedang berdiri bersama haciendero dan Hati Beruang dekat jendela, ketika mata-mata itu datang masuk pekarangan. "Uf!" seru orang Apache itu sambil tertawa mengejek. "Ada apa?" tanya Arbellez terheran-heran. "Kawan kita mengira, bahwa mata-mata musuh sudah datang," kata Kepala Banteng untuk menerangkan ucapan orang Apache itu. "Ia bukan orang Comanche!" kata Arbellez. "Ia seorang Mara atau Opata. Pasti ia seorang pembelot." "Bagaimana kita harus menyambut dia?" "Dengan ramah-tamah. Ia tidak boleh mengetahui, bahwa kita mempersiapkan diri untuk berperang." Haciendero pergi ke pekarangan. Orang Indian yang hendak masuk ke kamar para pekerja, memberi salam dengan sopan. "Apakah ini Hacienda del Erina, tuan rumahnya adalah senor Pedro Arbellez?" tanya Indian Opata itu. "Itu saya sendiri." "Maaf, Don Pedro! Bolehkah saya masuk?" "Tentu boleh! Setiap tamu diperbolehkan masuk. Anda datang dari mana?" "Saya datang dari daerah pegunungan Durango." "Itu jauh sekali." "Selama beberapa tahun saya tinggal di sana, tetapi tak tahan lebih lama lagi, disebabkan penyakit demam yang bersimaharajalela di sana. Nampaknya kehidupan di sini lebih baik. Apakah Anda memerlukan seorang vaquero di sini, senor?" "Maaf. Pada saat ini kami sudah mempunyai cukup pegawai. Tetapi Anda boleh tinggal di sini, beristirahat selama Anda kehendaki." "Terima kasih. Karena Anda tidak memerlukan orang, saya akan berusaha mencari pekerjaan di daerah sekitar sini. Sayang dalam perjalanan saya khawatir kemungkinan mendapat gangguan." "Mengapa? Takutkah Anda menghadapi orang Indian?" "Bukanlah gangguan dari orang Indian yang saya khawatirkan, melainkan dari gerombolan orang. Bukankah didesas-desuskan, bahwa kaum Comanche hendak mengadakan penyerbuan ke sini?" "Anda telah mendapat penerangan salah. Kaum Comanche tak berani datang ke mari, karena mereka mengetahui, pertahanan kami sangat kuat. Akan tetapi, Anda boleh tinggal di sini, makan dan minum sepuas hati." Tuan rumah meninggalkan orang Opata itu, tidak terpengaruh sedikit pun oleh berita yang baru didengarnya. Tamunya sama sekali tidak memerlukan istirahat. Ia berkelana dengan tidak mengenal lelah di daerah sekeliling hacienda, lalu tengah hari ia meninggalkan hacienda. Ia pura-pura pergi ke perbatasan, padahal kembali menuju ke arah perkemahan kaum Comanche. Setelah dilaporkan kepada kepala suku, apa yang dilihatnya, Rusa Hitam mengangguk, lalu berkata dengan tertawa puas, "Hacienda itu akan dibangunkan oleh amukan prajurit kita yang dahsyat dari tidur yang nyenyak. Kaum Comanche akan berhasil membawa harta benda dan kulit kepala musuh kembali ke perkemahannya." Ia minta Alfonso dan mata-matanya melukiskan letak serta seluk-beluk gedung hacienda. Kemudian diadakanlah suatu pertemuan untuk membicarakan rencana penyerbuan mereka. Mereka mengambil keputusan untuk berangkat pada senja hari. Menjelang tengah malam tibalah mereka di sekitar hacienda. Mereka hendak mengepung hacienda. Kemudian kepala suku akan memberi isyarat dan mereka harus memanjat dinding pertahanan, lalu dapatlah mengepung gedung hacienda. Lima puluh prajurit harus masuk gedung melalui jendela dan menyebar ke dalam berbagai lorong. Kemudian barulah dimulai dengan pembunuhan-pembunuhan. Sementara kaum Comanche bermusyawarah, di hacienda pun para penghuni sedang bermusyawarah. "Apakah tersedia petasan?" tanya Kepala Banteng. "Banyak. Tiap pesta yang kami adakan harus diramaikan dengan petasan," jawab Arbellez. "Mengapa kau tanyakan petasan?" "Maksudnya untuk mengusir kuda-kuda kepunyaan kaum Comanche, supaya mereka terhambat dalam gerakannya. Maka kita harus mengetahui, di mana mereka menyembunyikan kuda. Kita akan melemparkan petasan di bawahnya." "Itu akan terjadi." "Tetapi diperlukan prajurit yang gagah berani serta berhati-hati." "Itu kupunyai. Kapan kita mulai membuat pertahanan?" "Sebenarnya harus kita tunggu sampai malam tiba. Tetapi karena mata-mata mereka tidak mencurigai kita sedikit pun, bolehlah kita mulai dengan pekerjaan itu sekarang." Kini dimulailah kesibukan besar. Menjelang malam tak seorang vaquero pun tinggal di padang rumput seperti biasa. Mereka bersiap-siap di belakang dinding pertahanan menunggu segala sesuatu yang terjadi. Sejam sebelum tengah malam orang Apache berangkat untuk memata-matai. Ia membawa dua orang prajurit bersenjata lengkap. Mereka membawa juga petasan cukup banyak untuk mengacaukan seribu ekor kuda. Akhirnya kepala suku kembali seorang diri. "Telah kau lihat kaum Comanche itu?" tanya haciendero. "Di manakah mereka?" "Mereka telah mengepung hacienda. Kuda-kuda mereka disembunyikan dekat anak sungai." "Penjagaan mereka terdiri dari berapa orang?" tanya Kepala Banteng. "Hanya tiga orang." "Uf! Orang-orang kita akan melakukan tugas." Kini Arbellez pergi ke kamar orang sakit. Meskipun berwajah pucat, namun mereka tetap tenang. "Sudah datang mereka?" tanya Emma. "Sudah. Si sakit sedang tidur?" "Ia tidur dengan nyenyak." "Maka kalian boleh pergi menempati tempat kalian. Bawalah sumbu yang kalian perlukan!" Gadis-gadis itu menyalakan sumbu, lalu berlari ke atap datar rumah. Di tiap-tiap sudut atap terdapat unggunan kayu bakar yang telah disiram dengan minyak tanah. Di samping itu terdapat juga batu-batu besar serta senapan-senapan yang sudah diisi, siap sedia untuk ditembakkan. Malam itu sunyi senyap. Hanya desir air sungai dan dengus kuda terdengar dari padang rumput. Namun hati penghuni hacienda berdebar-debar menanti kejadian berikutnya. Sekonyong-konyong terdengar bunyi katak, sungguh-sungguh. Tetapi segenap penghuni hacienda yang sedang waspada, mengerti bahwa bunyi itu merupakan aba-aba untuk menyerang. Fransisco, vaquero yang berpengalaman, telah menawarkan jasa untuk melayani meriam yang di tempatkan di depan. Ia telah mengisi dengan pecahan beling, paku dan potongan besi. Di bawah selimut yang menutup meriam itu menyala sumbu, siap sedia untuk membakar mesiu. Dengan sabar ia duduk di belakang meriamnya sambil memasang telinga. Di bawah jendela, di sebelah kanan pintu masuk, berdiri kepala suku Apache sedang berjaga-jaga dan di sebelah kiri pintu masuk berdiri seorang prajurit penjaga. Kedua orang itu masing-masing memegang senapan dalam tangannya dan senantiasa waspada pada tiap gerak-gerik di dalam kegelapan. Sekali lagi terdengar bunyi korek katak itu, langsung diikuti oleh gerak-gerik prajurit di depan dinding pertahanan. Mereka memanjat dinding dan tiba di pekarangan rumah. Kelima puluh orang mendapat tugas masuk rumah, bergerombol dekat pintu masuk. Pada saat itu orang Apache itu menjulurkan senapan yang berlaras dua ke luar jendela. "Ankhuan selkhi no-khi-tembak!" Senapannya meletus. Langsung keadaan tenteram damai dalam hacienda berubah menjadi waspada dan siap-siaga di seluruh penjuru. Gadis-gadis yang bertugas di atas atap rumah yang datar, segera menyalakan api di keempat sudut. Dalam sekejap mata sekeliling rumah terang-benderang. Orang-orang Indian berdiri terpaku sejenak, kebingungan. Dalam terang cahaya api tampak oleh Francisco kelima puluh orang Comanche terdiam di hadapannya, pada jarak kurang dari lima belas meter. Langsung ia melepaskan tembakan dengan meriam. Akibat yang ditimbulkan tembakan ini tidak dapat dilukiskan. Gerombolan itu hampir seluruhnya berjatuhan di atas tanah. Kemudian keadaan kacau-balau. Di atas tanah tampak tubuh mereka merayap kian kemari, saling menghambat. Keadaan ini berlangsung cukup lama, sehingga Francisco dapat mengisi meriam lagi. Tembakan kedua dilepaskan pula, yang mengakibatkan keadaan kacau-balau di kalangan musuh berlangsung terus. Meriam lain-lainnya pun turut berdentuman di setiap penjuru. Dari atas atap rumah tampak kilat api yang berasal dari laras senapan. Tiba-tiba terdengar bunyi rentetan letusan yang memekakkan telinga. Dari atas atap kejadian itu dapat disaksikan dengan nyata. Petasan-petasan besar sedang dilemparkan ke bawah kaki kuda-kuda musuh. Bunyi letusan itu diiringi oleh bunyi ringkik dan dengus kuda beratus-ratus ekor, memberontak dan memutuskan tali pengikatnya, lalu lari dengan liar ke segenap penjuru, menginjak segala sesuatu yang menghalangi jalannya. Para penyerbu mulai mencurahkan kemarahannya dengan meraung-raung. Mereka disinari dengan terangnya oleh nyala api, sehingga merupakan sasaran empuk, sedangkan kamar-kamar di dalam rumah diliputi oleh kegelapan. Prajurit Comanche tidak mendapat keuntungan oleh keadaan demikian. Penyambutan secara demikian sama sekali tidak disangka-sangka. Kini mereka terpaksa melarikan diri. Hanya Rusa Hitam tetap bertahan. Ia berusaha mengobarkan semangat orang-orangnya, namun sia-sia belaka. Mula-mula ia berdiri di samping rumah. Kini ia pindah ke depan rumah dengan harapan, melihat prajuritnya lebih berhasil di situ. Namun ia kecewa lagi. Malah lebih buruk keadaan di sini. Francisco telah menyapu bersih lawannya dengan meriam. Rusa Hitam putus harapannya memenangkan peperangan ini, melompat ke atas dinding pertahanan, hendak melarikan diri. Seketika ia dilihat oleh orang Apache itu dan berseru, "Arika-tugh!" Namun ia tidak dapat menembak orang Comanche itu, karena kehabisan peluru. "Rusa Hitam hendak melarikan diri," serunya, sambil melempar senapannya ke atas tanah dan mencabut tomahawknya, kemudian ia melompat keluar dari jendela, berlari dan melompati dinding pertahanan. "Jangan lari seperti seorang pengecut. Takutkah kepala suku Comanche berhadapan dengan kepala suku Apache?" Rusa Hitam berhenti, lalu menjawab, "Kaukah yang bicara itu Hati Beruang? Lekas datang kemari, aku ingin mempersembahkan dagingmu kepada burung pemakan bangkai." Kedua kepala suku itu kini saling berhadapan muka, masing-masing hanya bersenjata tomahawk. Nyatalah, bahwa Hati Beruang di pihak yang menang. Tetapi siapakah tiba-tiba datang dengan melompat ke arah mereka dengan membawa sebuah senapan? Alfonso! Alfonso menganggap lebih bijaksana, tinggal di luar dinding pertahanan selama pertempuran berlangsung, sedang mengamati jalan pertempuran dari jauh. Disaksikannya prajurit Comanche melarikan diri. Kemudian disaksikannya juga kepala suku Comanche terlibat dalam perkelahian dahsyat dengan kepala suku Apache. Kalau tak ada orang menolong, tentu orang Comanche itu akan dibunuh. Maka cepat-cepat Alfonso mendekat ke arah orang Apache itu, lalu memukulnya dengan hulu senapan. Orang Comanche itu langsung mencabut pisau, siap untuk menikam lawan dan menguliti kepalanya, tetapi Alfonso menahannya. "Jangan!" katanya. "Ia harus menemui ajalnya dengan cara yang lebih layak." "Benar juga pendapatmu," jawab Rusa Hitam. "Cepat bawa dia ke kuda!" "Ke kuda? Kita sudah kehilangan kuda-kuda kita." "Kehilangan?" tanya kepala suku itu terkejut. "Mereka telah mencerai-beraikan kuda-kuda kita dengan petasan." "Uf. Mari kita pergi, jangan sampai kita terlambat." Mereka memegang tangan orang Apache itu, lalu menyeretnya pergi dari situ. Kepala Banteng melihat orang Apache itu sedang mengejar lawannya, kepala suku Comanche dan ia mengetahui bahwa kawannya dalam keadaan bahaya. Lekas-lekas ia mengumpulkan orang-orangnya untuk mendatangi musuh. Karena dilihatnya, bahwa pekarangan sudah bersih dari musuh, maka ia tanpa menjumpai kesukaran keluar dari pintu gerbang yang sedang terbuka lebar. Setiba di luar, terjadilah pertempuran kecil dengan kaum Comanche, yaitu umumnya harus menyerah kalah. Setelah itu Kepala Banteng berusaha mencari orang Apache itu di daerah sekitar hacienda yang masih diterangi oleh nyala api, namun tiada dapat menemukan. Beberapa jam telah berlalu, ketika Hati Beruang sadar dari pingsan. Ia membuka mata. Mula-mula dilihatnya api unggun, kemudian beberapa sosok tubuh liar duduk di sekeliling api. Ia sendiri terbelenggu. Di sisi sebelah kanannya duduk Rusa Hitam dan di sebelah kirinya Alfonso. Ketika orang Spanyol itu melihat Hati Beruang membuka matanya, ia berkata, "Ia sudah sadar kembali!" Semua orang Comanche melihat ke arah tawanannya. Mereka telah mendengar ceritera tentangnya, tetapi belum pernah melihat dengan mata kepala sendiri. Orang Apache itu tetap tenang meskipun dalam keadaan bahaya sebesar itu. Kepalanya merasa sakit disebabkan oleh pukulan hulu senapan, namun ia masih dapat mengingat jelas apa yang telah terjadi. "Katak raksasa Apache telah tertawan," ejek Rusa Hitam. Hati Beruang tertawa mengejek juga. Ia mengerti, bahwa dalam keadaan ini ia tidak boleh berdiam diri. "Namun pahlawan Comanche melarikan diri melihat katak raksasa itu!" balasnya. "Diam, anjing! Bukankah sudah nyata, Hati Beruang terkalahkan oleh Rusa Hitam?" "Bohong kau! Kau tidak mengalahkanku. Aku tidak dikalahkan oleh siapa pun. Aku dipukul dari belakang secara pengecut. Itulah keteranganku. Cukuplah sudah. Sekarang takkan kau dengar perkataan lagi dari mulutku. Hati Beruang memandang hina kepada prajurit-prajurit yang berlompatan lari seperti kuman, demi dilihatnya bahaya." "Nanti bila disiksa di tiang penyiksa, kau takkan sesombong itu lagi." Orang Apache itu tidak menjawab. Ia telah mengucapkan pendapatnya. Ia telah berjanji tidak akan bicara lagi dan janji itu akan dipatuhinya, apa pun yang akan terjadi. Lawannya memahami sikap itu, maka kepala suku Comanche berkata, "Janganlah kita membuang waktu. Kita tidak dapat lama tinggal di tempat ini. Maka marilah kita cepat mengadili tawanan kita ini." Mereka duduk membuat lingkaran, tanpa berkata-kata. Kemudian Rusa Hitam memaparkan kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat orang Apache itu. Akhirnya dikatakannya, "Ia harus dihukum mati." "Haruskah kita membawanya ke perkemahan?" tanya Rusa Hitam. Ini pun harus dimusyawarahkan lebih dahulu. Akhirnya diambil keputusan untuk tidak menunda pelaksanaan hukuman mati, karena banyak yang dapat terjadi dalam perjalanan mereka pulang ke perkemahan mereka. "Tetapi hukuman mati bagaimana harus dikenakan padanya?" tanya Rusa Hitam. Sekali lagi mereka bermusyawarah, namun tanpa hasil yang memuaskan, karena tawanan mereka yang istimewa itu harus mendapat hukuman mati yang istimewa pula. Kini Alfonso, yang sampai sekarang tidak mencampuri urusan mereka bangkit berdiri, lalu bertanya, "Apakah aku berhak juga untuk turut mengadili orang Apache itu?" "Tidak, kau sudah berjanji akan menyerahkan tawanan kepada kami," jawab Rusa Hitam. "Apakah kalian telah memenuhi janji kalian kepadaku?" "Belum, karena terpaksa oleh keadaan." "Nah, jadi jelas, bahwa aku pun tak usah memenuhi janjiku dan tawanan itu milik orang yang memukulnya sampai roboh. Ia harus mengalami nasib sama seperti yang telah kualami. Kita akan mengikatnya di pohon, supaya menjadi mangsa buaya-buaya yang ganas itu. Maka ia akan menderita siksaan lahir batin, serupa dengan apa yang telah kuderita." Perkataannya disambut dengan sorak-sorai oleh orang-orang Comanche dan setiap orang menoleh kepada orang Apache itu untuk membaca pada mukanya, reaksi apakah yang ditimbulkan oleh ucapan itu. Namun wajah orang Apache itu seperti dipahat pada batu, tidak memperlihatkan perubahan sedikit pun. "Tali laso kita cukupkah banyaknya?" tanya pangeran. "Cukup. Inilah tali-tali bekas pengikat tubuhmu sendiri pada dahan pohon itu. Selanjutnya tiap prajurit yang telah menangkap kuda mempunyai tali laso." Beberapa di antara mereka berhasil menangkap kembali kuda-kuda mereka yang bebas berkeliaran itu. "Baik. Kita akan mengikat tubuhnya, seperti mereka juga melakukan itu terhadap diriku," kata Alfonso. Setelah pekerjaan itu dikerjakan, maka Rusa Hitam berkata dengan nada mengejek, "Kepala suku Apache masih ingin mengajukan permintaan?" Segera setelah Hati Beruang sadar kembali dari pingsan dan melihat, bahwa ia terikat di dekat kolam buaya di gunung El Reparo, diketahuilah nasib yang akan menimpa dirinya. Maka ia sama sekali tidak terkejut, ketika mendengar hukumannya diucapkan orang. Ia memandang orang sekelilingnya satu-persatu, seolah-olah hendak menyimpan dalam ingatan raut muka mereka, lalu berkata, "Kepala suku Apache tidak minta sesuatu. Hanya pemberitahuan kecil: semua yang hadir di sekitarku ini sudah ditentukan nasibnya. Mereka akan mati ditikam pisau. Hati Beruang telah berkata. Ia tidak akan berteriak dan meraung-raung seperti pangeran kulit putih itu. Howgh!" Kini seorang Comanche bertubuh tegap memanjat pohon. Hati Beruang ditarik ke atas dan tak lama kemudian ia melayang-layang di atas permukaan air. Beberapa waktu mereka mengamati tawanannya, seolah-olah tidak menghiraukan keadaan yang penuh bahaya dan untuk menjauhkan kaki dari jangkauan binatang-binatang buas itu. Kemudian kaum Comanche itu kembali lagi dengan kesibukan masing-masing. "Saudara-saudara sekarang hendak kembali lagi ke padang perburuan?" tanya Alfonso. "Kita harus mengadakan pembalasan dahulu," demikian ucapan agak ganjil kepala suku itu. "Maukah kalian mengikuti aku? Aku dapat memberi kalian kesempatan untuk membalas!" kata Alfonso. "Dengan cara bagaimana?" "Itu kemudian akan kukatakan, bila sudah ternyata, bahwa sisa di antara kelompok kita hanyalah kita saja." "Kami harus mendengar sekarang juga," kata pemimpin itu, "karena persekutuan dengan saudara kulit putih sampai sekarang tidak membawa keuntungan." "Persekutuan dengan saudara kulit merah pun tidak membawa keuntungan bagiku. Maka tak perlu kita menyalahkan satu sama lain. Lebih baik kumpulkan orang-orang saudara, lalu akan kukatakan, bagaimana cara mengadakan pembalasan." "Di mana kita harus berkumpul?" "Di sini saja." "Baik, kami akan memberi kesempatan kepada saudara. Syukur kalau sekali ini kepemimpinan saudara akan lebih berhasil." Orang-orang Comanche pergi berpencaran dan pangeran tinggal seorang diri. Mula-mula ia menikmati pemandangan buaya-buaya itu berlompatan mencapai kaki tawanan itu, tetapi akhirnya ia pergi juga. Ia pergi ke anak sungai, tempat ia melihat Kepala Banteng sibuk dengan orang-orangnya sehari sebelumnya. Ia ingin sekali mengetahui, apa yang dikerjakan kepala suku itu di situ. Baru saja bunyi langkah kaki Alfonso menghilang dari pendengaran, orang Apache itu tersenyum gembira, "Uf!" katanya perlahan. Karena ia mengepit tali laso pengikat tubuhnya di bawah lengan, maka ia dapat berayun ke atas seperti seorang pemain sirkus di atas trapeze lalu memutar badannya, kaki ke atas dan kepala di bawah. Kini buaya-buaya tidak dapat mencapai tubuhnya. Tetapi ia masih belum merasa puas dengan itu. Akhirnya ia berhasil juga memegang tali laso. Lalu dengan lutut dikepitnya tali setengah meter lebih tinggi lagi. Kini lututnya didekatkannya pada dada. Tangannya dipindahkan lagi lebih ke atas, kemudian menyusul gerakan dengan lututnya. Dengan demikian ia dapat menarik dirinya makin ke atas. Akhirnya, dengan bersimbah peluh ia dapat mencapai dahan, tempat tali laso diikatkan. Ia menyilangkan badan di atas dahan dan beristirahat beberapa lamanya di situ. Kepalanya pusing, karena demikian lama bergantung dengan kepala ke bawah. Benar ia pada ketika itu sudah terlepas dari bahaya dimakan buaya, akan tetapi keadaannya masih tetap sangat berbahaya. Seandainya seorang Comanche tiba-tiba datang atau ia tidak sanggup melepaskan belenggu, apa yang akan terjadi? Ia menelentang melintang di atas dahan. Kini ia melipat lututnya sedapat-dapatnya. Dengan demikian ia dapat mencapai tali pengikat kaki dengan tangannya. Akhirnya ia menemukan simpul, lalu ia berusaha membukanya. Setelah lama bergumul dengan simpul itu, berhasillah ia membukanya. Kini kedua kakinya bebas, sehingga ia dapat mengaitkan kaki sebelah pada dahan, selanjutnya mengangkat bagian atas badannya. Ia terduduk di atas dahan. Dengan tangan diikat di belakang punggung ia berhasil mencapai ujung atas dari tali laso, tempat tali itu diikatkan pada dahan. Membuka ikatan ini perlu usaha luar biasa. Ujung jari tangannya berdarah karenanya. Ketika pekerjaan ini selesai dengan selamat, masih ada pekerjaan lagi yang harus dilakukannya, ini pun tidak kurang sulitnya. Ia harus turun dari pohon dengan tangan masih terikat. Pekerjaan itu tak mungkin dilakukannya, Andaikata pohon itu lurus ke atas tumbuhnya. Untunglah tidak demikian halnya. Batang pohon itu condong ke air tumbuhnya. Maka dapatlah ia bergeser dari dahan ke batang pohon. Di situ ia memeluk batang dengan kedua belah kaki dan membiarkan kepala bergantung ke bawah. Kemudian ia mengendurkan sedikit pelukan kakinya pada batang pohon, sehingga ia sedikit bergeser ke bawah. Dengan jalan mengepit dan mengendurkan kepitan kaki, ia akhirnya berhasil sampai ke atas tanah. Ketika itu tubuhnya lemah, tiada bertenaga lagi. Tetapi... ia sudah selamat. "Uf!" Hanya sepatah kata inilah diucapkan Hati Beruang. Sekali lagi ia memandang kepada buaya-buaya, yang bergerombol di tepi kolam sedang mengawasi dengan lahapnya, sambil mengatupkan moncongnya. Kemudian ia mencari perlindungan di antara pohon-pohonan di hutan. Kini masih harus dibuka ikatan tangannya. Beberapa lama orang Apache itu mencari sesuatu di antara batu-batuan dan pohon-pohonan. Segera ditemukannya barang yang dicari itu. Sebungkah batu karang dengan segi-segi tajam sesuai sekali dengan keperluannya. Disandarkannya punggungnya pada segi yang tajam, lalu digeserkannya terus-menerus, sampai tali pengikat tangannya putus. Kini ia bebas. Pertempuran yang mula-mula terjadi dalam daerah yang dilingkungi dinding pertahanan itu kini sudah menjalar sampai jauh ke luar dinding. Kepala Banteng mengumpulkan orang-orangnya. "Mereka sudah terhalau sampai jauh dari hacienda dan mereka tak mudah kembali lagi," kata Arbellez dengan gembira hatinya, karena mendapat kemenangan. "Namun janganlah kita lekas merasa puas," kata Kepala Banteng. "Kita masih harus mengejar kaum Comanche itu." "Mereka melarikan diri ke arah tertentu. Sudah tentu mereka menuju ke El Reparo untuk berkumpul di daerah itu. Jadi kita harus mencari mereka di situ. Bolehkah aku mendapat pengawalan vaquero dua puluh orang?" tanyanya kepada Arbellez. "Tentu boleh." "Tetapi di manakah orang Apache itu?" tanya Fransisco. "Ia tertawan," jawab Kepala Banteng. "Tak mungkin," seru haciendero terkejut. "Kukira, ia masih melakukan pengejaran." "Tidak. Ia mengetahui, bahwa lebih mudah mengadakan pengejaran pada siang hari daripada sekarang." "Jadi ia terbuka." "Itu pun tidak. Dalam hal itu kita akan menemukan dengan mudah. Prajurit Comanche yang mengetahui pemimpinnya dalam bahaya, datang memberi bantuan. Mereka telah menaklukkan orang Apache itu." "Kalau begitu, kita harus membebaskannya," seru Fransisco. "Ya, kita akan membebaskannya," kata Kepala Banteng dengan penuh kepercayaan. "Akan kubawa senapannya, supaya ada senjatanya. Mari kita berangkat!" Sesaat kemudian dua puluh orang bergegas naik kuda, meninggalkan tempat itu. Mereka menempuh jalan memutar, menuju ke lereng selatan gunung, supaya jangan terlihat musuh yang telah melarikan diri. Pagi-pagi mereka tiba di tempat tujuan. "Berhenti di sini!" perintah Kepala Banteng. "Kita harus meninggalkan kuda kita, karena kita terhambat olehnya. Sanchez tinggal di sini menjaga kuda." Vaquero itu berbuat seperti yang diperintahkan kepadanya, sedangkan mereka yang lain mendaki gunung di bawah perlindungan pohon-pohonan. Hari sudah siang, ketika mereka dengan sangat hati-hati menuju reruntuhan kuil. Ketika mereka menempuh padang rumput yang tiada berapa luas, terdengar suara orang yang berseru: "Uf!" Mereka melihat ke arah datangnya suara itu, lalu melihat Hati Beruang menghampiri mereka. "Uf!" jawab orang Mixteca itu. "Saudara kena tangkap orang?" "Benar," jawab orang itu. "Saudara harus berkelahi melawan sejumlah musuh?" "Tidak. Rusa Hitamlah lawanku. Tiba-tiba kepalaku dipukul dari belakang. Setelah aku sadar kembali, kulihat pangeran pengkhianat bersama-sama dengan kaum Comanche." "Uf! Bukankah ia sudah mati ditelan buaya-buaya?" tanya orang Mixteca itu terkejut. "Ternyata orang Spanyol itu masih hidup. Anjing-anjing Comanche telah menemukannya di atas kolam buaya dan membebaskannya. Dia mengantarkan kaum Comanche itu ke hacienda dan bersama mereka berperang melawan kita." "Berperang melawan miliknya sendiri? Melawan orang-orangnya sendiri? Terlalu! Orang demikian perlu kita kupas kulit kepalanya. Di mana ia sekarang?" "Di pegunungan. Tentu ia kembali lagi di daerah kolam buaya untuk bergabung dengan kaum Comanche." "Kalau begitu persangkaanku benar. Jadi mereka akan bergabung di situ?" "Mereka sudah tiba di situ. Kini mereka turun ke lembah untuk mengumpulkan prajuritnya yang bercerai-berai. Tetapi mereka tentu akan kembali lagi." "Dari mana saudara dapat mengetahui segala hal itu?" "Itu kudengar oleh telingaku sendiri, ketika aku sedang bergantung di atas kolam buaya." Kepala Banteng sangat terkejut. "Jadi Hati Beruang menjalani hukuman, digantung di atas kolam buaya?" "Benarlah. Hukuman itu atas anjuran pangeran. Langsung aku diikat dan digantung di atas kolam." "Tetapi bagaimana saudara dapat membebaskan diri?" "Kepala suku Apache sedikit pun tidak gentar menghadapi orang Comanche maupun buaya-buaya itu. Ia menunggu sampai mereka pergi, lalu membebaskan diri." "Hati Beruang dilindungi Manitou," kata Kepala Banteng memuji. "Ia seorang prajurit yang cerdik dan gagah perkasa. Orang lain tak dapat meniru perbuatannya. Kapan orang Comanche itu kembali lagi ke kolam itu?" "Itu tidak dikatakan mereka. Kita akan bersembunyi di sana dan menantikan kedatangan mereka." "Kita harus menghapus jejak kaki kita. Inilah senapan saudara. Telah kubawa untuk disampaikan kepada saudara." "Senjataku yang lain telah dirampas oleh Rusa Hitam," kata orang Apache itu. "Biarlah akhirnya dia harus mengembalikan kepadaku. Malahan senjatanya sendiri harus dihadiahkannya kepadaku. Boleh aku minta sedikit dari peluru dari saudara? Kemudian kita dapat pergi bersama ke kolam buaya itu." Setelah diperolehnya barang-barang yang dimintanya, mereka menyelinap ke dalam hutan. Akhirnya mereka sampai di tepi hutan sekitar kolam. Ternyata belum terdapat orang Comanche yang sudah kembali. Kini mereka mencari tempat persembunyian yang memberi kesempatan untuk mengawasi musuh, tetapi mereka sendiri tidak terlihat. Setiap orang diberi petunjuk, supaya hemat dengan peluru. Jangan sampai dua peluru ditujukan kepada tubuh seorang musuh. Kemudian kedua kepala suku itu bermusyawarah. "Apa tindakan kita sekarang?" tanya Kepala Banteng. "Kaum Comanche akan mengetahui, bahwa kepala suku Apache telah terlepas dan mungkin sedang mengumpulkan bala bantuan." "Mereka tidak akan mengetahui," jawab orang Apache itu, lalu ia menghampiri pohon di tepi kolam itu. Ia mencari batu tajam, lalu memotong ujung tali laso yang bergantung ke bawah dengan batu itu. Kini orang yang melihatnya akan mendapat kesan, bahwa tali itu putus karena ditarik-tarik. Kemudian ia memanjat pohon dan melilitkan ujung tali bagian atas ke dahan, sehingga menimbulkan kesan, bahwa orang yang digantung telah ditarik ke bawah oleh buaya. Ketika ia kembali, Kepala Banteng berkata, "Saudara sangat cerdik! Sekarang mereka tidak akan mengira bahwa saudara telah melepaskan diri." Mereka diam di tempat persembunyiannya. Tak lama kemudian terdengar bunyi langkah dua ekor kuda. Dua orang Comanche sedang menghampiri mereka. "Uf!" seru salah seorang, ketika dilihatnya tawanannya tidak tergantung lagi. "Ia telah terlepas!" "Tak mungkin!" kata yang lain. "Tidakkah kau lihat, bahwa tali laso itu koyak? Anjing itu telah ditelan buaya." "Rohnya tak diterima di padang perburuan abadi, karena ia dimakan binatang. Biar rohnya berkeliaran senantiasa bersama hantu-hantu dan roh-roh penasaran lain." "Kita pertama sekali datang di sini. Mari kita turun dari kuda dan menantikan saudara-saudara kita." Mereka melompat turun dari atas kudanya, lalu hendak menambatkannya. "Mari kita tundukkan mereka," bisik orang Apache itu. "Tetapi saudara tidak membawa pisau!" "Tidak mengapa. Akan kuperoleh pisau dari lawanku." Maka disandarkannya senapan pada sebatang pohon, lalu ia menyelinap ke arah lawannya. Kepala Banteng mengikutinya. Setelah mereka keluar dari hutan belukar, mereka berlari dengan melompat-lompat ke arah orang Comanche, yang tidak menyadari sedikit pun yang akan terjadi atas dirinya. Tiba-tiba Hati Beruang memegang salah seorang pada lehernya, mencabut pisau dari pinggang lawannya itu dan menikam tubuhnya. Dalam waktu dua menit ia sudah menguliti kepalanya. Kepala Banteng berbuat serupa dengan lawan yang seorang lagi. Kedua orang Comanche itu tidak diberi kesempatan sedikit pun untuk mengadakan perlawanan. "Apa yang harus kita perbuat dengan mayat mereka?" tanya orang Mixteca itu. "Berikan saja sebagai makanan buaya." Buaya-buaya telah mendengar kedatangan orang-orang itu. Kepalanya bermunculan keluar ke atas permukaan air, bergerak ke arah tepi kolam. Ketika mayat kedua orang Comanche itu dilempar ke dalam air, buaya-buaya itu langsung menerkam, mengoyak dan menelannya. Mayat-mayat itu hampir tidak bersisa lagi. Hanya tinggal sepotong dari sebelah tangan dengan dua buah jari, yang dihempas ombak ke tepi. Selanjutnya dijaga oleh kedua kepala suku itu, supaya tidak tertinggal bekas darah di atas rumput. Jejak kakinya dihapus dengan cermat. Kini mereka dapat keluar dari tempat persembunyian dan merasa puas. Tiada lama kemudian mereka mendengar bunyi langkah kaki kuda. Sekali ini tampak prajurit-prajurit berkuda, kira-kira tiga puluh orang, dipimpin Rusa Hitam, yang mengendarai kuda di depan sekali. Ketika dilihatnya bahwa Hati Beruang tidak ada di tempatnya, maka ia berseru, "Uf! Orang Apache itu hilang." Ia mendekati kolam untuk menyelidiki keadaan. Tiba-tiba dilihatnya sepotong tangan terdampar di tepi. "Uf! Ia sudah dimakan buaya. Lihat saja. Di sini terdapat sepotong tangan kirinya. Lihat juga tali laso yang putus itu!" Prajurit-prajuritnya turut memeriksa juga dan semua sepaham, bahwa orang Apache itu telah mati dimakan buaya. "Rohnya telah pergi ke padang perburuan abadi, tetapi tanpa disertai abdi-abdi," kata kepala suku sambil melemparkan potongan tangan itu ke dalam air. Buaya-buaya berebut untuk makan tangan. Kepala suku memberi isyarat, lalu orang-orangnya turun dari atas kuda dan duduk-duduk dekat kolam. Makin banyak orang datang. Mereka adalah orang yang telah berhasil menangkap kuda. Akhirnya jumlah mereka menjadi hampir lima puluh orang. Mereka tidak menyelidiki keadaan daerah sekitarnya. Hal itu menandakan, bahwa Rusa Hitam tidak berniat tinggal lama di situ. Lama ia duduk tepekur saja. Kini ia memperdengarkan suaranya lagi, "Siapa telah melihat orang kulit putih itu?" Tak seorang pun mengetahui di manakah pangeran. "Cari jejaknya!" "Keadaan kita menjadi berbahaya!" bisik orang Apache itu. Kepala Banteng mengangguk lalu menjawab, "Di sini jejak kita sudah terhapus, tetapi bila mereka pergi lebih jauh lagi, mereka akan menemukan jejak kita. Kita harus mulai mengadakan penyerangan." Ia batuk keras-keras. Baru saja bunyi itu hilang dari pendengaran, laras bedil dua puluh batang kepunyaan kaum vaquero menjulur keluar dari semak belukar. Kaum Comanche memasang telinga sambil berpaling. "Tembak!" Dua puluh dua letusan bedil terdengar, kemudian disusul oleh dua lagi yang keluar dari senapan berlaras dua kepunyaan kedua kepala suku. Orang-orang Comanche berjatuhan di atas tanah. Sisanya berlompatan ke atas kuda hendak melarikan diri. Kaum Comanche mengira, mereka berhadapan dengan musuh yang banyak sekali, sehingga mereka tidak berusaha memberi perlawanan. Tak seorang pun menembak Rusa Hitam, sesuai pesan Hati Beruang, karena ia hendak mengadakan perhitungan sendiri dengannya, Rusa Hitam pun berusaha melarikan diri. Kini orang Apache itu keluar semak-semak dan membidikkan senapan hanya pada kuda orang Comanche itu, karena ia ingin menangkapnya hidup-hidup. Senjata itu meletus, membuat kuda jatuh terguling di atas tanah dan penunggangnya terlempar dari punggungnya. Segera orang Apache itu dengan langkah-langkah besar menghampiri orang itu. Kini kepala suku Comanche itu bangkit berdiri. Bedilnya yang disandangnya dan sudah terisi peluru itu dipegangnya dan dibidikkannya ke arah orang Apache itu, sambil berkata, "Anjing! Masih hidupkah kau? Matilah sekarang!" Tetapi Hati Beruang lebih cepat. Laras bedil itu dipukulnya ke samping, sehingga tembakan meleset. "Kepala suku Apache tak mati oleh tangan orang Comanche pengecut," jawabnya. "Sebaliknya akulah akan mencabut nyawamu, supaya rohmu tetap menjadi abdiku di padang perburuan abadi!" Sambil mengucapkan perkataan itu dipukulnya orang Comanche itu dengan hulu senapannya, sehingga ia jatuh pingsan di atas tanah. Kemudian diangkatnya badan orang itu dan diletakkannya di dekat kolam. Para vaquero bergegas hendak melucuti senjatanya. Kedua orang kepala suku itu menghalangi perbuatan mereka. Setelah orang Comanche itu terbelenggu, sadarlah ia. "Apakah Rusa Hitam hendak menyanyikan lagu kematiannya?" tanya Hati Beruang. Yang ditanya tidak menjawab. "Orang Comanche tak pandai menyanyi. Suaranya seperti bunyi katak atau burung gagak. Tentu ia malu memperdengarkan suaranya," ejek Kepala Banteng. Ini pun tidak dijawab. "Kalau begitu biar kepala suku Comanche mati tanpa lagu kematian," kata orang Apache itu. Baru sekarang tawanan itu berkata, "Apakah kalian hendak menggantung tubuhku di pohon?" "Tidak," jawab Hati Beruang. "Aku tidak bermaksud menyiksamu. Namun tubuhmu akan dimakan juga oleh buaya. Sebelumnya akan kukuliti dahulu kepalamu, supaya aku dapat memperlihatkan scalp seorang pengecut kepada rakyatku. Lekas kembalikan pisau dan tomahawk kepunyaanku, yang telah kau rampas itu!" Dengan mengucapkan perkataan itu dicabutnya kedua senjata itu dari ikat pinggang tawanannya. "Kau hendak menguliti kepalaku?" tanya kepala suku Comanche itu. "Haruskah aku mengambil scalp-mu dari dalam perut buaya setelah ia menelanmu?" Hati Beruang mengambil pisaunya, memegang rambut tawanannya dengan tangan kirinya, lalu membuat tiga gores di sekitar kepalanya dengan pisau di tangan kanannya dan mencabut dengan keras rambut yang dipegangnya. Sekali cabut scalp itu sudah terlepas dari kepala, Rusa Hitam tidak dapat menahan jeritnya karena kesakitan. "Uf! Dengarlah pekik itu! Pengecut!" ejek Kepala Banteng, yang mengharapkan sikap yang lebih perkasa dari lawannya. "Lemparkan tubuhnya ke dalam air!" kata Kepala Banteng. "Tetapi pakai kakimu saja untuk mendorongnya. Ia tidak patut mendapat perlakuan yang lebih mulia!" "Tecalto benar. Akan kudorong tubuhnya seperti mendorong sesuatu yang nista, yang tidak boleh disentuh tangan. Kepala suku yang bertabiat pengecut telah merintih seperti seorang wanita tua. Baginya tidak akan digali makam, tidak di puncak gunung maupun di lembah dalam. Rakyatnya tidak akan berziarah ke makamnya untuk menyanyikan keperwiraannya. Karena perut buayalah menjadi makamnya." Bagi seorang Indian, apalagi kepala sukunya, merupakan soal kehormatan untuk tidak memperlihatkan ketakutannya, ataupun mengutarakan kesakitannya, sekalipun siksaan yang seberat-beratnya yang dideritanya. Jadi orang Comanche itu nyatalah tidak tahan uji. Maka patutlah tubuhnya didorong dengan kaki saja ke dalam air. Kemudian mereka kembali lagi ke kuda mereka, yang harus membawanya ke hacienda. Orang Apache itu naik kuda orang Comanche. Setelah Alfonso meninggalkan kolam buaya, maka ia turun dari gunung menuju gua tempat harta raja-raja itu. Sesampainya di situ, alangkah kecewa, karena dilihat segalanya dalam keadaan porak-poranda. Di mana-mana hanya terlihat puing berserakan. Berjam-jam ia berusaha mencari sisa-sisa harta di tengah-tengah puing itu, namun sia-sia belaka. Kedua pelayannya pun hilang tak tentu ke mana perginya. Dengan tidak habis-habisnya menyumpah musuhnya, ia pergi meninggalkan tumpukan puing kembali kepada kaum Comanche. Ketika ia hendak mendaki lereng gunung di sebelah timur, dilihatnya delapan prajurit Comanche menghampiri tempat persembunyiannya. Ia keluar dari tempat itu lalu bertanya, "Kalian hendak ke mana?" "Uf! Orang kulit putih di sini!" kata salah seorang. "Kami sedang menuju lembah!" "Mengapa? Kawanmu di atas?" "Kami telah diserang orang-orang kulit putih." "Valgame dios! (persetan mereka)" "Kepala suku kami dijadikan makanan buaya, setelah kepalanya diambil scalp-nya lebih dahulu oleh Hati Beruang." "Tidak mungkin! Hati Beruang digantung di atas pohon?" "Ia sudah dibebaskan. Barangkali oleh orang-orang kulit putih kawannya. Sebenarnya kaulah patut disalahkan. Sekiranya kau tetap menjaga, tak akan terjadi hal itu." "Kalian telah menyaksikan kejadian itu?" "Mula-mula kami melarikan diri. Tetapi karena mereka tidak mengejar, maka dua orang di antara kami kembali lagi untuk memata-matai." "Ascuas! Kini tidak ada harapan lagi." "Tapi masih ada yang tinggal, yaitu pembalasan!" "Benar, pembalasan," kata Alfonso sambil merenung. "Apa yang hendak kalian perbuat?" "Kami akan kembali ke perkemahan kami." "Tanpa membawa sebuah scalp pun sebagai tanda mata?" "Itu karena Roh yang Maha Besar murka kepada kami." "Dan tanpa membawa barang-barang rampasan sebagai kenang-kenangan?" "Kemudian masih cukup waktu untuk memperoleh scalp sebanyak yang kami kehendaki." "Dengarlah! Aku menawarkan kepadamu barang-barang yang berguna bagimu indah dan mahal harganya." "Apakah mungkin? Apa yang dapat diharapkan daripadamu. Seekor kuda pun tiada kau miliki." "Akan kutangkap seekor kuda di padang rumput sekitar hacienda, kemudian aku akan pergi ke ibu kota Meksiko. Kalian harus mendampingiku." "Ke Meksiko? Mengapa?" "Kalian harus melindungiku dalam perjalanan. Sebagai upah kalian akan mendapat hadiah-hadiah yang sangat berharga." "Hadiah apakah kiranya?" "Kalian boleh memilih sendiri! Ketahuilah, bahwa aku ini seorang pangeran besar, yaitu pangkat yang tinggi di kalangan orang kulit putih dan aku seorang kaya raya, dapat menghadiahkan barang yang semahal-mahalnya." "Dapatkah kami minta senjata, mesiu dan peluru?" "Dapat kalian peroleh sekehendak hati." "Mutiara dan barang perhiasan untuk squaw kami?" "Itu pun akan kalian peroleh." Orang Indian itu mulai merasa tertarik. "Kalau begitu, kami akan mendampingi serta melindungimu," kata salah seorang di antara mereka. "Dapatkah masing-masing di antara kami memperoleh sepucuk bedil, selanjutnya sebuah tomahawk, dua buah pisau dan peluru sebanyak yang terangkut oleh kami?" "Semua itu akan kalian peroleh." "Barang perhiasannya juga?" "Kalian akan mendapat kalung, cincin, peniti dan mutiara sampai merasa puas hatimu." "Howgh! Kami akan turut. Tapi ketahuilah, bahwa kau akan menebus dengan nyawa, bila perkataanmu dusta belaka. Tetapi dua orang harus pergi dari rombongan kami. Mereka harus mencari saudara-saudara kami di perkemahan." "Pilihlah dua orang, enam orang pun cukup bagiku." Mereka memilih dengan mengadakan undian, karena sudah tentu tak ada di antara mereka, ingin kembali ke perkemahan dengan membawa berita kegagalan. Lebih baik mereka ikut ke Meksiko untuk menerima hadiah-hadiah cemerlang yang telah dijanjikan. Keenam orang yang ikut ke Meksiko memilih seorang pemimpin di antara mereka dan mengucapkan selamat berpisah dengan kawannya, lalu pergi menangkap seekor kuda untuk pangeran. Kepala Banteng, Hati Beruang dan kaum vaquero kembali ke hacienda. Mereka cepat sampai, karena tidak perlu menyembunyikan jejak. Keadaan di hacienda sama dengan ketika ditinggalkannya. Para vaquero yang ditinggalkan untuk menjaga, sedang sibuk menyingkirkan mayat orang-orang Comanche dan menyimpan meriam kembali. Arbellez menyambut mereka dengan wajah berseri-seri. "Puji syukur kepada Allah yang memberi kesempatan kepada kalian untuk kembali lagi!" katanya. "Kami sudah sangat khawatir memikirkan kalian. Bagaimana kabarnya?" "Rusa Hitam sudah mati," jawab Kepala Banteng. "Hati Beruang, saudaraku telah menguliti kepalanya." "Dan yang lain?" "Telah melarikan diri. Mereka tidak akan segera kembali lagi." "Jadi kalian yakin, keadaan kita aman," kata Don Pedro. "Kalau begitu, kita dapat kembali melakukan pekerjaan kita sehari-hari." "Bagaimana keadaan Panah Halilintar?" "Ia masih belum siuman." "Mari kita melihatnya." Kedua kepala suku itu masuk rumah. Orang Mixteca mengantar orang Apache itu ke kamar adiknya. Di dalam kamar disimpan juga harta raja-raja yang dijanjikan kepada Unger. Mereka menemukan Karja di situ. Ia sedang berbaring di atas tikar gantung sambil melamun. Demi dilihatnya dua orang itu masuk, ia melompat dari pembaringan, lalu bertanya, "Kalian sudah kembali? Dengan membawa kemenangan? Dan bagaimana dia? Sudah dimakan buaya?" "Tidak," jawab Kepala Banteng dengan nada sungguh-sungguh, sambil memperhatikan adiknya. "Tidak?" Wajah gadis itu tampak muram. "Jadi orang yang harus menerima pembalasanku kalian biarkan lepas lagi?" Kepala Banteng merasa puas, karena hati adiknya masih tetap terbakar oleh rasa dendamnya. Jawabnya, "Anjing-anjing Comanche telah membebaskannya, malahan sebagai ganti mereka telah mengikat saudaraku, kepala suku Apache itu, ke atas pohon untuk menjadi mangsa buaya-buaya yang ganas itu." Gadis Indian itu memandang orang Apache itu dengan rasa heran. Tampak olehnya scalp-scalp baru bergantungan pada ikat pinggangnya. Baru sekali ini ia memandang kepadanya dengan takjub dan rasa hormat yang besar dan hatinya kecut bila terkenang kepada mara bahaya yang telah menimpa diri kepala suku itu. Wajahnya berubah pucat. "Kepala suku Apache? Bukankah sekarang ia berdiri di hadapanku dengan tiada kurang sesuatu apa," kata gadis itu terheran-heran. "Hati Beruang berhasil membebaskan diri, lalu mengalahkan kaum Comanche pula." Bagi seorang gadis Indian seperti Karja, makna perkataan itu diresapi benar. "Ia seorang pahlawan!" katanya, sambil memandang dengan rasa kagum kepada orang Apache itu. "Tetapi pangeran masih bebas juga? Sudah tentu ia akan pergi menemui pamannya di Meksiko. Itu kuketahui dari isi sepucuk surat yang kutemukan di antara barang-barangnya. Dalam surat itu tertulis, bahwa Alfonso segera harus datang kepada pamannya." Kemudian ia bertanya kepada abangnya. "Dan kau biarkan dia pergi begitu saja? Berikan kepadaku seekor kuda; akan kukejar dan kubunuh!" Kepala Banteng tersenyum. Ia merasa puas dengan sikap adiknya. "Jangan pergi!" perintahnya. "Semua akan beres, percayalah! Alfonso tak mungkin lepas dari genggaman tanganku. Akan kukejar dia." "Bila jatuh ke tanganmu, akan kau bunuh?" "Benar. Ia telah menghina seorang putri Mixteca dan akan mati oleh tanganku sendiri." "Atau oleh tanganku," kata orang Apache itu dengan sungguh-sungguh. "Uf! Jadi saudara bermaksud ikut dengan aku ke Meksiko?" tanya cibolero itu. Rasa kagum gadis Indian itu terhadap pahlawannya bertambah lagi. Jawab orang Apache itu, "Karja sudah menjadi adikku juga, maka menjadi tugasku juga membalas penghinaan kepadanya." Dengan perkataan itu diulurkan tangannya kepada kedua orang kakak beradik, yang disambut dengan mesra pula. "Hati Beruang itu saudara sejati kami, maka kehadirannya bersamaku sangat kuhargai," kata Kepala Banteng. "Tetapi sekarang mari kita pergi menjenguk orang kulit putih yang sakit itu." Bungkusan selimut yang berisi barang-barang perhiasan itu dibawanya dengan dibantu oleh orang Apache dan gadis Indian itu ke kamar si sakit. Di dalam kamar itu tampak Emma sedang duduk di sisi si sakit. Wajahnya pucat, matanya berlinang air mata. "Jangan menangis senorita," kata orang Mixteca itu, sambil meletakkan beban ke atas tanah. "Akan kuperiksa keadaan sahabat kita." Dibukanya pembalut Unger, diperbaharui lagi, lalu katanya, "Ia tak akan mati." Wajah gadis cantik itu menjadi cerah. "Sungguhkah demikian?" tanya gadis itu. "Sungguh benar?" "Pasti!" katanya sambil mengangguk. "Berapa lama ia sehat kembali?" Pertanyaan ini membuat Kepala Banteng menarik muka sungguh-sungguh. "Saya tak dapat mengatakan, tetapi sudah pasti, ia tidak akan mati." "Cara merawatnya saya dapat menjamin." "Saya percaya, senorita. Tapi bolehkah saya bertanya?" "Silahkan, Kepala Banteng?" "Pernahkah senor Unger berbicara dengan Anda tentang harta raja-raja itu? Sebagaimana Anda ketahui, saya telah mengantarkannya ke gua harta itu." "Ya. Ketika itu ia hendak dibunuh oleh pangeran!" "Harta itu kemudian hilang lagi. Tetapi kaum Mixteca memutuskan untuk menghadiahkan sebahagian dari harta raja-raja kepada Itinti-ka sebagai kenang-kenangan. Kini ia sakit. Bersediakah Anda menerima sebagai wakil dan menyimpannya untuk dia nanti?" "Tentu bersedia," jawab gadis itu. "Barang-barang apakah yang Anda bawa?" "Lihatlah sendiri!" Lalu dibuka oleh Kepala Banteng bungkusan selimut dan segala isinya digelar di muka gadis itu, gemerlapan ditimpa cahaya matahari. Emma hampir tidak dapat percaya pada penglihatannya, banyak sekali bungkah-bungkah emas dan barang perhiasan yang belum pernah dilihat dalam hidupnya. Seketika lupalah ia pada kesedihan hatinya. "Valgame dios, betapa banyak harta, betapa indahnya! Jadi semuanya milik Unger?" "Benar. Semua itu miliknya," jawab orang Mixteca itu. "Santa Madonna, kalau begitu, ia malah lebih kaya dari ayahku!" Kepala suku itu mengamati si sakit lagi. "Itinti-ka akan menjadi suami Anda, bukankah demikian senorita?" tanyanya. "Benar," jawabnya. Mukanya merah. "Anda akan tetap setia padanya?" "Tetap!" jawabnya dengan pasti. "Tetapi mengapa Anda bertanya hal itu?" "Karena saya mengetahui, bahwa ia sangat membutuhkan kasih sayang Anda. Pernahkah ia berbicara tentang tanah airnya? Dari manakah asalnya?" "Dari daerah sekitar Mainz di Jerman." "Apakah ia mempunyai sanak saudara?" "Ia mempunyai seorang saudara, bekerja sebagai mualim kapal." "Uf! Jika Itinti-ka tidak bersedia menerima emas itu, saya harap barang-barang itu akan dapat diberikan kepada saudaranya. Bersediakah Anda mengurus hal itu?" "Baik. Harta itu memang besar sekali, namun saya tidak silau olehnya. Harta ayahku cukup banyak untuk menjamin kehidupan yang bahagia kepada kami berdua. Saudaranya di Jerman lebih membutuhkan harta itu. Maka merekalah akan memperolehnya. Tunanganku tentu tidak berkeberatan mengirim harta itu ke Jerman." "Tidak. Saya mengetahui, ia tidak berkeberatan. Dokter yang Anda panggil sudah datang atau belum?" "Belum." "Saya ingin mendengar pendapatnya." Orang Indian itu sekali lagi memperhatikan si sakit. Tetapi Emma menjemput beberapa kalung berlian dan mempermainkannya di tangan. Maka terdengarlah bunyi denting yang indah dan bunyi itulah menarik perhatian si sakit. Matanya terbuka dan melihat sekeliling. Pandangannya tidak liar, melainkan sedih sekali. Nampaknya si sakit tidak mengenal orang-orang sekelilingnya. "Aku kalah!" bisiknya. "Dios, ia berkata lagi," seru Emma, lalu bergegas mendekati tempat tidurnya. "Apa yang kau katakan, sayang?" tanyanya dengan suara gemetar. Si sakit memandangnya dan menjawab, "Aku kalah." "Ia mengigau!" seru gadis itu cemas. "Antonio, kau tidak kenal padaku lagi?" "Aku kenal padamu," bisiknya. "Coba sebutkan namaku!" bujuk Emma. "Tidak kenal." "Santa Madonna! Ia tidak mengenal lagi namaku. Masa, kau sudah lupa." "Aku kenal, tetapi aku sudah kalah." Maka gadis itu bercucuran air mata. Ia bertanya lagi, "Dan dua orang kepala suku ini?" "Mereka pun aku mengenal, tetapi aku tidak mengetahui siapa mereka." "Masa kau tidak mengenal Kepala Banteng dan Hati Beruang?" "Aku mengenal, tetapi aku sudah kalah." "Ia mengigau. Pikirnya ia sudah mati!" keluh Emma. Kini Kepala Banteng menghampiri gadis itu lalu berkata, "Senorita, bolehkah saya bertanya, tetapi anggaplah seolah-olah Roh yang Maha Kuasa yang mengajukan pertanyaan itu?" "Boleh." "Apa yang akan Anda perbuat, bila sahabat kita Panah Halilintar tetap berkelakuan seperti sekarang?" "Biarlah begitu, aku tak akan meninggalkan, tak mungkin! Tetapi saya yakin, ia akan sembuh kembali." "Mungkin kesehatan badannya pulih kembali tapi jiwanya tetap sakit. Berjanjilah, bahwa Anda tidak meninggalkannya!" Maka gadis cantik itu bercucuran air mata. Kemudian ia tenang kembali dan berkata dengan penuh kepastian, "Saya sekarang menjadi tunangannya dan kelak akan menjadi istrinya, biar bagaimana keadaannya. Tetapi harapanku, supaya orang yang menghendaki kematiannya tidak luput dari hukuman." "Ia akan mendapat hukuman, itu sudah merupakan janji suciku," kata orang Mixteca itu dan disetujui oleh orang Apache itu. Mereka mendengar langkah kuda di halaman, Emma pergi ke jendela. "Dokter datang!" katanya. "Sekarang kita mendapat kepastian, apa yang dapat kita harapkan dan apa yang harus kita takutkan." Tidak lama kemudian dokter diantar oleh haciendero ke kamar. Ia mendengarkan segala keterangan yang diberikan tentang si sakit, lalu mendekati tempat tidur untuk memeriksa badan Unger. Si sakit menarik mukanya kesakitan, namun tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Tampak keadaan rohaniah yang terganggu, ia masih tetap berpegang pada asas, bahwa kita wajib menguasai rasa sakit kita. Ketika dokter bertanya kepadanya, "Siapakah Anda, senor?" jawabnya dengan nada sedih, "Aku mengetahui." "Dan siapakah nama Anda?" "Tidak mengetahui." "Tidakkah Anda kenal senor Unger?" "Aku kenal dia, tapi aku sudah kalah." "Di mana ia sekarang?" "Tidak mengetahui." "Siapa yang mengalahkan Anda?" "Tidak mengetahui." "Dan di mana Anda dikalahkan? Tidak mengetahui juga?" "Mengetahui, tetapi aku kalah." Demikian dijawabnya segala pertanyaan, yang diajukan kepadanya. Ia menyatakan mengenal semuanya, namun sebenarnya ia tidak mengenal siapa pun dan yang diketahuinya hanyalah, bahwa ia sudah kalah. Dokter menggeleng kepalanya. "Ia menderita gegar otak dan saya tidak dapat berbuat sesuatu," katanya. "Ramuan obat yang Anda bubuhkan di atas kepalanya merupakan obat satu-satunya, yang dapat diharapkan. Bila luka itu sembuh, ada harapan ingatannya akan pulih kembali. Maka Anda tidak usah putus asa." Setelah semua tamu meninggalkan kamar, Emma berlutut di sisi kekasihnya. Dipegangnya tangan Unger, lalu bertanya, "Katakan sungguh-sungguh, kenalkah kau padaku, Antonio?" "Ya, aku mengenalmu," bisiknya. "Maka sebutlah namaku, ayo, sekali ini saja!" "Aku tidak mengenal namamu." "Cintakah kau kepadaku?" "Biar keadaanmu begitu, sayang, aku tidak akan meninggalkanmu." "Aku tidak sakit, aku hanya dikalahkan." BAB VI PABLO CORTEJO Ibu kota kerajaan purba bangsa Astek ialah Mexico, pernah menjadi tempat kediaman raja Montezuma yang malang, negeri itu bernama Meksiko pula. Di kota itu, dekat salah satu paseo (daerah pertamanan) yang indah, didirikan sebuah istana yang sangat mewah, kepunyaan pangeran Fernando de Rodriganda y Sevilla, seorang tuan tanah terkemuka di negeri itu. Semasa muda ia turut berjuang untuk kemerdekaan tanah airnya. Meksiko sudah merupakan tanah airnya yang baru, pilihan hatinya sendiri. Maka dari itu, sebagai seorang Spanyol ia diperbolehkan tetap tinggal di negeri itu. Ia duduk di kamar kerja, sedang meneliti bon-bon pengeluaran, yang diajukan kepadanya oleh Pablo Cortejo, sekretaris pribadinya. Pada saat ini Cortejo sedang berwajah murung. Tubuhnya tinggi kurus membungkuk karena kekecewaan hatinya. Bibirnya pucat dan tipis, agak ditarik ke dalam karena rasa kurang puas dan matanya yang kecil melirik kepada pangeran dengan pandangan berapi-api, mengandung rasa benci yang sangat. Pangeran mengerutkan kening sambil meneliti kertas-kertas di hadapannya. "Sungguh terlalu!" kata Don Fernando, "itu tidak dapat dibenarkan!" "Maklumlah kaum muda biasa kurang berpikir," jawab Cortejo membela. Pangeran memandangnya dengan sungguh-sungguh, lalu menjawab, "Aku sebenarnya tidak berkeberatan, bila seorang anak muda senang mengadakan pesta, namun ia harus mengenal juga tanggung jawab. Dari dapatkah ini disebut tanggung jawab, apa yang kulihat di hadapanku ini?" "Itu hanya suatu kelemahan yang harus kita maafkan." "Jadi kau anggap suatu kelemahan yang tak berarti, bila keponakanku pada satu malam saja dapat menghabiskan dua belas ribu peso dalam perjudian?" "Tapi jumlah sebesar itu kerap kali juga dimenangkannya, Don Fernando." "Jadi ia sudah kerap kali bermain judi. Apakah ia sudah kecanduan bermain judi?" tanya pangeran dengan berang. "Aku perlu membatasi kebebasannya." Ia terus membalik-balik surat di hadapannya. "Apakah ini?" tanya pangeran. "Bukankah persoalan ini sudah selesai?" "Don Alfonso telah mengeluarkan uang saku, yang dimaksud, untuk keperluan hal lain. Apakah keperluan itu, tidak dikatakannya, karena ia tidak usah mempertanggungjawabkan pengeluarannya kepada saya." "Memang demikian," kata pangeran, "tetapi kukira diam-diam ia menceriterakannya kepadamu. Lagi pula kelihatannya keponakanku lebih mempercayai kamu daripada aku." "Jangan kira demikian, Don Fernando, itu hanya kelihatannya. Memang benar juga, bahwa saya mendapat kepercayaan Don Alfonso, tetapi...." "Kadang-kadang kamu merasa tergoda untuk menyalahgunakan kepercayaan itu!" kata pangeran dengan nada keras. "Terlalu, Yang Mulia!" "Masih ada lagi! Bila keponakanku kurang patuh kepada peraturanku, maka kaulah menjadi biang keladinya! Kukira tidaklah menyenangkan bagimu untuk dipecat dari jabatan, setelah bekerja bertahun-tahun lamanya, bukankah begitu?" Kening sekretaris itu merapat seolah-olah hendak mengancam, tetapi hanya sebentar. Kemudian kembali lagi bersikap seperti sediakala. Ia menjawab dengan rendah hati, "Sekiranya saya boleh mengutarakan pendapat, mungkin terpikir oleh Yang Mulia, bahwa pendapat Yang Mulia mungkin khilaf?" "Aku tidak khilaf," kata pangeran tegas. "Coba terangkan, mengapa keponakanku sepanjang hari bersamamu? Mengapa kamu selalu bersama dia, bila kupanggil? Kamu mengetahui, bahwa aku bukanlah orang yang banyak bicara. Tetapi bila terdorong untuk bicara, aku ingin bicara secara tuntas. Apa pula perlunya kamu membela kecanduannya pada permainan judi?" "Saya kira, itu merupakan kesukaan anak muda pada umumnya." "Tetapi itu bukan alasan untuk memboroskan uangku. Apa pula sebabnya, ia mengeluarkan surat wesel dengan memakai namaku?" "Saya rasa, itu hanya kebetulan, Yang Mulia." "Apa!" seru pangeran. "Itu yang kau sebut kebetulan? Apakah nama keponakanku sudah begitu merosot nilainya, sehingga orang tidak mau membayar surat wesel atas namanya sendiri dan minta namaku dibubuhkan sebagai jaminan? Siapa menulis namaku di atas kertas itu, keponakanku atau kamu?" "Don Alfonso." "Janganlah kejadian ini terulang lagi! Kau pun mulai sekarang tidak akan mendapat kertas wesel blangko lagi. Dan mengenai persoalan ini," - pangeran menunjuk pada salah satu surat - "ini sudah kubereskan dengan lima ribu piaster. Kepada siapa kuberikan uang itu?" "Kepada saya," jawab sekretaris dengan malu, namun dalam hati ia menyimpan rasa benci. "Tadi kau katakan, bahwa keponakanku telah mengeluarkan uang untuk keperluan lain. Berarti, bahwa telah kau berikan uang itu kepadanya." "Don Alfonsolah yang minta." "O, begitu! Jadi keinginan keponakanku yang tidak bertanggung]awab itu lebih berat bagimu dari perintah pamannya, tak lain majikanmu sendiri? Aku perlu mengambil tindakan, supaya perintah-perintahku ditaati! Mengerti?" Don Fernando mengambil surat-surat lain satu per satu untuk diselidikinya. Tiba-tiba wajahnya yang pucat itu berubah warna menjadi merah karena rasa malu dan berang. Ia melompat dari tempat duduk, lalu menghampiri sekretarisnya dengan mata berapi-api. "Tahukah kamu di mana Don Alfonso sekarang?" tanya Pangeran. "Di hacienda del Erina." "Mengapa?" "Saya kurang mengetahui apakah sebabnya." "Ya, aku pun kurang mengerti, mengapa tiba-tiba timbul keinginan keponakanku yang aneh-aneh, mengunjungi hacienda yang sunyi dan terasing itu dan mengapa kamu sangat setuju dengan kepergiannya itu. Kini semuanya jelas bagiku!" Sekretaris menjadi pucat. Akan tetapi pangeran mundar-mandir saja di dalam kamar, karena tidak dapat mengendalikan perasaannya. Tiba-tiba ia menoleh dan bertanya, "Apa yang kau ketahui tentang duel (perang tanding) itu?" "Duel yang mana?" Tanya sekretaris pura-pura bingung. "Cortejo!" hardik pangeran dengan suara menggeledek. "Sungguh saya tak mengetahui." "Baik. Tapi kamu tidak dapat membohongiku. Kalau tetap kau tidak mengatakan, kau akan kupecat dari jabatanmu. Cepat ambil keputusan!" Cortejo mengerti, bahwa ia telah terdesak ke sudut. Ia tidak melihat jalan keluar dan menjawab dengan malu. "Ampun, Don Fernando! Don Alfonso telah memesan kepada saya, supaya merahasiakan perkara itu." "Perintah siapa yang patut kau patuhi, perintahku atau perintah keponakanku? Ayo, katakan!" "Don Alfonso telah pergi ke hacienda untuk mengelakkan suatu duel." "Beri keterangan lebih jelas! Pangeran Embarez telah menulis surat ini, "Don Fernando! Saya mohon, supaya Anda memerintahkan keponakan Anda tiga hari sesudah ini hadir di tempat yang sudah ditentukan semula. Waktunya sudah tiga minggu lalu. Perkara sepenting ini tidak dapat ditunda semenit pun. Bila Don Alfonso tidak hadir pada waktu yang telah ditentukan, maka saya tidak akan segan-segan memuat berita yang memalukan itu dalam DIARO OFFICIAL dan dalam LA SOCIEDAD. Harapan saya, Anda tidak memandang remeh perihal kehormatan keponakan Anda. Almanzo pangeran Embarez. "Nah, katakanlah sekarang, maksud apakah yang terkandung dalam surat ini! Apakah dengan surat yang bernada menghina ini, maksud penulisnya hendak menyampaikan tantangan untuk berduel?" "Pangeran Embarez telah menghina Don Alfonso." "Haha! Jadi keponakanku telah menantangnya?" "Tidak. Pangeran itu telah menantang Don Alfonso." "Jadi yang sesungguhnya terjadi adalah sebaliknya. Keponakanku telah menghina pangeran itu. Janganlah berusaha memutar balik keadaan. Jadi keponakanku telah menerima tantangan itu?" "Ia terpaksa." "Ah! Terpaksa? Jadi hal itu berarti sebenarnya ia berjiwa pengecut dan ingin mengelakkan duel itu. Alangkah memalukan! Di mana duel itu harus berlangsung?" "Di tepi Danau Texcoco." "Dan Alfonso tidak hadir di situ?" "Pangeran Embarez dikenal orang sebagai ahli permainan pedang dan penembak tepat," jawab sekretaris dengan malu. Pangeran mengurut dada. "Ya, Tuhan!" keluhnya. "Keponakanku begitu pengecut! Ia telah menerima tantangan, tetapi melarikan diri ketakutan. Aduh! Nama Rodriganda ternoda, tercemar dan tak seorang pun bertindak menyelamatkannya." Sekali lagi ia berjalan hilir mudik dalam kamar. Kemudian ia berhenti dan berkata, "Dengarkanlah perintahku! Kirimlah segera dua orang utusan ke hacienda!" "Mengapa dua orang?" "Supaya berita itu pasti sampai. Mereka harus memberi tahu keponakanku, bahwa ia segera harus kembali ke kota Meksiko. Kau dengar : segera!" "Yang Mulia tidak boleh melupakan, bahwa sekurang-kurangnya utusan itu memerlukan waktu tiga atau empat minggu untuk kembali lagi di sini!" "Itu kuketahui. Aku akan mengunjungi pangeran Embarez dan memberitahu kepadanya, bahwa akulah yang akan berduel sebagai ganti keponakanku. Dari isi surat dapat ditarik kesimpulan, bahwa Alfonso telah memilih pedang sebagai senjata?" "Benar!" jawab sekretaris dengan hati gembira. "Ia pengecut, dan bodoh pula! Sebenarnya ia tak perlu lari. Pilih saja senjata pistol, ditembakkan dari jarak jauh. Pergilah sekarang, dan suruh Maria Hermoyes, wanita tua itu datang kepadaku!" Sekretaris meninggalkan tempat itu. Tidak lama kemudian datanglah seorang wanita tua menghadap pangeran. Ia berdiri di muka pintu kamar dan membungkukkan badan memberi salam. "Silakan masuk dan silakan duduk, Maria!" sambut Don Fernando dengan sopan santun, karena wanita tua itu pembantu rumah tangga yang paling setia. Masih tetap pangeran berjalan hilir mudik. Sukar baginya, menyembunyikan amarah yang menjadi-jadi. Akhirnya berkatalah ia, "Maria, kau tetap pembantuku yang setia bukan?" "Don Fernando," jawabnya, "Anda mengetahui, bahwa hidupku saya abdikan kepada Anda." "Itu kuketahui. Bersediakah kau berterus terang kepadaku?" "Saya belum pernah dusta kepada Anda." "Aku maklum, namun dalam kehidupan, pembantu paling setia pun kadang-kadang menganggap lebih bijaksana menyembunyikan sesuatu pada majikannya. Sukakah kau dalam suatu perkara, berjanji akan berterus terang?" "Saya akan memberi pengakuan seperti di hadapan Tuhan sendiri." "Baik! Beberapa tahun yang lalu kau telah menjemput keponakanku dari Spanyol. Sekarang katakanlah terus terang, benarkah ia keponakanku sesungguhnya?" Abdi itu tampak terkejut. "Aneh benar pertanyaan Anda!" katanya terbata-bata. "Apa alasan Anda menyangsikan hal itu, Don Fernando?" "Kau harus menjawab dengan sepatah kata saja," perintahnya. "Benar, atau tidak!" "Saya tak dapat menjawab demikian. Ampun tuan, perkara ini tampak pada permulaannya remeh saja, tetapi lama-kelamaan makin memberatkan hatiku." "Hra! Apa maksudmu sebenarnya?" "Persangkaanku, menyolok benar persamaan antara Don Alfonso dengan senor Pablo Cortejo...." "Benar! Aku pun mendapat kesan demikian, kesan itu menimbulkan pikiran yang aneh-aneh pada diriku." Selanjutnya Don Alfonso dan Cortejo selalu tampak bersama-sama dan kasak-kusuk satu sama lain. "Aku mengetahui. Mulai dari sekarang akan berubah." "Lagi pula...." Maria ragu-ragu dan mukanya menjadi merah padam, meskipun usianya sudah lanjut. "Jangan segan-segan, katakan saja!" kata pangeran. "Masih ada hal ketiga lagi yang mengganggu pikiranku," demikian dilanjutkannya. "Saya perlu memberitahu bahwa saudara senor Pablo...." Kembali ia terhenti. "Ayo, jangan segan-segan! Yang kau katakan hanya untuk telingaku saja. Bukankah yang kau maksud tadi ahli hukum pembantu saudaraku, advokat Gasparino Cortejo, yang bertempat tinggal di Manresa di Spanyol?" "Benarlah. Dahulu, semasa muda ia pernah jatuh cinta kepadaku, meskipun usiaku beberapa tahun lebih tua daripadanya. Ia pernah memberi potret dirinya kepadaku dan potret itu masih saya simpan sampai sekarang." "Bagaimana hubungan dengan potret itu?" "Persamaannya dengan pangeran Alfonso terlalu menyolok." "Boleh aku melihatnya?" "Boleh, Yang Mulia! Saya akan mengambilnya." Abdi itu pergi dan kembali lagi membawa sebuah potret. Baru saja dilihat oleh pangeran potret itu, maka ia berseru. "Bukan main! Seperti potret Alfonso sendiri!" "Benar. Saya pun berpendapat demikian, Don Fernando, perkara itu membuat hatiku risau." "Kaukah pengasuh, yang menyusui bayi Alfonso?" "Benarlah. Selama enam bulan. Kemudian saya masih harus bertempat tinggal di puri. Seorang tukang kayu istana meminangku, maka saya menjadi isterinya dan tinggal bersama. Suamiku sakit, lalu meninggal. Kini saya seorang diri kembali. Ketika itu Anda mengemukakan keinginan Anda untuk mendapatkan Alfonso. Keinginan Anda terkabul, karena ketika itu anak itu masih mempunyai kakak yang masih hidup. Saya diminta mengantarkan anak itu ke Meksiko. Tawaran itu saya terima, karena tak ada lagi sesuatu di puri yang memberatkan hatiku." "Dari saat itu sampai kepergianmu kamu tidak hadir lagi di puri?" "Tidak, karena waktu yang sempit. Kapal sudah siap berlayar. Pagi hari sebelum berangkat, saya diminta datang ke puri. Kemudian saya naik kereta kuda bersama pangeran Manuel, isterinya dan Alfonso, membawa kami ke Barcelona. Di situ kami berjumpa dengan senor Pedro Arbellez, sekarang menjadi pemilik hacienda, tetapi ketika itu masih memegang jabatan sebagai pengawas. Saya bersama anak itu kemudian diserahkan kepadanya." "Apakah kamu diantar oleh Don Manuel dan isterinya ke atas kapal?" "Tidak. Keduanya segera kembali lagi, karena Yang Mulia Tuan Puteri tidak tahan berpisah dengan puteranya. Setelah itu saya setiap saat bersama anak itu. Akan tetapi keesokan harinya, pagi-pagi, pada persangkaanku muka anak itu mengalami sedikit perubahan." "Wah! Lanjutkan keteranganmu!" "Ya, masih ada lagi, meskipun suatu hal remeh. Sebagai kebiasaan orang miskin, saya selalu ingin mengetahui, apa yang dipakai oleh orang kaya. Maka ketika saya menukar pakaian anak itu, saya perhatikan baik-baik apa yang dipakai olehnya. Keesokan harinya saya merasa agak heran, karena menurut perasaanku baju anak itu ukurannya lebih kecil daripada malam sebelumnya." Pangeran Fernando memandang dengan tajam. "Hanya persangkaanmu saja demikian?" tanya pangeran tegang. "Ataukah keyakinanmu?" "Sayang ketika itu saya tidak memperhatikan nomor ukuran bajunya. Meskipun demikian saya merasa pasti, bahwa baju itu telah ditukar." "Pintu kamarmu terkunci atau tidak?" "Tidak." "Apakah nama tempat penginapannya? Aku telah lupa." "Nama hotel itu 'El Hombre Grande'. Letaknya di kota Barcelona." "Tahukah kamu, siapa-siapa tamu hotel pada malam itu?" "Keesokan harinya diam-diam aku menanyakan berbagai hal kepada orang-orang di hotel itu. Dan keterangan mereka mungkin berguna juga. Tidak jauh dari kamarku tinggal seorang tamu yang mendapat kunjungan dari dua orang. Ketiga tamu itu tidak dikenal orang. Mereka meninggalkan hotel keesokan harinya pagi-pagi. Salah seorang membawa bungkusan." "Siapakah yang melihatnya?" "Seorang gadis pelayan yang menderita sakit gigi dan tidak dapat tidur." "Jadi ada kemungkinan anak itu bersama bajunya ditukar orang. Dapatkah kau memberi keterangan lebih lanjut?" "Tak ada yang pasti, tetapi terdapat hal-hal kecil, yang mula-mula tampak remeh, tetapi kemudian ternyata penting juga" "Katakan saja, jangan segan-segan! Dalam perkara seperti ini hal-hal kecil kadang-kadang merupakan kunci untuk membuka hal-hal yang besar." "Nah, anak itu belum pernah bicara tentang orang tuanya, sedangkan sepatutnya ia merasa sedih berpisah dengan mereka." "Memang." "Saya mendapat kesan, seolah-olah ia tak pernah bertempat tinggal bersama orang tuanya. Ketika saya singgung tentang pangeran Manuel dan isterinya, ia tidak memanggilnya papa dan mama, melainkan ayah dan ibu. Lagi pula ia tidak suka bicara tentang tanah airnya, seolah-olah ia dilarang berbuat demikian. Selanjutnya ia tidak menjawab, bila dipanggil Alfonso. Anak itu seperti biasa dipanggil dengan nama lain" "Masya Allah! Semua itu baru kau ceriterakan sekarang padaku?" "Mula-mula saya ini seorang gadis bodoh, tidak menaruh curiga sedikit pun. Baru setelah saya tinggal di sini saya mulai berpikir. Apa lagi setelah saya melihat persamaan yang membingungkan itu. Saya mulai menaruh curiga, namun sudah terlambat." "Belum tentu sudah terlambat. Jalan Tuhan tidak dapat kita terka." "Lagi pula anak itu dalam perjalanan lebih banyak bertanya tentang Pablo Cortejo daripada tentang Anda. Akhirnya dapat saya ketahui juga, bahwa kedua orang itu beraku berengkau, bila mereka hanya berdua saja." "Benarkah?" tanya pangeran cepat. "Benar! Bahkan pernah saya dengar Don Alfonso memanggil sekretaris Anda paman. Ketika itu mereka sedang di dalam taman. Mereka tidak mengetahui bahwa saya sedang mengawasinya." "Masih ada lagi keteranganmu?" "Hanya itulah yang dapat saya ceriterakan, Don Fernando." "O, itu sudah memadai. Kini aku yakin, bahwa ada orang-orang mendalangi kejahatan ini. Tetapi biarlah! Mereka tidak akan luput dari hukum." "Haruskah saya rahasiakan pembicaraan tadi, Yang Mulia?" "Tentu saja. Mereka tidak boleh menduga, bahwa kita mengetahui sesuatu, takut nanti mereka mengacaukan segalanya. Tapi kalau benar dugaan kita, di manakah Alfonso yang asli?" "Ia telah dibawa ketiga orang itu." "Dan mungkin juga dibunuh." "Por amor de dios!" "Itu harus kuselidiki," kata pangeran dengan berang. "Jadi itulah sebabnya, maka Alfonso ini begitu biadab. Karena itu aku tak dapat merasakan adanya tali persaudaraan di antara kami. Namun di mata orang banyak ia masih keponakanku dan aku harus membelanya. Tolong panggil sais dan suruhlah menyiapkan kereta kuda. Bila kuperlukan kamu lagi, akan kuberitahu." Wanita tua itu pergi. Pangeran menyimpan kembali surat-surat yang menimbulkan keresahan hati ke dalam laci meja tulis, lalu pergi ke luar rumah dan naik kereta kuda yang sudah disiapkan baginya. "Ke rumah pangeran Embarez!" titahnya kepada sais. Tak lama kemudian kereta itu berhenti di muka rumah pangeran Embarez. Don Fernando melaporkan kedatangannya, kemudian dipersilakan masuk ke dalam. Embarez, seorang pangeran muda usia, menerimanya dengan hormat sekali, namun sangat dingin. Don Fernando dipersilakan duduk, sedangkan ia sendiri tetap berdiri saja. Maka oleh karena itu pangeran Rodriganda menolak tawaran untuk duduk di atas kursi dan tetap berdiri pula. "Hari ini telah saya terima surat dari Anda," katanya. Embarez mengangguk dalam-dalam. "Dan saya pun kurang mengerti, mengapa surat itu ditulis dengan nada sedingin itu." "Nada demikian dapat dipahami dengan mudah." "Mungkin bagi Anda, tetapi tidak bagi saya. Saya selalu ramah dan sopan terhadap setiap orang." "Saya pun demikian terhadap orang-orang yang patut diperlakukan demikian." Rodriganda melangkah ke belakang dengan berang. "Apakah maksud Anda, saya kurang patut mendapat penghargaan menurut penilaian Anda!" tanya Rodriganda dengan nada tajam. "Maksud saya tidak ditujukan kepada Anda pribadi." "Tetapi surat itu ditujukan kepadaku!" "Berkenaan dengan tingkah laku keponakan Anda." "Saya mohon penjelasan. Apa yang terjadi antara Anda dengan dia?" "Soal kehormatan, karena ia telah menghina saudara perempuanku. Lalu saya tantang dia berkelahi memakai senjata pedang. Ia telah menerima tantangan itu." "Bilamana duel itu harus berlangsung?" "Tiga hari sesudah kejadian itu. Sayang ia tidak hadir, sehingga terpaksa saya beranggapan, bahwa kehormatannya tidak tahan diuji dengan pedang. Mungkin juga ia takut. Bagaimanapun juga tidak ada tafsiran yang lebih menguntungkan baginya." Rodriganda harus menelan penghinaan sekasar itu. Namun ia tetap tenang dan menjawab. "Anda khilaf, pangeran. Saya terpaksa mengutarakan pendapat, bahwa bukanlah perbuatan ksatria untuk menghina seorang yang tidak bersalah seperti saya ini. Harus Anda ketahui pula, bahwa keponakanku terpaksa mengadakan perjalanan jauh. Dalam keadaan seperti itu kadang-kadang orang terpaksa tidak memenuhi janji, meskipun ia tidak mempunyai keinginan demikian. Seumpama Anda adalah saya, saya akan menanyakan lebih dahulu kepada pamannya, sebelum saya mengambil tindakan menghina orang." Perkataan ini berkesan di dalam hati lawannya. Jawabnya, "Isi surat saya khusus ditujukan kepada keponakan Anda." "Itu bukan alasan. Begini saja! Saya bertindak sebagai wakil keponakanku. Surat Anda tertuju kepadaku. Maka sesuai dengan itu saya mohon, supaya ujung pedang yang sedianya diarahkan kepada keponakanku itu, kini diarahkan saja kepadaku sendiri." "Ah! Maksud Anda....?" "Bahwa saya menerima tantangan yang diajukan kepada keponakanku itu." "Pangeran, itu sekali-kali bukanlah maksudku," kata Embarez cepat. "Saya mohon, supaya Anda menarik kembali perkataan Anda!" "Dan saya mohon, supaya Anda menerimanya," jawab Rodriganda sungguh-sungguh. "Baik! Bila Anda memaksa, saya harus menerima juga." "Bilamana akan dilangsungkan?" "Terserah kepada Anda." "Besok?" "Begitu tergesa-gesa untuk mati, Don Fernando?" tanya Embarez menyindir. "Hidup matiku ada di tangan Tuhan," kata Rodriganda tenang. "Senjata apa Anda pilih?" "Sebagai pengganti keponakanku saya harus tunduk pada pilihannya, jadi senjata pedang. Tempatnya pun sama dengan yang ditetapkan oleh keponakanku." "Siapa pendamping Anda?" "Siapa yang mendampingi keponakanku?" "Vicomte de Lorriere." "Tuan Vicomte akan saya minta selekasnya datang pada Anda." "Dan saya akan menantikan kedatangannya." "Maka semua sudah kita bicarakan dan saya minta diri." Don Fernando pergi ke rumah Vicomte de Lorriere. Vicomte sangat murka ketika mendengar, bahwa Alfonso tidak hadir. Namun ia menahan diri, mengingat kehormatan Don Fernando dan berjanji hendak memberi bantuan yang diperlukan. Kemudian pangeran Rodriganda pulang. Sepanjang petang hari ia sibuk menulis. Malam hari ia menyuruh Maria Hermoyes datang. Wanita itu mengira, tuannya hendak membicarakan tentang penukaran anak itu, tetapi ternyata tidak demikian. "Maria," katanya, "akan kupercayakan suatu rahasia kepadamu. Jagalah, supayajangan sampai diketahui orang." "Tentu, Yang Mulia, saya akan menyimpan rahasia itu baik-baik," jawabnya. "Tentu kau ketahui apa artinya duel itu. Besok aku akan berduel." "Benarkah?" tanya wanita itu terkejut. "Jangan, jangan berbuat demikian!" "Aku terpaksa," katanya. "Alfonso telah menerima tantangan, tetapi ia takut dan melarikan diri. Untuk menjaga nama baikku, aku harus menggantikannya." "Ya Tuhan, ia akan menjadi pembunuh pamannya sendiri." "Kau tidak usah khawatir. Aku pandai juga memainkan pedang, meskipun aku bukan jagoan. Mudah-mudahan aku tidak mendapat cedera. Namun untuk menghadapi segala macam kemungkinan, sudah kusiapkan surat wasiatku...." "Saya kira, surat itu sudah selesai ditulis?" kata Maria, agak merasa heran. "Yang sudah selesai yang memuat Alfonso sebagai ahli waris tunggalku. Tetapi itu perlu diubah. Telah bangkit curigaku dan telah kuambil tindakan seperlunya. Inilah surat wasiat baru. Kau harus menyimpannya." "Saya? Yang Mulia, saya ini hanya seorang wanita miskin!" kata wanita itu sambil menangis. "Kau abdiku yang setia dan kau adalah satu-satunya yang dapat kupercaya. Bila besok aku kembali lagi, kau kembalikan surat itu kepadaku. Tapi bila aku tidak kembali, harus kau sampaikan surat itu kepada ketua pengadilan, yang akan mengambil tindakan seperlunya. Selamat malam!" Wanita tua itu hendak menolak, tetapi ia mendorongnya dengan lemah lembut ke luar, supaya tidak terpengaruh oleh kelemahan hati wanita tua itu, yang mungkin menggagalkan niatnya. Setelah Pablo Cortejo meninggalkan pangeran, ia memberi perintah kepada kedua utusan, lalu kembali ke kamarnya. Ia pernah mempunyai seorang isteri yang telah meninggal dan meninggalkan seorang anak, seorang anak perempuan. Anaknya yang bernama Josefa dimanja dan dipuja-puja. Bila kita mengharap melihat seorang gadis cantik tiada taranya kita akan sangat kecewa. Tubuhnya serupa dengan ayahnya, tinggi kurus, bertulang kasar, raut mukanya tajam dan gerak-geriknya agak canggung. Warna kulit mukanya kuning pucat, giginya sudah banyak tanggal dan matanya seperti mata burung hantu yang terpaksa dibuka menentang cahaya matahari. Pablo Cortejo tidak pergi ke kamar kerjanya, melainkan pergi menemui anaknya. Gadis itu sedang berbaring di taman di atas tikar gantung dan sedang merokok. "Apa yang diinginkan pangeran? Penting benar kelihatannya." "Ia memberi tamparan di mukaku," geramnya. "Mengenai apa pembicaraannya?" "Apa lagi kalau bukan mengenai Alfonso." "Hra! Ia keponakan sendiri, bukankah demikian?" "Untunglah demikian pendapatnya. Seandainya si tua itu mengetahui keadaan sebenarnya, mati kita! Mula-mula diterimanya berita malang tentang utang akibat perjudian, kemudian berita yang tidak kurang merisaukan, yaitu tentang pembatalan duel, ini terutama disebabkan oleh sikapmu itu!" "Aku?" tanya gadis itu terheran-heran. "Apa hubunganku dengan tantangan berduel?" "Bukan secara langsung, tetapi kau tidak menghendaki Alfonso hadir. Kau takut kehilangan nyawanya yang sangat berharga dan ia pun mungkin lebih takut lagi." "Apa hubungan dengan perkara yang dihadapi ayah hari ini?" "Pangeran Embarez telah menulis surat kepada Don Fernando, membuat Don Fernando sangat marah dan mengancam hendak mengusir Alfonso atau melakukan tindakan keras yang lain." "Ia tak akan berani berbuat demikian. Alfonso tidak akan membiarkannya." "Pangeran sudah marah sekali. Ia hendak membatasi gerak gerik keponakannya. Sampai ia berani menyalahkan aku. Katanya, keponakannya itu mendapat pengaruh buruk daripadaku." "Pengaruh itu memang bukan dari pihak ayah, melainkan dari pihakku," demikian diakui oleh gadis itu dengan terus terang. "Benar pendapatmu itu. Sementara itu, surat pangeran Embarez membawa perubahan yang menguntungkan bagi kita. Don Fernando sendiri akan berduel sebagai ganti Alfonso." Josef a melompat kegirangan dari atas tikar gantungnya. "Bilamana?" "Entahlah, tetapi dalam waktu dekat, karena pangeran tidak biasa menunda perkara sepenting itu." "Dan bila ia tertembak mati?" "Tertikam mati!" "Jadi duel itu menggunakan senjata pedang. Itu mungkin lebih berbahaya." "Maka dapat dikatakan kita sudah menang. Surat wasiat sudah ditulis dan Alfonso dianggap sebagai ahli waris tunggal." "Dan demikian aku juga menjadi ahli waris," kata gadis itu sambil tertawa girang. "Memang, kau juga. Alangkah cerdik saudaraku Gasparino yang bertempat tinggal di Spanyol dengan merencanakan siasat itu. Keinginannya, supaya segenap harta benda jatuh ke dalam tangannya dan ke dalam tangan anaknya. Dan bagian kita sedikit sekali. Tetapi belum tentu siapa lebih cerdik, dia atau kita. Kau harus mendapat bagian juga dari warisan itu." "Apa yang akan dikatakan Alfonso tentang usul kita itu!" "Sudah tentu ia tak merasa senang." "Mengapa tidak? Ayah mengira aku ini gadis tidak laku?" tanya Josefa tersinggung. "Bukan itu maksudku," jawab Cortejo. "Tetapi seorang pangeran harus menikah dengan seorang puteri." "Itu tidak menjadi soal. Dengan sendirinya aku menjadi puteri, bila ia menikah dengan aku." "Hm. Cerdik juga engkau. Tetapi harus diakui, bahwa ia tidak akan menyerah begitu saja." "Alfonso harus ditundukkan bukan dengan cinta, tetapi dengan paksaan." "Dan bagaimana, kalau Don Fernando tidak tewas dalam duel?" Josefa menundukkan kepala dan menjawab, "Aku benar-benar tidak mengerti, mengapa kaum laki-laki selalu harus bersikap selemah itu." Ayahnya memperhatikan gadis itu sejenak. Kemudian ia bertanya, "Jadi maksudmu, pangeran harus mati?" "Benarlah!" "Jika bukan oleh pedang...." "....masih ada cara lain juga. Tetapi sebenarnya tidak sesuai benar dengan tujuan kita, bila Don Fernando meninggal. Dengan membiarkan dia hidup, kita akan mendapat senjata ampuh di tangan kita, karena aku belum yakin, tali persaudaraan antara ayah dengan keponakan maupun saudara akan selalu tahan uji." "Baik juga kau ingatkan hal itu. Memang lebih baik Don Fernando tetap hidup, tetapi hal itu jangan sampai membahayakan kepentingan kita. Untuk mencapai tujuan, umpamanya kita dapat menyerahkannya hidup-hidup kepada nakhoda bajak laut Henrico Landola, tak lama lagi akan datang di sini. Lagi pula sangat segan hatiku, melakukan pembunuhan terhadap seorang yang berjasa pada kita." "Berjasa?" tanya Josefa mengejek. "Ada-ada saja ayah! Bukankah ayah bekerja, memberi jasa kepadanya? Tetapi tidak apalah, karena aku sendiri berpendapat, ia lebih baik tetap hidup. Untuk mencapai tujuan itu, harus diusahakan supaya seolah-olah ia mati. Siapakah pandai membuat ramuan untuk membuat orang seperti mati?" "Aku mengetahui seorang ahli pembuat ramuan. Ia bersedia memberi pertolongan, asal diberi uang jasa. Peramu itu seorang Indian, bertempat tinggal di Santa Anita. Namanya Basilio. Segera aku pergi kepadanya untuk minta bantuan." "Tetapi tunggu dahulu, sampai kita mengetahui kesudahan duel. Apa yang ayah ketahui tentang Alfonso?" "Tiga minggu yang lalu sudah kukirim seorang utusan untuk memberi penyuluhan seperlunya. Hari ini pangeran mengirim dua orang utusan sekaligus. Mereka akan berjumpa dengan Alfonso di tengah jalan. Beberapa hari lagi ia akan sampai ke sini." "Syukurlah, karena ia akan kembali kepadaku!" Mata gadis itu berseri-seri. Nyatalah, ia sangat mencintai Alfonso. Namun cintanya pasti akan berubah menjadi malapetaka, dan menimpa orang yang dikasihinya, bila ia tidak membalas kasihnya. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Don Fernando de Rodriganda meninggalkan kota Meksiko bersama Vicomte, pembantunya, menuju ke Danau Texcoco. Kedua orang itu berpakaian nasional Meksiko, bertopi sombrero yang bertepi lebar, dihiasi benang-benang emas, yang bergantungan sampai ke bahu. Bajunya hitam berkancing perak kecil-kecil. Mereka memakai pelindung kaki bersulamkan benang emas dan perak, ditarik melalui lutut dan diikatkan pada pinggang dengan sebuah ikat pinggang. Pelana kuda pun dihiasi dengan warna-warna emas dan perak serta kancing-kancing dari perak. Kekang kuda dihiasi dengan cara serupa. Tali kendali terbuat dari tali sutera beraneka warna dan pacu kudanya yang besar-besar terbuat dari perak. Di belakang sandaran pelana terdapat selembar kulit putih, untuk melindungi senjata pistol. Kulit itu tergantung sebelah menyebelah tubuh kuda sampai jauh ke bawah. Bergantungan pada pelana juga terdapat tali laso. Kedua orang cavalero itu tidak bercakap-cakap. Apa yang perlu diperbincangkan, sudah dibicarakan sebelumnya. Vicomte memahami benar pergolakan dalam hati pangeran, maka ia tidak mau mengganggu dengan percakapan yang kurang perlu. Ketika mereka sampai di tempat tujuan mereka di dekat danau, lawannya sudah hadir. Lawannya didampingi oleh seorang dokter sebagai pembantu dan seorang lagi yang tidak memihak pada salah seorang di antara mereka. Kedua orang itu segera bersiap dan mulai berduel setelah diberi tanda. Mula-mula pangeran Embarez memandang enteng lawannya. Ternyata ia membuat kesalahan besar dengan pandangan demikian. Don Fernando dapat mempermainkan pedang dengan tangkas, hingga berhasil melukai. Tetapi hal ini membuat lawannya menyerang kembali dengan lebih bersemangat. Karena sebenarnya ia lebih terlatih dari Don Fernando, akhirnya berhasillah ia menusukkan pedangnya ke dada lawannya itu. "Aku terkena!" seru Don Fernando, lalu roboh ke atas tanah. Dokter segera berdiri di sisinya memeriksa luka Don Fernando menyatakan, bahwa luka itu tidak seberapa besar, namun cukup berbahaya untuk meneruskan duel. Pangeran Embarez merasa puas dengan kesudahan ini dan meninggalkan tempat itu. Don Fernando mendapat perawatan dan diangkut dengan kereta kuda ke rumahnya. Setiba di rumah, mereka disambut oleh Cortejo dan puterinya, yang langsung hendak menyanyikan lagu duka. Tetapi atas kehendak pangeran mereka disuruh pergi. Pangeran hanya ingin ditemani oleh Maria, wanita tua itu. Maria datang dan diberi tugas merawat pangeran. Setelah dokter meninggalkan tempat itu, Maria berkata. "Saya membawa surat wasiat Anda." "Itu tidak perlu lagi," kata pangeran sambil tersenyum. "Tolong simpan baik-baik ke dalam laci tengah meja tulis itu." Maria berbuat seperti yang diperintahkan kepadanya dengan hati-hati dan cermat. Berlainan sekali suasana di tempat kediaman sekretaris. Ayah dan puteri sedang duduk dengan wajah muram. "Apa yang telah kita capai?" tanya Josefa. "Tidak sesuatu pun!" Jawab ayahnya. "Yang sangat mengesalkan hati, ialah bahwa wanita tua pengasuh itu pandai sekali mencari muka, sehingga ia mendapat kepercayaan dari pangeran." "Lalu perbuatan pangeran Embarez pun sangat mengecewakan. Mengapa seorang ahli dalam permainan pedang seperti dia tidak dapat menikamkan pedangnya lebih dalam lagi ke tubuh lawannya?" "Aku harus langsung pergi ke Santa Anita." "Benar! Berangkatlah secepatnya! Setiap saat berharga bagi kita." "Sebenarnya aku ingin menanti kedatangan Alfonso lebih dahulu." "Tapi tidak ada salahnya, bila ayah memesan ramuan itu lebih dahulu!" "Benar juga pendapatmu! Mari, aku berangkat!" Pablo Cortejo naik kudanya dan pergi menuju desa Santa Anita, penduduknya terutama terdiri dari bangsa Indian. Mata pencaharian kaum Indian di situ berkebun. Hasil perkebunannya diangkut dengan perahu-perahu kecil melalui terusan Chalco ke kota dan dijual di situ. Hasil yang dijual terdiri dari buah-buahan, bunga-bungaan, jagung dan rumput kering. Wanita berpakaian rok merah menyala berbaring bersama anak-anak dan anjing-anjing di sisi muatan beraneka ragam itu. Sehelai selimut dibentangkan di atas dua tongkat kayu, Gunanya untuk memberi perlindungan dari terik matahari. Di sebelah kiri terbentang kebun terapung bangsa Indian yang kenamaan, diberi nama Chinanpa oleh mereka. Permukaan Danau Chalco mula-mula bening, tetapi kemudian orang-orang Indian menutupinya dengan rakit-rakit dan tikar rumput, diberi tanah di atasnya dan ditanami dengan sayur-mayur dan bunga-bungaan. Tanaman-tanaman ini mempunyai akar, sehingga rakit-rakit tidak diombang-ambingkan lagi oleh ombak dan menyerupai pulau-pulau kecil, berpagar bunga mawar, tempat menanam sayur-mayur dan buah-buahan yang lezat. Bangsa Indian ini bukan bangsa yang liar. Mereka beragama katolik dan disebut Indios fideles, berlawanan dengan Indios bravos, yaitu bangsa Indian yang hidup bebas, liar. Kepercayaan serta adat-istiadat yang lama masih memegang peranan dalam hidup kekristenan mereka sekarang. Namun di antara mereka terdapat juga orang-orang yang lebih ditakuti daripada orang Comanche atau Apache liar. Salah seorang dari mereka adalah Basilio, seorang dukun ramu. Ia mengenal segala macam ramuan Indian, cara membuatnya, pemakaian serta pengaruhnya, pengetahuan yang diwarisi dari nenek moyangnya. Tidaklah segan ia memperdagangkan hasil kepandaiannya. Banyak jumlah orang yang dibunuhnya, mungkin lebih banyak dari jumlah orang yang tewas oleh tangan Kepala Banteng dan Hati Beruang dalam perkelahian yang jujur. Setiap orang mengetahui letak rumahnya, demikian juga Cortejo. Ia masuk pekarangan kecil di sebelah rumah itu, supaya tidak menarik perhatian orang, kemudian ia mengetuk pintu. Setelah berkali-kali mengetuk, pintu dibuka. Muka buruk seorang wanita tua tampak di balik daun pintu. Wanita itu bertanya, "Apa yang Anda kehendaki?" "Apakah Basilio, dukun itu, ada di rumah?" "Tidak ada! Di mana ia sekarang ataupun bila mana ia kembali, tidak kuketahui juga." Cortejo meraba saku, lalu mengeluarkan sekeping uang peso. Diperlihatkannya kepada wanita itu, lalu ia bertanya lagi, "Apakah Basilio ada di rumah?" "Kurasa ada. Berikan dahulu uang itu!" "Baru kuberikan, bila sudah pasti ia ada di rumah." "Benar. Ia ada di rumah," katanya. "Cepat, berikan uang itu!" "Dapat aku bicara dengannya?" "Dapat. Mari ikut aku!" Cortejo memberi uang kepada wanita itu, lalu masuk ke dalam. Wanita itu menutup pintu dan pergi ke sebuah kamar, yang lebih menyerupai kandang kambing daripada tempat kediaman orang. "Duduklah!" katanya. "Aku akan memanggilnya." Setelah ditinggalkan wanita itu, Cortejo mencari sesuatu, yang layak untuk tempat duduk, tetapi sia-sia saja. Hanya dilihatnya setumpuk tumbuh-tumbuhan kering, lalu ia duduk di atasnya. Berapa lama ia harus menunggu, sebelum orang Indian itu keluar. Ia seorang bertubuh kecil dan kurus dengan raut muka yang tajam, berhidung bengkok dan berkacamata besar. "Apa kehendak Anda?" Tanya orang Indian itu. "Boleh saya berterus terang dengan Anda?" jawab sekretaris. "Rahasia pun boleh Anda sampaikan kepadaku." "Anda menjual ramuan?" "Benar." "Yang baik maupun yang jahat?" "Semuanya baik," jawab Basilio dengan senyum lebar. "Maksudku yang beracun dan yang tidak beracun." "Benar. Bila maksud Anda, bicara tentang yang beracun, kita harus hati-hati. Siapakah Anda?" "Anda tidak perlu mengetahui. Hanya dapat kukatakan, bahwa saya bukan seorang polisi." "Baik, baik! Anda mempunyai uang? Siapa hendak bicara tentang ramuan beracun harus membayar sepuluh peso lebih dahulu. Sanggupkah Anda?" Cortejo meraba sakunya, lalu mengeluarkan uang sebanyak yang diminta dan memberi uang itu kepadanya. Orang Indian itu tersenyum gembira dan menerima uang itu. Kemudian ia berkata, "Kini Anda boleh bertanya!" "Apakah terdapat juga ramuan yang membuat orang seolah-olah mati?" tanya Cortejo. "Ada. Bahkan terdapat beberapa jenis. Kepada siapa ramuan itu diperuntukkan?" "Untuk seorang laki-laki bertubuh tegap berusia lebih kurang lima puluh tahun." "Haruskah ia menjadi sadar kembali?" "Ya, sesudah satu minggu." "Bila mana Anda memerlukan ramuan itu?" "Sekarang juga. Berapa harga yang Anda minta?" "Harganya seratus uang peso." "Akan saya bayar." "Baik. Saya senang berdagang dengan Anda, karena Anda cepat mengambil putusan. Tunggu sebentar. Saya akan mengambil ramuannya!" Basilio pergi. Sekali ini hampir satu jam, baru kembali lagi. Ia membawa bungkusan kecil dan diberikan kepada sekretaris. "Inilah barangnya!" kata Basilio. Bungkusan itu kecil sekali, besarnya kurang dari seperempat sebuah bidai. Maka agak kurang percaya Cortejo memegangnya dan bertanya, "Inikah? Apa tidak salah? Bolehkah saya membukanya?" "Boleh saja!" kata peramu itu dengan tersenyum. Cortejo membuka bungkusan. Isinya serbuk halus tak berbau. Kelihatannya seperti beling ditumbuk halus-halus. "Dapatkah saya memegang tanpa mengalami akibat buruk?" "Ramuan itu hanya bekerja di dalam perut orang," jawabnya. "Dan bagaimana cara menggunakannya?" "Anda harus melarutkannya dalam air, lalu membubuhkannya pada makanan atau minuman. Pengaruhnya terasa setelah satu malam." "Apakah ada juga obat penangkalnya?" "Tidak. Lagi pula obat-obat lain pun tak kuasa menggagalkan bekerjanya." "Saya mau membelinya. Tetapi Anda menjamin kemujarabannya?" "Saya tidak biasa bersumpah, tetapi Anda akan melihat, bahwa ramuan ini mujarab sekali." "Bila kemudian ternyata, bahwa ramuan ini kurang mujarab, saya minta kembali uangku, lalu saya adukan Anda sebagai seorang peramu racun. Sebagaimana Anda ketahui, perbuatan demikian dapat dijatuhi hukuman mati." Dukun ramu itu tersenyum dengan tenang. "Siapa yang bersalah, senor? Yang meramu racun atau yang memberi kepada orang lain untuk dimakan? Saya kira, orang yang tersebut belakangan lebih berat kesalahannya. Pendeknya bayar saja dan pergilah!" Cortejo membayar, lalu hendak pergi. Tiba-tiba teringat olehnya sesuatu hal. "Ada sesuatu ingin saya tanyakan. Orang yang mati semu mayatnya mengeluarkan noda-noda atau tidak?" "Tidak!" "Tetapi dalam perkara yang saya hadapi, harus ada noda-noda itu!" "Hra! Sulit juga kalau begitu!" jawab Basilio, sambil tersenyum licik. "Bukankah lebih baik, langsung membunuh saja orang itu? Bila demikian, akan timbul noda-noda itu dengan sendirinya." "Tidak. Ia tidak boleh mati. Dapatkah noda-noda itu ditimbulkan dengan sengaja?" "Ya dapat, tetapi agak sulit. Harganya lima puluh peso!" "Basilio, Anda benar-benar seorang pemeras! Saya rasa, dua puluh peso sudah cukup!" "Harga tidak kurang, lima puluh peso atau saya akan pergi!" Basilio pura-pura hendak pergi. "Tunggu dahulu! Tiga puluh peso!" kata Cortejo cepat. "Baik! Saya akan mengambil barangnya." Orang Indian itu pergi, sepuluh menit kemudian kembali dengan sebuah botol kecil, berisi zat cair kekuning-kuningan. "Tahukah Anda, di mana biasa keluar noda-noda pada sesosok mayat? Celupkan secarik kain ke dalam zat cair ini, lalu gosoklah tempat-tempat itu! Makin banyak Anda bubuhkan zat cair makin gelap warnanya." "Serahkan barangnya dan terimalah uangnya!" Cortejo membayar. Orang Indian itu memasukkan uang dengan gembira ke dalam sakunya. Setelah itu Cortejo keluar rumah, naik kudanya, cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Barang siapa keluar dari rumah Basilio, langsung dicurigai orang, telah melakukan perdagangan gelap. BAB VII SIASAT IBLIS Dalam perjalanan pulang Cortejo menjumpai seorang penunggang kuda di dekat daerah Paseo de la Viga. Tampak orang itu tidak biasa menunggang kuda. Ia berpakaian ringan musim semi dan kepalanya ditutup topi sombrero lebar. Cortejo terkejut melihat orang itu. Ia mengenalnya, tetapi tidak mengharapkan kedatangannya di tempat itu. Orang tersebut nakhoda Henrico Landola. Bibirnya terkatup erat, dengan sudut mulutnya tertarik ke bawah seolah-olah selalu hendak mengejek, hidungnya bengkok tajam, pandangan mata kelabunya tajam dan menusuk dan menimbulkan kesan, kita berhadapan dengan orang luar biasa. Memang nakhoda Landola bukan pelaut biasa; itu harus diakui yang pernah mengenalnya. Orang-orang itu berpendapat, meskipun namanya seperti orang Spanyol, sesungguhnya ia seorang Yankee sejati, tak gentar menghadapi iblis sekalipun dan bila perlu ia sanggup berlayar memasuki neraka dan keluar dari ujung yang lain, tanpa merusak sedikit pun tiang maupun layar kapal. Semua samudera serta pelabuhannya dikenal dan umum mengetahui, bahwa ia bersedia menerima setiap muatan, halal ataupun haram, asal sanggup membayarnya. Bahkan menurut bisik-bisik orang, ia tidak segan-segan menerima muatan budak negro, meskipun perbudakan setidak-tidaknya di atas kertas, sudah dilarang oleh negara-negara besar dan para pelanggarnya senantiasa harus berjaga-jaga bila bertemu dengan kapal-kapal perang yang berlayar hilir mudik. Cortejo menghentikan kudanya, lalu bertanya, "Bukankah saya berhadapan dengan senor Henrico Landola?" "Benar," jawab pelaut itu. "Tapi apakah maksud Anda datang ke sini, ke daerah paseo ini?" "Saya pergi menyongsong Anda." "Mengapa?" tanya Cortejo terheran-heran. "Tahukah Anda, bahwa saya naik ke darat di Vera Cruz? Sudahkah Anda terima surat dari saudara Anda?" "Memang telah saya terima." "Kalau begitu, segalanya sudah beres. Saya bersusah payah pergi ke mari, ke tanah terkutuk, penuh dengan perampok dan penyakit demam ini, untuk mengadakan pembicaraan langsung dengan Anda. Di tempat kediaman Anda hanya saya temui puteri Anda, yang mengatakan, bahwa saya dapat menemui Anda di Paseo. Maka saya ke sini." "Betapa ceroboh Anda! Anda tidak boleh kelihatan di sini. Meskipun di sini Anda tidak dikenal orang, namun setan dapat memainkan peran yang tidak dapat diduga. Dua orang hendak merundingkan perkara rahasia seperti kita, sama sekali tidak boleh kelihatan oleh orang lain." "Baiklah, kalau kehendak Anda demikian." "Maka pergilah ke mana Anda kehendaki dan kembalilah lagi malam hari pukul sepuluh berjalan kaki ke sini!" "Baik, saya akan hadir pada waktu itu." Landola melanjutkan perjalanan dan sekretaris pun pulang lagi ke rumahnya. Sesampai di rumah, ia diterima puterinya, yang ingin sekali mendengar khabar tentang pengalamannya. "Sudahkah ayah bertemu dengan Basilio dan memperoleh ramuannya?" "Sudah, tetapi benar-benar mahal harganya." "Coba ceritakan!" Sekretaris bercerita pada Josefa tentang kunjungan kepada Basilio. Kemudian ia berkata, "Mengapa telah kau suruh nakhoda itu menyongsong aku? Itu berbahaya!" "Bukankah lebih berbahaya lagi, membiarkan di sini menantikan ayah." "Demikiankah kehendaknya? Alangkah cerobohnya! Apakah ia mengatakan tentang pekerjaannya?" "Sedikit pun tidak." "Dan kau juga tidak bertanya?" Josefa menjawab agak kemalu-maluan, "Memang aku bertanya, tetapi ia tidak bersedia mengatakan pekerjaannya." "Tentu. Orang seperti Henrico Landola tidak akan berbicara dengan kaum wanita tentang perkara-perkara demikian. Telah kau katakan, aku di paseo?" "Tidak. Hanya kukatakan kepadanya, bahwa ia dapat menjumpai ayah di paseo. Jadi ayah sudah mendapat obat itu? Bagaimana bentuknya, serbuk atau zat cair?" Sekretaris membuka bungkusan, lalu memperlihatkan isinya. "Bilamana ayah akan memberikan obat itu? Hari ini juga?" "Aku harus menunggu. Alfonso belum datang." "Mengapa harus menunggu dia?" "Lagi pula aku harus memberitahu nakhoda Landola lebih dahulu." "Jadi besok obat itu dapat diberikan kepada Don Fernando?" "Bila mungkin." "Tetapi bagaimana caranya? Maria, si tua itu, tidak mengizinkan orang mengunjunginya. Ia menjaga seperti seekor naga." "Namun harus ada jalan." "Obat itu bekerja dalam waktu semalam dan pengaruhnya terasa selama waktu seminggu." "Kalau begitu, kemungkinan Don Fernando akan meninggal, karena ia sudah luka." "Itu bukan salahku. Aku hanya bermaksud membuatnya mati semu; bila ia sampai mati, terserahlah. Hatiku tidak akan tersiksa." Setelah malam tiba, Cortejo berkemas untuk memenuhi janji pergi ke paseo. Ia tidak naik kuda, karena dengan demikian akan sulit baginya bercakap-cakap dengan Landola. Ia menjumpai nakhoda itu di situ. "Tepat waktunya!" seru Landola, setelah dikenalnya orang yang baru datang itu. "Di mana Anda telah menghabiskan waktu, senor Landola?" "Mudah saja. Cukup banyak tempat hiburan gelap. Tetapi jangan ditanyakan tentang hal itu." jawabnya. "Mari kita berjalan berdampingan, kita dapat mulai pembicaraan kita." Mereka berjalan berdampingan dan bisik-bisik. "Sudahkah Anda terima surat dari senor Gasparino, saudara Anda?" tanya nakhoda. "Sudah. Demikian juga Anda sudah menerima tugas?" "Tidak." "Semestinya sudah." "Hm, istilah yang ada gunakan kurang tepat, senor" kata Landola sambil tersenyum. "Nakhoda Henrico Landola seorang bebas merdeka. Tidak seorangpun dapat memerintahnya atau memberi tugas padanya." "Maaf. Bukan maksud saya untuk menghina Anda." "Tidak apalah. Beginilah kejadiannya! Saudara Anda memohon kepada saya untuk membantu menyelesaikan suatu perkara." "Perkara apa." "Yah. Kira-kira usaha hendak menyingkirkan seseorang," jawab nakhoda dengan tenang. "Dalam keadaan mati atau hidup?" "Menurut keinginan saudara Anda: mati!" "Bagaimana, bila saya berlainan pendapat dengan saudaraku?" "Terserah. Asal Anda mau membayar. Anda sanggup menawar berapa?" "Saya kira 1000 duro sudah cukup." "Baik. Apa yang harus kuperbuat pada orang itu?" "Melenyapkan dia." "Ke mana?" "Terserah kepada Anda." "Baik. Bilamana saya memperoleh 'barang'-nya?" "Berapa lama Anda berlabuh di pelabuhan?" "Sampai perkara ini beres. Tapi jangan menyuruh saya menunggu lama di negeri terkutuk dan berbahaya ini. Kemungkinan saya cepat membongkar sauh." "Baik. Saya akan mengusahakan secepatnya. Tahukah Anda, siapa orang yang dimaksud itu?" "Saya tidak mengetahui. Lagi pula saya tak ada keinginan mengetahui siapakah orangnya." "Andaikata ketika itu hari masih terang, akan nampak wajah nakhoda, bahwa ia berdusta. Sebenarnya sudah tercium olehnya muslihat curang yang sedang dijalankan Cortejo dua bersaudara, diam-diam ia berusaha mencari keuntungan dari keadaan itu." "Bagaimana bila orang itu memberitahu namanya kepada Anda....?" "Saya tidak akan percaya." "Dan bila terdengar oleh awak kapal Anda?" "Tak seorang pun akan melihatnya!" "Dapatkah kami mendengar dari Anda kemudian, ke mana Anda membawanya?" "Mungkin. Sekarang saya sendiri pun masih belum mengetahuinya." "Baik. Mungkin besok orang itu akan mati...." "Bilamana ia dimakamkan?" "Seharusnya dalam dua hari, tetapi keponakannya belum datang." "Jadi ia dimakamkan tanpa hadir keponakannya." "Itu melanggar peraturan." "O, jadi orang ini orang terkemuka! Kalau begitu, dokter menganjurkan, supaya mayat itu diawetkan dengan rempah-rempah." "Saya tidak akan mengizinkan. Kita dapat mengemukakan alasan, bahwa hal itu bertentangan dengan adat istiadat keluarga mereka atau bahwa orang yang meninggal itu semasa hidupnya pernah tidak setuju." "Bagus! Tetapi bagaimana cara mengangkutnya ke pelabuhan?" "Tentu bukan di dalam peti mati." "Saya rasa lebih baik memasukkannya ke dalam keranjang ringan." "Baik. Dan naik kendaraan apa?" "Seekor kuda dapat membawanya." "Dan bagaimana memasukkannya ke alam kapal?" "Terserah kepada Anda. Itu tugas Anda sendiri?" "Hm! Saya kurang menyukai bagian itu. Tapi, biarlah, akan kuatur sebaik-baiknya. Asal jangan sampai Anda kehilangan keranjang itu di perjalanan." "Pekerjaan itu memang memusingkan kepala. Jalan dari sini ke pantai laut penuh dengan penjahat, orang kulit merah maupun kulit putih." "Anda harus mendapat pengawalan kuat." "Itu pun sulit. Dalam hal itu kita harus melibatkan orang-orang." "Tidak usah. Anda sendiri saja ikut." "Saya sendiri sebenarnya tidak dapat. Namun akan kuusahakan juga. Bagaimana dapat Anda ketahui, bahwa kami sudah sampai, senor capitano?" "Mudah saja. Anda mengirim seorang utusan kepadaku." "Dan Anda sendiri akan menyambut kami?" "Belum tentu. Anda tentu tidak akan masuk ke dalam kota dengan membawa keranjang itu?" "Tentu tidak!" "Begini saja. Anda harus mencari bagian pantai yang sunyi dan dapat disinggahi perahu. Segera, setelah saya mendengar, bahwa Anda sampai, saya akan datang pada malam hari untuk mengambil keranjang itu." "Bagus. Jadi kita sekarang sudah sepaham." "Mari, kita berpisah." "Mengapa tergesa-gesa?" "Saya masih membutuhkan hiburan. Sebagaimana diketahui, kehidupan di laut sangat menjemukan. Maka bila kita di darat, kita harus menggunakan kesempatan itu untuk mencari hiburan sebanyak-banyaknya." "Saya mengerti. Selamat malam dan bergembiralah, senor." "Selamat malam! Lekas diselesaikan soal pemakaman itu!" "Jangan khawatir!" Kedua orang itu berpisah. Don Fernando sedang berbaring karena lukanya sama sekali tidak menduga, bahwa pemakamannya sudah diatur dengan rapi. Pada hari itu Cortejo sedang mujur sekali, karena ia bertemu dengan Maria Hermoyes, ketika ia masuk ke istana. Maria sedang membawa sebuah gelas penuh berisi air minum sejuk dari sumur. "Bagaimana keadaan Don Fernando?" tanya Cortejo. "Sudah agak baik," jawab Maria. "Demamnya sudah berkurang?" "Tidak, tetapi ia sangat haus. Hampir setiap seperempat jam saya harus pergi ke sumur mengambil air minum." "Dokter sudah tiba?" "Sudah dua kali. Kata dokter, luka itu tidak berapa berat. Maka kita tidak perlu khawatir, asal tidak terjadi hal-hal yang tidak terduga." "Mudah-mudahan pangeran akan lekas sembuh. Di daerah tropis kita harus hati-hati benar. Luka kecil kadang-kadang dapat membawa bencana." "Benar juga, senor. Tetapi maaf, saya masih banyak pekerjaan. Selamat malam!" "Selamat malam!" Mereka sampai dekat pintu kamar Maria. Wanita tua itu mungkin hendak mengambil sesuatu dalam kamarnya. Maka diletakkan gelas berisi air itu di atas meja. Kemudian ia masuk ke dalam kamarnya. Cortejo langsung berdiri di dekat gelas itu. Ramuan disimpan dalam sakunya. Dalam sekejap mata ketika dilihatnya, bahwa ia seorang diri, secepat kilat dikeluarkannya bungkusan dari dalam saku dan dengan tangan gemetar dicurahkannya ramuan ke dalam gelas. Setelah itu, cepat-cepat ia pergi. Josefa Cortejo masih belum tidur. Ia menanti ayahnya. Dengan gembira Cortejo bercerita kepada anaknya, bahwa rencana jahatnya sudah berhasil. Gadis itu mendengar dengan penuh perhatian. Kemudian ia melompat kegirangan. "Untung benar!" katanya. "Horee, kita menang! Kini enyah segala keraguan. Kini sudah pasti aku akan menjadi puteri, isteri pangeran. Bilamana Alfonso dapat tiba di sini? Aku tak sabar menantikannya." "Beberapa hari lagi. Tapi bila ia sungguh-sungguh berusaha, besok sampai di sini." "Aduh! Aku tidak akan dapat tidur memikirkannya." "Lebih baik kau sekarang pergi ke kamar tidurmu juga. Setiap saat dapat terjadi sesuatu dengan pangeran dan orang akan membangunkan setiap orang yang bertempat tinggal di sekitarnya. Setiap orang masih akan berpakaian tidur, sedangkan kau seorang diri berpakaian lengkap. Mereka akan menaruh curiga. Kita harus berhati-hati. Soal kecil pun tidak boleh kita abaikan." "Ayah benar juga. Sekarang coba bayangkan, Andaikata tubuh pangeran menjadi kaku. Apakah dalam hal itu ayah akan mengizinkan Maria tinggal di dalam kamar si sakit berdua dengan si sakit?" "Tentu saja tidak." "Memang harus demikian pendirian ayah. Ada lagi hal lain. Mungkin ayah belum mengetahui bahwa rupanya pangeran sudah menulis surat wasiat baru." "Caramba-celaka!" maki Cortejo terkejut. "Itu dugaanku. Bukan suatu kebiasaan orang hendak berduel, membereskan berbagai hal lebih dahulu?" "Benar. Dan Don Fernando sudah tentu mengadakan persiapan seperlunya." "Arnoldo, abdinya, telah melihat pangeran terus-menerus menulis surat." "Tapi itu masih belum merupakan bukti, bahwa ia menulis surat wasiat baru." "Masih ada alasan lain. Mengapa surat itu harus dirahasiakan benar olehnya? Mengapa tidak disimpan dalam laci meja tulis saja, tempat ia biasa menyimpan surat-suratnya?" "Lalu di mana disimpannya surat itu?" "Diberikannya kepada Maria Hermoyes." "Bedebah!" seru Cortejo terkejut. "Kau tahu pasti?" "Pasti. Wanita itu ke luar dari kamar pangeran membawa amplop besar ditutup oleh lima buah meterai dan ketika ia menghadap pangeran setelah selesai duel itu, ia membawa lagi amplop itu." "Kau dengar dari siapa?" "Dari abdi pribadinya." "Perbedaannya memang nyata benar, perlakuan terhadap diriku dengan diri wanita itu. Penuh curiga terhadap diriku sedangkan penuh kepercayaan terhadap dirinya. Sudah pasti ia mengubah surat wasiatnya. Tetapi apakah kiranya yang diubah itu? Ahli warisnya hanya Alfonso, bukan?" "Ayah khilaf." kata Josefa. "Don Fernando kecewa terhadap Alfonso. Ia dapat menggugurkan haknya sebagai ahli waris, karena Alfonso hanya seorang keponakan saja. Lain halnya dengan harta benda Don Manuel di Spanyol. Di situ Alfonso kedudukannya lebih kuat. Haknya sebagai ahli waris di sana tidak dapat digugurkan begitu saja." "Kau benar. Namun aneh juga, mengapa Don Fernando menaruh kepercayaan begitu besar kepada pengasuh itu." "Wanita itulah, yang mengantar Alfonso kemari. Mungkin juga ia sudah menaruh curiga." "Apakah kecurigaannya disampaikan juga kepada Pangeran?" "Kita harus menyingkirkan dia, ayah! Di manakah kiranya pangeran menyimpan surat itu?" "Pasti di laci tengah meja tulisnya, tempat menyimpan surat-surat pentingnya." "Kalau begitu, tindakan kita pertama-tama setelah ramuan mulai bekerja, membuka laci itu." "Akan kuusahakan. Sekarang mari kita pergi dari sini!" Cortejo pergi ke kamar tidurnya. Demikian juga anaknya, namun ia tidak dapat tidur, seperti juga dikatakan sebelumnya. Ia membayangkan kehidupannya yang gilang gemilang kemudian hari. Bahwa kehidupan cemerlang seperti itu hanya dapat diperoleh dengan perbuatan-perbuatan jahat dan keji, sekali-kali tidak menjadi pertimbangan baginya. Beberapa jam telah lalu. Cortejo sedang tidur nyenyak, ketika pintu kamarnya diketuk-ketuk. Ia bangun dan bertanya, siapakah orang itu. "Saya Arnoldo," jawab abdi pangeran. "Lekaslah buka pintu, senor! Ada sesuatu terjadi dengan Don Fernando!" "Aku datang segera." Cortejo melompat dari tempat tidurnya, mengenakan baju, lalu cepat-cepat menyalakan lampu. Kemudian ia membuka pintu dan abdi itu masuk ke dalam. "Apa yang terjadi dengan pangeran?" tanya sekretaris. "Entahlah. Hari ini saya bertugas jaga. Saya duduk di ruang depan sedang mengantuk. Tiba-tiba saya mendengar pekik keras dari dalam. Saya bertanya apa yang terjadi, tetapi tidak mendapat jawaban. Maria, wanita tua itu meratap dan menangis, tetapi ia tidak mau membuka pintu. Lalu saya datang ke sini memberitahu Anda, senor." "Tindakanmu itu tepat benar. Kita harus segera menyelidiki perkara itu." Cortejo ikut abdi itu ke kamar pangeran. Di situ mereka mendengar ratap tangis pengasuh. Mereka mengetuk pintu, tetapi tidak ada jawaban. "Buka pintu!" perintah Cortejo, lalu diterjangnya pintu. Wanita yang sedang bingung itu terkejut dan membuka pintu. "Apa yang terjadi?" tanya sekretaris. "Tuanku yang begitu baik.... sudah mati... mati!" ratapnya. Cortejo mendekati pangeran di tempat tidurnya dan mengamatinya. Don Fernando sedang berbaring; mukanya pucat dan berkerut-kerut seperti mayat. "Bilamana terjadi?" tanya Cortejo kepada pengasuh. "Saya tak mengetahui," jawab wanita itu. "Engkau harus mengetahui, karena engkaulah yang merawatnya!" "Saya tertidur dan ketika saya bangun, Don Fernando sudah meninggal. Lalu saya menangis, lama, lama sekali." "Engkau harus bertanggung jawab tentang kematian pangeran," hardik Cortejo. "Mengapa tidak cepat kau buka pintu, ketika Arnoldo mengetuknya? Sekiranya kau biarkan dia masuk, mungkin jiwa si sakit masih dapat di tolong!" "Tidak. Pangeran sudah mati ketika itu," jawab wanita itu membela diri. Cortejo langsung melihat ke arah laci tengah meja tulis, ketika ia masuk kamar itu. Untung baginya, anak kunci masih melekat di mulut kunci laci itu. "Sekarang harus dibangunkan semua orang dan cepat memanggil dokter! Lekas pergi!" perintah Cortejo. Mendengar perintah abdi Arnoldo cepat pergi dan Maria pun meninggalkan kamar itu dengan meremas-remas tangannya. Kini Cortejo langsung pergi ke meja tulis, membuka laci, mengambil amplop, dimasukkannya ke dalam saku, lalu menutup laci itu kembali. Kemudian ia bergegas keluar dari kamar itu. Kejadian ini berlangsung cepat, sehingga pengasuh ketika akan ke luar dari kamar dipegang tangannya oleh Cortejo. "Tunggu dahulu, Maria!" katanya. "Don Fernando menaruh kepercayaan penuh kepadamu, bukan?" "Memang demikian," jawab wanita itu tersedu-sedu. "Baik. Engkau harus menunggu tuanmu sampai orang-orang dari kepolisian datang. Engkau harus juga menjaga, supayajangan ada yang hilang, dibawa orang! Kini masuklah lagi ke dalam kamar! Aku yang membangunkan orang-orang!" Itu sesuai kehendak wanita tua itu. Ia kembali ke kamar pangeran dan mulai lagi ratap tangisnya. Penghuni istana terbangun dari tidur nyenyak, dibangunkan oleh suara Cortejo yang memanggil mereka. Mereka berlarian menuju ke kamar pangeran untuk menyaksikan kematian tuannya. Kemudian terdengarlah ratap tangis mereka, yang tidak berhenti sebelum dokter tiba. Dokter itu sangat terkejut, karena kejadian ini sama sekali tidak diduganya. Tindakan pertama ialah menyuruh ke luar semua orang yang mengerumuni mayat. Hanya Cortejo, abdi pangeran dan wanita pengasuh dibolehkan tetap di situ. Kemudian ia memeriksa mayat itu. Sambil menggelengkan kepala ia berkata, "Korban tetanus. Masih terasa panas. Kita harus menunggu sebentar." Cortejo merasa khawatir, kalau-kalau dokter hendak membedah urat darah tubuh itu, tetapi hal itu tidak dilakukannya. Dokter hanya mengatakan, bahwa ia akan menunggui mayat hingga pagi hari. Maka Cortejo dan abdi pangeran meninggalkan kamar itu. Hanya wanita pengasuh tinggal bersama dokter. Setelah Cortejo kembali lagi di kamar dijumpainya Josefa, anaknya sedang menanti. Josefa dengan berbaju tidur, seperti juga penghuni istana lain, telah berlari bersama mereka ke kamar pangeran. Tetapi sekarang ia sudah berganti pakaian. "Surat wasiat itu sudah di tangan ayah?" tanya Josefa. "Benar. Aku menemukannya di dalam laci tengah meja tulis. Masih belum ada alamatnya. Coba kita lihat!" Cortejo membuka materainya, mengambil suratnya dari dalam amplop dan membacanya. Ia sangat terkejut. "Apa isinya?" tanya Josefa cemas. "Inilah, baca sendiri!" jawabnya, setelah selesai membaca. Josefa terkejut, ketika ia membaca surat itu. "Sudah kuduga!" serunya. "Haknya sebagai ahli waris sudah digugurkan!" "Kita tidak akan menerima uang sesen pun!" "Sebaliknya Maria akan menerima sejumlah harta sangat besar," kata gadis itu marah-marah. "Dan pada kita akan diadakan penelitian pula. Akan diselidiki, apakah Alfonso itu benar-benar putera pangeran Rodriganda yang asli." "Untunglah surat terkutuk itu sudah di tangan kita." "Bakar saja!" "Ketika ayah mengambil surat itu, ayah mengetahui pasti, tidak ada orang yang melihatnya? Maria pun tidak?" "Jangan khawatir! Cepat sekali kulakukan pekerjaan itu sehingga wanita itu pun menyangka, bahwa aku meninggalkan kamar tepat di belakangnya." "Kalau begitu, tidak terdapat alasan untuk merasa khawatir. Baik. Surat itu akan dibakar, maka habislah segala kesusahan kita. Hanya masih ada kesulitan, yaitu Alfonso." "Aku akan mewakilinya. Akulah, sebagai sekretaris pribadinya, menjadi orang kedua setelah pangeran meninggal." "Bagaimana dengan noda-noda mayat itu?" "Aku akan mencari kesempatan untuk membubuhkannya." "Mayat pangeran akan tetap dibiarkan dalam kamar?" "Tidak. Kamar itu akan ditutup oleh pengadilan, sementara menanti pengumuman isi surat wasiat." "Bilamana hal itu akan terjadi?" "Sesuai dengan undang-undang negara, hari ini juga. Pengumuman itu untuk mengetahui, siapakah menjadi ahli waris dan tuan rumah di sini." "Mayat itu akan dibawa ke mana?" "Ke tempat tidur agung di balai besar. Siapkan segala yang diperlukan untuk itu! Balai itu harus dibalut seluruhnya dengan kain hitam." "O, aku akan sibuk sekali!" "Aku pun demikian. Aku harus mengurus tentang peti mati dan lain-lain. Hari sudah hampir pagi. Aku harus segera mulai." "Dan kesibukanku dimulai dengan surat ini." Sambil mengatakan Josefa mengambil sampul berisi surat wasiat, lalu ia pergi ke arah perapian. Nyala api di dalamnya naik tinggi-tinggi. Beberapa jam kemudian Cortejo dipanggil dokter. "Anda sekretaris Don Fernando?" tanya dokter. "Andakah, yang dikuasai mengurus segala keperluannya?" "Benar." "Maka dapat saya sampaikan kepada Anda, bahwa pangeran benar-benar telah meninggal dunia." Cortejo pura-pura terkejut. "Bagaimana mungkin?" keluhnya. "Memang. Saya pun mula-mula menganggap tidak mungkin. Namun akhirnya terpaksa harus percaya juga." "Kata Anda pangeran meninggal karena penyakit tetanus?" "Benar. Iklim panas daerah selatan ini kadang-kadang sangat berbahaya. Luka kecil kadang-kadang dapat mendatangkan kematian." "Mengerikan benar! Dapatkah senor mengizinkan saya membawa jenazah dari sini? Setengah jam lagi akan tiba orang-orang dari pengadilan untuk mengurus soal warisan." "Siapakah ahli warisnya?" "Menurut perkiraan saya, mungkin Don Alfonso." "Anda hadir, ketika pangeran almarhum menulis surat wasiatnya?" "Ya, saya hadir." "Maka dapat saya pastikan, bahwa perkiraan Anda benar. Maukah Anda memperkenalkan diri saya kepada pangeran yang baru? Hingga kini saya selalu mendapat kepercayaan pangeran almarhum." "Baik! Akan saya usahakan dalam batas-batas kesanggupanku," jawab Cortejo. "Maka akan saya siapkan surat kematian untuk keperluan pemerintah. Namun saya perlu mengadakan pemeriksaan jenazah sekali lagi sebelum dimakamkan." "Bahkan itu merupakan permintaanku, senor." Dengan ini selesailah pembicaraan mengenai soal-soal utama. Jenazah almarhum belum dipindahkan, ketika orang-orang dari pengadilan tiba. Pengasuh itu harus pergi juga. Hanya Cortejo boleh hadir, karena ia mewakili pangeran semasa hidupnya. Don Fernando telah menyerahkan surat wasiatnya yang pertama kepada pemerintah dan surat ini dibuka. Ternyata, bahwa Alfonso adalah ahli waris tunggal. Selanjutnya tertera juga, bahwa dianjurkan kepada ahli waris, supaya sekretaris yang sekarang tetap dipertahankan dalam jabatannya. Lagi pula sekretaris itu mendapat bagian yang cukup besar dalam pembagian warisan. Semua abdi pun mendapat bagian, namun hal itu baru diumumkan setelah pemakaman. "Di manakah pangeran Alfonso sekarang?" tanya seorang penguasa, yang telah membuka surat wasiat itu. Orang itu adalah ketua pengadilan kota Meksiko. "Di sebuah hacienda yang jauh dan sunyi." "Bilamana ia kembali?" "Mungkin hari ini. Selambat-lambatnya dua tiga hari lagi." "Langsung saya diberitahu, bila ia tiba, senor Cortejo! Saya akan mengunjunginya dan mengadakan pembicaraan dengannya. Sekali ini saya memberi izin kepada Anda untuk mengurus perkara pemakaman dan lain-lain. Surat-surat almarhum disimpan di mana?" "Di perpustakaan dan di sini." "Dan hartanya berupa uang, barang-barang perhiasan dan lain-lain?" "Dalam meja tulis ini." "Kalau begitu, saya terpaksa menyegel seluruh tempat kediaman Don Fernando. Anda bertanggung jawab, bahwa segel-segel itu tidak dirusak." Cortejo mengangguk, lalu menjawab, "Saya mohon mendapat sejumlah uang sebelumnya, guna pembiayaan pemakaman. Kemudian jumlah itu akan saya perhitungkan." "Baik! Anda akan memperolehnya." Dengan demikian segalanya sudah diatur dan kamar-kamar pangeran disegel, setelah jenazahnya dipindahkan ke balai besar. BAB VIII AHLI WARIS GADUNGAN Berita wafatnya pangeran Fernando yang dicintai masyarakat itu segera tersiar ke mana-mana. Diceriterakan orang, bahwa pangeran terluka dalam perkelahian dan setiap keluarga terkemuka mengirim kartu pernyataan bela sungkawa. Sore itu Cortejo menunggu jenazah pangeran dan ia menggunakan kesempatan untuk membubuhkan noda-noda pada jenazah. Sangat berhasil pekerjaan itu, sehingga seorang ahli pun tidak akan dapat membedakan dengan noda-noda asli. Ketika keesokan harinya dokter memeriksa jenazah untuk kedua kalinya dan melihat noda-noda itu, langsung ia memberi izin untuk memakamkannya. Tetapi pada hari itu terjadi suatu kejadian lagi. Sore hari ketika Cortejo sedang menulis surat, ia mendengar seorang datang naik kuda dan menghentikan kuda dekat pintu gerbang. Hal itu tidak dihiraukan. Tidak lama kemudian ia mendengar orang berjalan menuju pintu kamarnya. Pintu itu terbuka. Cortejo melompat dari meja tulisnya. "Alfonso! Akhirnya kau datang juga. Sudah lama kuharapkan kedatanganmu!" "Aku pun ingin bertemu kembali dengan paman." "Kau sudah mengetahui, bahwa pangeran sudah meninggal?" "Sudah," kata Alfonso sambil tertawa. "Kau tertawa! Mengapa?" "Karena lucu. Paman pandai benar meramalkan. Paman menulis tentang kemungkinan pangeran Fernando akan meninggal. Sekarang baru aku sampai di sini-kudengar, ia sudah meninggal." "Tidakkah perlu kau tanyakan, siapa ahli warisnya?" "Bukankah sudah jelas, bahwa akulah ahli warisnya?" "Jangan terlalu takabur!" Alfonso terkejut mendengar ini. "Jadi mungkin bukan aku?" "Jangan khawatir," kata pamannya. "Memang kaulah ahli warisnya, akan tetapi hampir kau kehilangan hakmu, hendak diberikan kepada pangeran Manuel dari puri Rodriganda di negeri Spanyol, yang puteranya ditukarkan denganmu." "Persetan dengan dia! Mengapa sampai terjadi begitu?" "Engkau akan mendengar semua. Tetapi, caramba, alangkah kusut pakaianmu!" Alfonso melayangkan pandang kepada pakaian kusut masai yang dipakainya, lalu menerangkan, "Perjalananku melalui hutan rimba. Tetapi tidak apalah. Dalam sekejap mata aku dapat berganti pakaian." Sebuah pintu dibuka dan Josefa masuk. Setelah dilihatnya saudara sepupunya, hatinya girang bukan buatan. Direntangkannya tangannya seolah-olah hendak mendekap kekasihnya, "Alangkah rindu aku denganmu, Alfonso! Peluklah aku erat-erat, kekasihku!" Karena Alfonso tidak langsung menuruti kehendaknya, maka ia sendiri yang menghampirinya dan mendekapnya erat-erat serta menciumnya. Alfonso berusaha melepaskan diri dari dekapan. Karena tiada berhasil, maka ia marah. "Lepaskan aku!" perintahnya. "Aku tidak membutuhkan sandiwara seperti ini. Alangkah ceroboh kamu, memanggilku saudara sepupu! Apa yang akan terjadi, kalau seseorang mendengar ucapan itu! Rahasia kita akan terbuka!" "Jangan marah kekasihku! Aku terdorong oleh rindu dan kasihku kepadamu!" "Ya, tetapi perlukah menggigit bibirku keras-keras dengan gigimu yang tinggal satu?" Sindiran tajam itu menolong. Dalam mata gadis yang menyerupai mata burung hantu itu mulai menyala api kemarahan, lalu ia berkata dengan membuang muka, "Kau akan menyesal kemudian! Akan tiba waktunya, kau menyembah-nyembah padaku, minta maaf untuk penghinaan itu!" "Kurasa sekarang belum perlu!" ejek Alfonso. "Suatu waktu!" "Tidak! Selama-lamanya juga tidak!" "Lihat saja! Orang tidak dapat menghinaku tanpa mendapat ganjaran!" "Ah, omong kosong semua! Di mana kau simpan kunci-kunci tempat kediamanku, Cortejo?" Sekretaris menyaksikan penyambutan ini dengan hati berdebar-debar. Kini ia menunjuk dengan muka muram ke papan hitam, yang tergantung pada dinding, tempat menggantungkan berbagai kunci. "Itulah kunci-kuncinya!" katanya dengan hati kesal. Alfonso kurang puas dengan pelayanan demikian. "Apa sebenarnya maksudmu?" tanya Alfonso. "Tidak apa-apa!" "Nah, kalau begitu tidakkah pada tempatnya, bila seorang sekretaris menyampaikan kunci yang diminta ke dalam tangan tuannya?" Wajah Cortejo bertambah muram, lalu jawabnya, "bukankah lebih sopan bagi seorang keponakan untuk mengambil sendiri kunci-kuncinya daripada menyuruh pamannya?" Alfonso tertawa. "Hentikan sajalah permainan sandiwara itu! Aku sekali-kali bukan orang yang senang diajak bermain sandiwara! Bahkan menontonnya pun aku tidak suka!" "Harus kau insyafi bahwa permainan sandiwara itu benar-benar perlu bagimu! Sampai sekarang kau hanya mendapat peranan sampingan tak berarti. Peranan ini mungkin diambil dari tanganmu, sehingga kau terpaksa meninggalkan pentas. Maka sebaiknya jangan banyak bicara; pergilah ke kamarmu untuk berganti pakaian! Kemudian kau kirim seorang abdi untuk memanggilku." Ini dikatakan dengan tegas dan berwibawa, sehingga Alfonso tidak berani menentangnya. Ia menurut dan pergi dari situ. Kini Cortejo menghadap kepada anak perempuannya, "Josefa, kita berbuat kesalahan besar, ketika kau bakar surat wasiat yang kedua itu. Sekarang sudah menjadi abu di dalam perapian." Mata gadis itu berseri-seri, namun ia menjawab dengan merengek-rengek, "Mengapa harus disebut kesalahan besar?" "Karena surat wasiat itu dapat kita pergunakan sebagai senjata terhadap tingkah Alfonso yang manja itu." "Kukira, kita sudah menguasainya!" Cortejo melanjutkan pekerjaannya dan Josefa pergi ke kamarnya. Ia membuka sebuah laci rahasia dalam lemarinya dan mengeluarkan beberapa lembar kertas dari dalam. Itulah surat wasiat yang ternyata masih utuh. "Untunglah kemarin saya tidak begitu bodoh membakar surat itu. Hanya amplopnya dimakan api. Suratnya dapat kugunakan untuk menjinakkan saudara sepupuku yang kucintai." Setelah pangeran gadungan itu berganti pakaian ia menyuruh seorang abdi memanggil sekretaris. Sekretaris itu datang segera, duduk seenaknya di atas kursi, lalu mulai bercakap. "Coba ceriterakan pengalamanmu, Alfonso! Nampaknya pahit juga pengalaman itu." "Benarlah, yang kualami kadang-kadang dapat menegakkan bulu roma. Tetapi kemudian saja paman akan mendengar tentang itu. Sekarang aku ingin mendengar lebih dahulu tentang apa yang telah terjadi di sini. Jadi mulai sajalah berceritera, paman!" Cortejo mengangguk. "Sudah kau terima suratku?" "Sudah." "Dan kedua utusan itu? Telah kau jumpai juga?" "Utusan mana?" "O, jadi tidak kau jumpai?" "Tidak. Aku terpaksa menempuh jalan lain." "Aku disuruh Don Fernando mengirim dua orang utusan untuk mencarimu." "Dua orang sekaligus? Tentu penting sekali. Berhubung dengan keadaan genting si sakit barangkali?" "Bukan! Berhubung dengan suatu perkelahian. Embarez telah menulis surat kepada pangeran dan mengancamnya akan mengumumkan dalam surat kabar, bila persoalan tidak dibereskan dalam tiga hari." "Kurang ajar! Pangeran tentu mengamuk ketika mendengar berita itu." "Tentu. Segera dia mengirim dua orang utusan untuk mengambilmu. Kemudian dia sendiri pergi ke rumah Embarez untuk...." "Untuk minta duel ditunda?" "Sekali-kali tidak!" jawab Cortejo. "Don Fernando ialah seorang ksatria dan menjunjung tinggi nama baik keluarga. Maka dari itu ia pergi ke rumah Embarez untuk menggantikanmu dalam perkelahian itu." "Caramba. Tidak dapat diharapkan kesudahan yang lebih baik. Karena kalau aku tidak salah, Don Fernando telah membiarkan dirinya ditikam mati oleh lawannya sebagai ganti aku." "Memang demikian pendapat umum, bahwa kematiannya disebabkan oleh duel itu." "Jadi sebenarnya disebabkan oleh hal lain? Aku jadi ingin mengetahui, apa sebab kematian yang sesungguhnya?" Cortejo mengeluarkan surat saudaranya dari dalam saku dan memperlihatkan kepada keponakannya. "Bacasendiri!" katanya. Alfonso membaca surat itu cepat-cepat, lalu bertanya, "Jadi surat ini menganjurkan membunuh pangeran dan telah dipenuhi." "Ya, namun ia tidak mati. Ia masih hidup!" Alfonso sangat terkejut. "Apa? Masih hidup? Paman sudah gila barangkali!" "Belum, nak. Aku masih belum gila!" "Bukankah bodoh sekali membiarkan dia hidup." "Sudah diusahakan, supaya ia tidak merugikan kita. Pangeran Fernando dibuat mati semu." Alfonso terkejut. "Mati semu! Astaghfirullah! Bukan main!" "Tubuhnya menjadi kaku." "Tetapi, apakah yang diperbuat paman, sehingga demikian keadaannya?" "Telah kumasukkan racun ke dalam minumannya, mengakibatkan tubuh menjadi kaku. Kekakuan itu berlangsung seminggu lamanya, kemudian ia bangun kembali." "Dan apa yang terjadi setelah itu?" "Bila ia terbangun sudah di dalam kapal Henrico Landola." "Dan nakhoda itu akan menyingkirkannya?" "Benar. Aku akan membawanya, diikat dalam sebuah keranjang ke pantai laut." "Itu pekerjaan sulit. Pantai laut penuh dengan perampok-perampok dan penjahat-penjahat." "Memang aku harus mendapat pengawalan, tetapi orang-orang itu tidak boleh mengetahui keadaan sebenarnya. Sulit benar mendapatkan orang-orang yang dapat dipercaya." Alfonso menjawab cepat-cepat. "Aku dapat menolong paman." "Kau?" tanya Cortejo terheran-heran. "Kau kenal orang-orang pemberani, tidak suka bicara dan tidak senang mencampuri urusan orang lain?" "Benar, aku mengenal orang-orang yang benar-benar memiliki sifat-sifat demikian. Mereka orang-orangku, yang mengawal aku dari hacienda ke sini." "O, orang-orang vaquero? Mereka kurang sesuai." "Bukan vaquero, melainkan orang Indian." "Itu lebih baik. Mereka beragama Kristen?" "Bukan, mereka tidak beragama." "Jadi Indios bravos! Masuk suku mana?" "Masuk suku Comanche." "Suku Comanche?" tanya sekretaris terkejut. "Kau sedang bergurau!" "Tidak. Aku sungguh-sungguh." "Tetapi kaum Comanche itu biadab sekali. Mereka tidak tinggal di Meksiko, melainkan di daerah seberang. Mereka datang ke mari hanya untuk membunuh dan merampok. Aku belum pernah melihat salah seorang di antara mereka." "Aku pun baru mengenal mereka. Sungguh pun mereka jauh lebih berbahaya daripada orang Indian liar di sini, namun mereka berkawan denganku dan setia pula padaku." "Kawan-kawanmu? Dan mereka mengawalmu ke mari?" "Benar. Mereka bersembunyi di pegunungan. Aku telah mengalami peristiwa-peristiwa yang mengerikan. Perlu juga paman mendengar ceriteraku itu." Alfonso mulai berceritera tentang pengalamannya di hacienda. Ia berceritera tentang kaum Comanche, tentang gua raja-raja dengan harta karunnya, tentang perkelahiannya, tentang saat-saat mencekam, ketika ia digantung di atas kolam buaya dan tentang pelariannya. Cortejo mendengar dengan mulut ternganga sampai Alfonso selesai berbicara. Kemudian ia berseru, "Masya Allah! Ceriteramu itu hampir tidak dapat dipercaya! Jadi benarkah ada harta karun itu? Kau lihat dengan mata kepalamu sendiri? Dan harta itu kemudian hilang?" "Hilang lenyap entah ke mana! Hanya Kepala Banteng, si bedebah itu, bersama kaum Mixtecanya mungkin mengetahuinya." "Tapi kita harus berusaha mencari lagi, meskipun harus bertahun-tahun lamanya!" seru Cortejo dengan semangat menyala-nyala. "Aku pun akan mencari, karena aku sudah menjadi pemilik hacienda itu. Aku akan mengerahkan sepasukan prajurit dalam usaha itu." "Prajurit-prajurit itu akan kau peroleh dengan mudah. Kau akan mendapat prajurit-prajurit itu, karena perintah pangeran Rodriganda harus dilaksanakan." "Maka aku pun hendak membalas dendam kepada mereka yang telah berani menentangku pada masa yang lampau." "Jadi orang-orang Comanche-mu dapat mengawal aku ke Vera Cruz?" "Ya. Aku telah berjanji bertemu dengan mereka nanti malam. Aku harus memberikan hadiah-hadiah kepada mereka." "Aku ikut." "Maka paman harus menyediakan segala barang yang telah kujanjikan kepada mereka! Aku akan menuliskannya ke atas kertas. Tetapi-bagaimana tentang warisan itu?" "Kau adalah ahli waris tunggal." "Surat wasiat sudah dibuka?" "Sudah. Aku harus memberi kabar pada ketua pengadilan. Ia berjanji akan datang untuk mengurus soal warisan, bila kau sudah tiba." "Maka segera kirimlah seorang utusan kepadanya!" "Warisan itu nyaris luput dari tangan kita. Don Fernando telah menulis surat wasiat baru!" "Persetan dengan dia! Coba ceriterakan, apa sebab." Cortejo berceritera. Setelah selesai berceritera, Alfonso berkata, "Pengasuh itu harus dipecat!" "Itu perbuatan bodoh! Karena perbuatan itu, pengasuh akan menyebarkan ceritera ke mana-mana. Kita harus menyumbat mulutnya dengan bermacam-macam hadiah, atau kita harus menyingkirkannya." "Masa wanita seperti itu harus diberi hadiah lagi!" "Maka kita pilih cara kedua. Tetapi sekarang harus kuperingatkan kepadamu tentang kewajiban yang luhur." "Apa maksud paman?" "Terlalu kau! Masa kau tidak mengetahui kewajibanmu sebagai keponakan dari pangeran yang baru wafat? Apa yang akan dikatakan oleh abdi-abdinya, bila mereka melihat, bahwa kau acuh tak acuh terhadap kematiannya?" "Benar juga! Sepatutnya aku pergi melihat jenazah dan berusaha menangis sedikit!" "Tentu!" "Bersujud dan berdoa di hadapan peti mati serta memperlihatkan wajah sedih." "Seperti lazimnya dalam berduka cita." "Baik. Akan kukerjakan semua, meskipun sangat bertentangan dengan seleraku. Timbul perkara lain, yang ingin kubicarakan dengan paman. Ini bertalian dengan Josefa." "Ya, katakan saja!" kata Cortejo penuh pengharapan. "Aku kurang setuju dengan kelakuan Josefa yang dibuat-buat, waktu hendak menyambut kedatanganku." "Mengapa dibuat-buat? Kurasa wajar juga. Mengapa anakku tidak boleh bergembira, melihat saudara sepupunya pulang dari perjalanan jauh?" "Tetapi itu bukan cara lazim menyambut seorang saudara sepupu. Kurasa ia jatuh cinta kepadaku." "Memang, tampaknya demikian," kata Cortejo dingin. "Eh! Dan paman tidak melarangnya?" "Sayang tak dapat. Tak dapat aku melarang seseorang jatuh cinta. Cinta itu susah diatur." "Tetapi paman tentu menginsyafi, bahwa Josefa sama sekali bukanlah pasangan baik bagiku?" "Tidak. Itu tidak kuinsyafi." "Jadi.... paman mungkin berpendapat, bahwa aku dan Josefa dapat menjadi pasangan yang ideal?" "Mengapa tidak? Mungkin saja!" "Tetapi bagiku itu tak mungkin!" seru Alfonso dengan berang, "karena dia hanya keturunan orang biasa saja!" "Dan kau sendiri? Bukankah setali tiga uang?" jawab Cortejo tajam. "Dahulu! Tetapi sekarang keadaan sudah berubah. Aku sudah menjadi pangeran Rodriganda." "Josefa pun dapat memperoleh gelar puteri Rodriganda, setelah berlangsung pernikahannya dengan pangeran Rodriganda. Kalian sudah cocok satu sama lain dan mungkin sudah jodoh. Maka dia jangan disia-siakan." "Ia lebih tua daripadaku, lagi pula jangankan cantik, sedikit menarik pun tidak." "Malah lebih baik mempunyai seorang istri yang kurang cantik. Istri cantik banyak godaan. Istri kurang cantik lebih setia. Kehidupan bersuami-istri akan lebih terjamin tenteram dan bahagia." "Persetan dengan kalian berdua!" kata Alfonso dengan menghentakkan kaki. "Kalau kami dijemput setan, kau pun akan turut dijemput," jawab Cortejo dengan tenang. "Kita ini sudah sehidup semati. Bertiga kita melakukan kejahatan demi kejahatan dan nasib kita sudah ditempa menjadi satu oleh perbuatan haram itu. Maka baik kau camkan, Alfonso, selama hidupmu kau tidak akan dapat melepaskan diri dari ikatan dengan kami!" "Dan bila aku memberontak, melepaskan diri juga?" "Maka celakalah akibatnya." "Tapi kau akan turut terkena." "Tidak usah! Itu hanya tergantung pada cara kita menanganinya. Bila kau ingat baik-baik, kau dalam kekuasaan kami sepenuhnya. Apa yang kau capai adalah berkat kami. Mati hidupmu di tangan kami. Cukuplah sudah pertikaian ini. Pergilah sekarang ke balai menengok jenazah dan berusahalah memainkan peran sebaik-baiknya." Dengan demikian tukar-menukar pikiran mengenai Josefa selesai. Kini Alfonso maklum, apa yang diharapkan mereka daripadanya. Dia harus mengambil keputusan: menerima atau menolak. Di hadapan jenazah pangeran ia pandai bermain sandiwara sebagai orang yang sangat berduka cita. Air matanya bercucuran, sehingga para abdi merasa kasihan kepadanya. Tapi tidak lama kemudian datanglah beberapa orang hendak melawat. Menurut adat kebiasaan di Meksiko dalam upacara semacam ini setiap orang boleh datang melawat. Maka banyaklah orang menggunakan kesempatan ini, kaya atau miskin, menyaksikan kecemerlangan upacara. Cortejo pun hadir di balai yang kini penuh sesak dengan pengunjung. Ia hendak membereskan letak sesuatu. Tiba-tiba ia sangat terkejut melihat seorang Indian menghampirinya. Indian itu berhidung bengkok tajam dan memakai kacamata tanduk yang besar. Orang itu Basilio, dukun ramu dari Santa Anita. Ketika dilihatnya Cortejo, ia pergi menghampirinya. "Nah," katanya tersenyum, "sudah terbukti aku tidak bohong, bukan senor?" Sekretaris menariknya ke sebuah ruang kosong. "Sial benar Anda," katanya, "apa yang Anda kehendaki di sini?" "Ah, bukan suatu apa. Saya suka melihat mayat," kata orang Indian itu tenang. "Dari mana Anda mengetahui tempat ini?" "Hm, saya mengenal Anda sudah lama. Saya dapat menduga, kepada siapa racun itu hendak diberikan, lalu saya datang ke mari untuk menyaksikan bagaimana obat itu bekerja." "Lalu bagaimana pendapat Anda?" "Baik sekali." "Bilamana ia bangun kembali?" "Kira-kira seminggu lagi. Akan tetapi sekarang pun ia sudah sadar sepenuhnya." "Astaghfirullah! Jadi ia dapat mendengar, suara di sekelilingnya?" "Ya. Bahkan ia dapat melihat dengan mata sebelah, yang kurang cermat dikatupkan." "Tetapi itu berbahaya sekali." "Itu urusan Anda sendiri. Saya tidak mencampuri urusan Anda, senor, tetapi bila untung Anda sedang baik, saya harap, Anda jangan lupa pada orang miskin seperti saya." Ucapan itu diiringi kejapan mata yang bermakna tidak dapat ditafsirkan salah. Kemudian ia keluar pintu. Cortejo mengikuti di belakangnya. Di luar ia menjumpai Alfonso. "Siapakah orang itu?" tanya Alfonso, setelah dilihatnya tidak seorang pun mendengar perkataannya. "Paman tadi mengadakan pembicaraan sesuatu dengannya?" "Caramba, alangkah terkejut aku!" jawab Cortejo. "Ia Basilio." "Basilio? Basilio yang mana?" Sekretaris masih bingung. Ia melihat sekitarnya, lalu berbisik, "Dukun ramu." "Ascuas! Yang telah memberi racun itu? Telah paman beritahu siapakah sebenarnya paman?" "Tidak. Tetapi ia telah mengenalku." "Dapatkah ia menduga, kepada siapa racun itu diberikan?" "Bahkan dia mengetahui dengan pasti sekarang." "Itu berbahaya. Dapatkah ia menyimpan rahasia?" "Orang demikian tidak dapat diharapkan pandai menyimpan rahasia." "Ia akan melekat pada kita sebagai seekor lintah." "Akan kulemparkan dia dari tubuhku." "Setelah dilepas harus diinjak pula hingga mati." "Lagi pula telah kudengar sesuatu daripadanya, yang membuat hatiku cemas. Ternyata pangeran berbaring dalam keadaan sadar." "Itu tak mungkin." "Ia mendengar dan melihat semuanya." "Celaka!" seru Alfonso. Tetapi tiba-tiba nampak senyum mengejek pada bibirnya. Lalu ia berkata, "Sebenarnya ingin juga kuketahui apa yang dipikirkannya, ketika ia mendengar ratap tangisku." Seorang abdi berlari-lari menghampiri mereka dan memberitahu, bahwa ketua pengadilan ingin berbicara dengan pangeran. Alfonso menerima pejabat itu di tempat kediamannya, didampingi Cortejo. Perkara warisan diselesaikan dengan cara yang sangat memuaskan. Kini Alfonso tiba-tiba berubah menjadi seorang jutawan. Pada malam hari, ketika semua orang sudah tidur dan hanya wanita-wanita penunggu jenazah masih berjaga, sebuah pintu belakang istana dibuka dan tiga ekor kuda dibawa keluar. Dua ekor diberi berpelana, sedangkan yang ketiga dibebani dengan beberapa pucuk senjata dan barang-barang lain. Alfonso dan Cortejo naik kuda, lalu pergi menempuh jalan-jalan gelap dan sunyi di kota. Mereka menuju pegunungan di sebelah utara dan setelah lebih dari sejam berkendaraan kuda, mereka tiba di suatu lembah sempit dan sunyi. Di tempat itu menyala seunggun api kecil. Orang-orang Comanche mula-mula bersembunyi, ketika mereka tiba. Setelah orang-orang Indian itu mengetahui siapa yang datang, mereka keluar dari tempat persembunyiannya. "Saudara kulit putih telah menepati janji," kata pemimpinnya. "Apa yang kujanjikan tentu kutepati," jawab Alfonso bangga. "Siapa orang kulit putih itu?" "Temanku." "Biar dia mengisap pipa perdamaian bersama kami." "Tak dapatkah upacara itu ditiadakan? Kita tidak mempunyai waktu." "Untuk pipa perdamaian selalu tersedia waktu. Siapa tidak bersedia mengisapnya bersama kami, adalah musuh kami. Dan perbuatan manusia harus disesuaikan dengan tuntutan roh." Tak ada lagi pilihan lain bagi kedua orang itu kecuali mengikuti adat kebiasaan orang Indian. Maka mereka duduk, menyalakan pipa dan mengisapnya bergiliran. Baru setelah itu pemimpin mulai berkata, "Kedua saudara kami ini sudah membawa barang-barang seperlunya bagi kami? Bedil, pisau, peluru dan mesiu?" "Ya, semuanya itu, ditambah dengan mutiara dan barang perhiasan untuk squaw kalian." " Cukupkah j umlah itu?" "Cukup, sesuai dengan janjiku." "Kami hendak membongkar muatannya. Masih ada lagi sesuatu yang ingin saudara bicarakan?" "Maukah saudara-saudara kulit merah sebelum kembali ke kampung, mendapat lebih banyak pucuk senjata dan barang perhiasan lagi?" "Apa yang harus kami kerjakan untuk memperoleh itu?" "Melindungi orang yang baru mengisap pipa perdamaian dengan kalian." "Apakah bahaya mengancamnya, sehingga ia memerlukan bantuan dari saudaranya kulit merah?" "Bukan begitu. Ia hendak bepergian dari gunung ke laut...." "Tempat air besar itu?" "Benar. Perjalanan menuju ke situ penuh dengan bahaya, yang datang dari kaum penjahat. Maka saudara-saudara diperlukan untuk melindunginya." "Berapa hari perjalanan ke air besar tempat berlayar sampan-sampan besar itu?" "Lima hari." "Bolehkah kami memperoleh tambahan lagi dua bilah pisau dan dua buah cermin, yang dapat membayangkan muka kami?" "Boleh." "Sebuah pipa untuk mengisap tembakau dan sebungkus tembakau, sebesar kepala orang?" "Itu pun boleh." "Kami akan mengawal saudara kami kulit putih ke air besar. Bilamana ia hendak berangkat?" "Dua tiga hari lagi." "Haruskah kami menanti di sini? Kami perlu mendapat beberapa keping perak, yang disebut orang kulit putih uang, untuk membeli keperluan kami, makanan-makanan di rumah orang kulit putih." "Itu pun dapat dipenuhi. Inilah uang sepuluh peso." "Dapatkah uang itu dibelikan makanan, cukup untuk enam orang?" "Dapat." "Maka semua beres. Howgh!" Orang-orang Comanche itu mendapat uang dan segala barang yang diangkut oleh kuda beban itu. Mereka sangat bergembira, apa lagi setelah mendapat sekotak cerutu dengan cuma-cuma. Setelah itu paman dan keponakan kembali ke arah kota. Setelah sampai di istana, mereka hendak tidur melepaskan lelah. Cortejo melihat lagi ke balai, tempat jenazah itu dibaringkan. Wanita pengasuh sedang duduk juga di situ bersama-sama wanita-wanita penunggu jenazah. Ketika dilihat pengasuh Cortejo, bangkitlah ia, lalu menghampirinya. "Maafkan saya, senor! Sebenarnya kurang tepat saatnya, tetapi bolehkah saya mengajukan pertanyaan? Surat wasiat sudah dibuka kemarin, segera setelah wafatnya pangeran. Apakah ini surat wasiat yang disimpan dalam laci tengah meja tulis?" "Ya, tentunya surat itu juga. Ketua pengadilan telah menerimanya lalu menyegelnya." "Saya mendengar, bahwa Don Alfonso menjadi ahli waris yang terutama dan bahwa sejumlah orang telah mendapat hadiah. Apakah saya juga mendapat sesuatu?" "Ya. Engkau mendapat seribu peso dan jaminan makan cuma-cuma selama hidupmu." Wanita itu sangat terkejut. "Hal itu disebut dalam surat wasiat itu? Kalau begitu, surat wasiat itu bukan yang resmi." "Apa alasanmu berpendapat demikian?" "Karena Don Fernando telah menjanjikan kepada saya hal lain dan hal itu pun tertera dalam surat wasiat itu. Saya diberi janji, boleh kembali ke kampung halaman di Spanyol dan akan mendapat sejumlah uang cukup besar untuk dapat dinikmati selama hidupku." "Bilamana surat wasiat baru itu ditulis?" "Pada malam sebelum perkelahian berlangsung. Ketika itu Yang Mulia menulis surat wasiat baru yang diberikannya kepadaku untuk disimpan. Sekembalinya dari perkelahian saya serahkan kembali surat itu." "Di mana kemudian surat itu disimpan?" "Dalam laci tengah meja tulis." "Kalau begitu, maka aku harus pergi menanyakan kepada ketua pengadilan, apakah ketentuan-ketentuan yang kau sebut tertera dalam surat wasiat." "Benar. Tanyakanlah padanya, senor Cortejo! Karena Yang Mulia sudah wafat, tidak ada alasan lagi bagiku untuk tinggal di sini." "Tetapi bagaimana, Andaikata ketentuan-ketentuan itu tidak tertulis dalam surat itu?" "Maka surat wasiat yang dibuka itu palsu." "Jadi ada dua helai surat? Dari mana dapat kau ketahui?" "Itu dikatakan oleh Don Fernando sendiri, ketika ditulisnya surat wasiat baru itu." "Tetapi mengapa ia harus membuat dua surat wasiat?" "Tak dapat saya katakan. Saya harus berbicara dengan ketua pengadilan. Ia harus mencari surat wasiat yang baru itu." "Biar aku sendiri membicarakan dahulu dengannya, Maria! Engkau akan mendengar kemudian, apa yang dikatakannya." Cortejo pergi dengan memaki-maki dalam hati. Wanita ini masih dapat mendatangkan banyak kesusahan baginya. Keesokan hari jenazah pangeran Fernando de Rodriganda y Sevilla dikebumikan. Masyarakat dari seluruh kalangan atas hadir pada peristiwa besar itu. Jenazah Don Fernando disemayamkan di suatu ruangan di bawah tanah, khusus disediakan baginya. Pangeran Alfonso, meskipun diliputi dukacita, namun banyak orang iri hati kepadanya. Selesai upacara pemakaman sunyi senyap keadaan di istana. Alfonso duduk di atas divan melamun bagaimana cara menikmati kekayaan yang berlimpah-limpah itu sebaik-baiknya. Ketika itu pintu terbuka dan Josefa masuk ke dalam. Alfonso bangkit dari tempat duduk dengan sangat terkejut. Berani benar gadis ini, masuk ke dalam kamarnya, buka main! "Kau ke sini?" tanyanya. "Apa yang kau kehendaki?" "Bicara denganmu." "Apa yang akan dikatakan para abdi, bila mereka melihat kau diam-diam masuk ke dalam kamarku." "Bahwa kita ada hubungan kekeluargaan," kata gadis itu mengejek. "Apakah kamu.... sudah gila?" "Tenanglah! Tak perlu marah-marah! Kini orang belum mengetahui namun bila kau kurang hati-hati, kemungkinan orang-orang akan mendengarnya dari mulutku sendiri." "Kau sedang bergurau." "Sekali-kali tidak. Aku sungguh-sungguh, karena aku sedang marah!" "Marah? Kalau begitu, bolehkah saya minta penjelasan tuan puteri, kepada siapa marah dan apa sebab-sebab kemarahan itu?" Josefa memandangnya dengan berang. "Pertama karena kau tidak mempunyai rasa sopan santun dengan membiarkan aku berdiri." "O, maaf, silahkan duduk! Dan yang kedua?" "Kedua, karena kau telah menghina aku." "Menghina? Itu tuduhan berat. Sayang aku sendiri tidak dapat mengingat peristiwa itu." "Kau telah mengatakan aku telah tua dan bermuka buruk. Mengakulah! Jangan bohong!" "Ya, karena kenyataan memang demikian!" Jawaban pendek ini dikatakan dengan menahan tawa. Tetapi Josefa makin meluap-luap amarahnya. Mata burung hantunya menentang mata Alfonso seolah-olah hendak menusuk, menembus badannya. Ia berseru dengan berang, "Sekarang malah kau tambahkan sebuah penghinaan lagi!" "Apa maksud kau sebenarnya, Josefa. Mau menantang aku berkelahi?" tanya Alfonso sambil tertawa. "Cih! Apa guna menantang orang seperti kamu! Kau pasti akan lari, karena kau berjiwa pengecut. Lain dengan aku. Kau minta bukti, aku lebih berani?" "Silahkan!" "Baik, akan kutunjukkan. Namun aku masih ingin mencoba sekali lagi dengan jalan damai, bila masih mungkin ditempuh: Alfonso, keinginanku menjadi puteri Rodriganda bukan hanya untuk memperoleh warisan besar yang kelak akan menjadi bagianmu dan yang hanya kau peroleh berkat usaha dari ayah dan aku, tetapi masih ada satu sebab lagi, yaitu aku benar-benar cinta kepadamu." "Apa? Cinta?" katanya sambil tertawa terbahak-bahak. "Agak lucu juga. Boleh saja! Aku tiada keberatan dicintai." Ketika Josefa mengerti, curahan isi hatinya sudah menjadi bahan tertawaan, ia menggertakkan gigi menahan diri, jangan sampai menerkam orang yang menghinanya dan mengoyak mukanya dengan kukunya yang tajam itu. "Kau mengetahui, bahwa cinta jangan hanya datang dari sepihak. Maka kuharap kau mau membalas cintaku!" "Ah! Kau sudah gila barangkali!" "Alfonso!" kata Josefa dengan suara parau. "Tak dapatkah kau mencintaiku?" "Tidak, saudara sepupu. Kukira tidak seorang pun di dunia ini akan jatuh cinta kepadamu." Setiap kata yang diucapkan dirasa gadis itu sebagai tikaman ujung pedang yang tajam. "Baik, kalau kau tak bersedia mengerti juga!" katanya dengan hati kesal. "Sudah pernahkah mendengar, bahwa cinta dapat dipaksakan juga? Sungguh-sungguh dipaksakan?" "Ah, kau mengigau saja." "Bukanlah igauan, melainkan kenyataan. Aku akan membuktikannya!" "Aku ingin mengetahui." "Bila kau tidak bersedia menikah denganku, kau akan kehilangan mahkotamu sebagai pangeran." Alfonso menjadi agak cemas. Gadis semacam ini dapat berbuat apa pun, bila nekad. Maka ia menjawab, "Jangan begitu, Josefa! Kau mengetahui, cinta tidak dapat diatur sekehendak hati kita. Bukan salahku, bahwa aku tidak mencintaimu." "Namun kau dapat berusaha! Itu keinginanku!" serunya sambil menghentakkan kaki ke atas tanah. "Sabar, sabar dahulu!" kata Alfonso memperingatkan. "Aku sudah bersabar bertahun-tahun lamanya. Aku telah menyimpan rasa cinta di dalam dadaku, sampai akhirnya cinta itu memenuhi serta mengoyak-ngoyak seluruh hatiku. Yah, hari ini pun aku sudah bersabar, ketika kau melumuri aku dengan ejekan dan hinaan. Hingga kini aku masih berharap kepadamu. Aku akan merendah diri dan memohon kepadamu, berusahalah, mencintai aku!" Josefa menghampirinya dan berusaha memegang tangannya, tetapi Alfonso menjauhkan tangannya, lalu menjawab, "Hentikanlah permainan sandiwaramu dan lekaslah pergi ke kamarmu! Maafkan aku, karena tak dapat memenuhi keinginanmu!" "Baik," kata Josefa, "bila kau tak membantu, akan kuusahakan dengan tanganku sendiri. Ayah akan pergi ke Vera Cruz, bukan?" "Benar. Ia harus mengangkut mayat itu." "Bilamana ia kembali lagi?" "Kira-kira seminggu lagi." "Baik. Aku memberi waktu selama itu. Setelah ayahku kembali, akan kutanyakan sekali lagi kepadamu. Bila kau masih saja menolak...." "Aku akan menolaknya, meskipun kau beri waktu lima puluh tahun untuk berpikir." "Jangan berkata yang bukan-bukan, Alfonso!" kata gadis itu sambil mengancam. "Kau sudah cukup menghinaku." "Sudah, pergi sajalah kau!" "Baik, aku akan pergi! Tapi ingat, berapa lama waktu yang kuberi kepadamu. Sampai berjumpa lagi!" "Sampai berjumpa lagi! Kau pun harus ingat, bahwa kau harus melapor lebih dahulu, bila hendak bicara denganku!" Josefa pergi dan Alfonso menjatuhkan diri ke atas divan sambil tertawa terus-menerus. Pikirnya, ia seperti baru menyaksikan suatu pertunjukan yang sangat lucu. Tiada disadarinya, bahwa yang lucu mudah sekali berubah menjadi sesuatu yang sedih. Pada malam hari dua orang sedang sibuk di halaman belakang istana. Mereka adalah Alfonso dan sekretaris. Mereka mengeluarkan beberapa ekor kuda yang diberi pelana. "Jadi berapa lama perjalanan paman ini?" "Delapan atau sembilan hari." "Hati-hatilah, jangan sampai diketahui orang!" Empat ekor kuda berangkat meninggalkan istana dari pintu belakang, dua ekor kuda tunggangan dan dua ekor lagi kuda beban. Salah seekor kuda beban mengangkut bahan makanan dan di atas punggung yang seekor lagi diikatkan sebuah keranjang panjangnya lebih kurang dua meter. Rombongan kecil itu menuju kuburan. Sesampai di situ mereka menambatkan kuda sedangkan mereka sendiri berjalan kaki melalui pintu gerbang yang selalu terbuka menuju ruang di bawah tanah, khusus disediakan untuk keluarga Rodriganda. Alfonso membuka pintu, lalu menuruni tangga. Mereka membuka peti mati dalam gelap gulita. Semua itu dikerjakannya dengan tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Lalu dikeluarkan tubuh orang yang mati semu itu dari peti mati dan dimasukkannya ke dalam keranjang, tutupnya dikunci erat-erat dengan berbagai kunci. Kemudian mereka pergi. Pagi hari Alfonso baru kembali melalui pintu belakang. Ia tidur di kamarnya, melepas lelah setelah bekerja berat sepanjang malam. Setelah bangun ia makan pagi dan masuk ke kamar pangeran lama. Ia mulai membalik-balik surat-surat yang ditinggalkan oleh Don Fernando. Surat pertama yang dibacanya, ialah sepucuk surat penting yang dibubuhi meterai resmi. Baru saja dibacanya surat itu, ia melompat dari kursi dengan memaki. Bunyi surat itu sebagai berikut, "Saya, pangeran Fernando de Rodriganda y Sevilla, dengan ini menerangkan, bahwa Hacienda del Erina telah disewakan kepada senor Pedro Arbellez dengan perjanjian, bahwa ia akan menjadi pemilik sepenuhnya daripada hacienda itu bila pangeran Fernando, tuan tanahnya meninggal dunia. Salinan surat ini dipegang si penyewa." Kemudian tertera tanggal, meterai dan tanda tangan pangeran serta pejabat-pejabat pemerintah. "Caramba!" maki Alfonso. "Si tua Arbellez itu sudah sangat cerdik mengamankan kedudukannya. Dan surat kematian resmi yang kuusahakan itu justru memberi senjata ke dalam tangannya. Maka sayang, rencana pembalasanku belum dapat dilaksanakan karena itu. Aku harus mencari kesempatan lain." Surat itu masih dipegang di tangannya, ketika pintu diketuk orang dan Maria Hermoyes masuk ke dalam. Alfonso melihat kepadanya dengan muka masam dan bertanya dengan kasarnya, "Apa yang kau kehendaki, Maria?" Abdi yang telah lanjut usia itu menarik-narik bajunya dengan malu-malu. "Yang Mulia, saya-saya mohon diberhentikan dari jabatan saya." Pangeran palsu itu memandangnya sejenak. Apakah maksud permohonannya ini? Mungkinkah ia ingin berhenti, supaya lebih bebas mengadakan perlawanan terhadapnya? Tetapi ketika dilihatnya mata wanita yang jujur itu, dibuangnya segala rasa curiga terhadapnya. Bahkan ia merasa lebih tenteram, karena wanita tua yang nampaknya mulai menyusahkan itu, akan pergi atas kemauannya sendiri. Namun pura-pura ia terkejut, ketika ia menjawab, "Mengapa? Kau tidak senang lagi tinggal bersama kami?" "Yang Mulia, usia saya sudah lanjut. Saya takut, kalau-kalau saya kurang pandai menyesuaikan diri dengan keadaan-keadaan yang baru ini." Alfonso hampir tidak dapat menyembunyikan rasa puasnya. Ia boleh tinggal selamanya di hacienda itu. Makin jauh dari ibu kota makin baik! "Nah, Maria, kalau engkau sudah yakin benar, maka tak berguna aku menahanmu. Aku akan memberi pensiun kepadamu, sehingga engkau tidak akan menderita kekurangan. Kau sungguh akan merasa puas." Sekali ini Alfonso benar-benar menepati janji. Bahkan karena keinginannya cepat-cepat bebas dari wanita itu, ia menjanjikan lebih banyak lagi. Ia membekalinya dengan segala macam barang keperluan dalam perjalanan, seekor kuda tunggang yang dapat dipercaya dan seorang abdi sebagai pengawal. Dua hari kemudian Maria Hermoyes meninggalkan rumah, setelah menjadi abdi di situ selama bertahun-tahun. Alfonso menggunakan waktu menjelang kembali pamannya untuk membiasakan diri dengan tata kehidupan baru itu. Ia menerima dan membalas kunjungan orang-orang dan mendapat simpati dari mereka, karena ia pandai pura-pura sedang diliputi dukacita. Suatu kali ia menerima surat dari Spanyol, yang mengacaukan seluruh rencananya, karena memungkinkannya mencapai cita-cita lebih tinggi lagi. Kini ia menghitung hari hingga Pablo Cortejo kembali. Akhirnya pada hari kedelapan pamannya kembali dari perjalanan dan pangeran langsung menyuruhnya datang menghadap kepadanya. "Apa khabar paman?" tanya Alfonso. "Khabar baik, baik sekali," jawab pamannya. "Nah, sekarang hatiku lega. Sungguh bukan pekerjaan mudah untuk mengangkut orang mati semu itu dari sini ke pantai. Berhasil pulakah paman menyelundupkan ke dalam kapal?" "Benar, kami telah berhasil." "Aku telah membayar upahnya di Vera Cruz, lalu mengirim mereka kembali ke kampungnya. Aku mendengar khabar, bahwa engkau harus pergi ke Spanyol!?" "Benar! Aku telah mendapat surat dari 'ayah' di Spanyol, minta aku langsung pergi ke Spanyol." "Bolehkah aku membacanya?" Alfonso mengambil surat itu dari atas meja dan memberikannya kepada Cortejo. Bunyi surat itu, Rodriganda, 5.10.1874 Alfonso, puteraku yang tercinta! Sudah kupesan kepada senor Pablo Cortejo untuk memberitahu kepadamu, bahwa aku sangat mengharap kedatanganmu di Rodriganda. Keadaan mataku makin lama makin memburuk disebabkan penyakit mata yang tidak dapat disembuhkan. Aku ingin mengingatkan padamu tentang kedudukanmu sebagai putera tunggal serta penerus keluarga kita dan selanjutnya aku menunggu kedatanganmu selekasnya. Ayahmu Manuel, pangeran Rodriganda y Sevilla. "Surat itu sangat penting kedengarannya," kata sekretaris. "Dan bagaimana keputusanmu?" "Aku akan berangkat. Segala persiapan sudah dikerjakan." "Aku pun memberi nasehat demikian. Usaha kita mulai tampak membaik. Di sini kau sudah menjadi ahli waris dan di sana pun engkau akan memiliki seluruh daerah kekuasaan pangeran. Perihal Don Manuel yang akan menjadi buta benar-benar menguntungkan kita." "Sudah lama aku hidup dengan cemas, bahwa ia akan melihat persamaanku dengan ayahku yang sebenarnya," jawab Alfonso. "Tetapi syukurlah kini kecemasan itu sudah lalu." "Namun harus diusahakan, supaya ia tidak dapat sembuh kembali." "Tak dapat tidak akan kuusahakan sungguh-sungguh." "Dan bagaimana dengan Roseta, saudara perempuanmu? Dia tentu akan melihat persamaan itu." "O, itu sama sekali tidak kukhawatirkan." "Maka kunasehatkan pada kamu untuk pergi selekasnya. Kepentinganmu di sini akan kujaga dengan baik," lalu ia melirik kepada keponakannya sambil bertanya, "tetapi bagaimana dengan Josefa? Kau sudah baik kembali dengannya?" "Baik kembali?" tanya Alfonso pura-pura tidak mengerti. "Pernahkah kami bertengkar?" "Hm, kau akan berpisah dengan kami, sebelum kau berangkat?" "Tentu saja!" kata Alfonso agak ragu-ragu. "Baik. Sekarang aku akan melihat Josefa. Aku belum melihatnya setelah aku tiba." Cortejo pergi ke kamar anak perempuannya. Gadis itu gembira melihat ayahnya kembali dengan selamat. Namun nampaknya ia sedang murung. "Aku sudah melihat ayah ketika baru tiba. Sudahkah ayah mengunjungi Alfonso? Apakah ia bicarakan tentang aku?" "Sambil lalu saja. Mengapa? Kalian saling marah, waktu aku tidak di sini?" "Bukan aku, dia yang menjauhiku. Sudahkah ayah mengetahui, bahwa Alfonso hendak pergi ke Spanyol?" "Ya, aku sudah mengetahui. Ia ingin berangkat sekarang juga, tetapi ia berjanji hendak minta diri lebih dahulu." "Bohong, ayah! Lebih baik aku pergi sekarang juga menemuinya." "Kau bermaksud hendak memaksanya?" "Ya," kata gadis itu yakin. "Serahkan saja kepadaku. Ayah akan ikut juga?" Ayah dan anak pergi ke rumah Alfonso. Mereka menjumpainya sedang sibuk berkemas. Alfonso bermuka masam, ketika melihat saudara sepupunya masuk. Ia ingin mengusirnya. Namun Josefa mendahului dengan pertanyaan, "Kau masih ingat perkataanku sebelum ayah pergi ke Vera Cruz?" "Hm. Aku tak ingat lagi," katanya berpura-pura. "O, kalau begitu, perlu juga aku mengingatkan lagi kepadamu. Aku telah mengatakan, aku cinta kepadamu dan bahwa aku berharap menjadi puteri Rodriganda y Sevilla." Jawab Alfonso dengan nada kesal dan mengejek, "Caramba, ya, benar juga, kuingat kini leluconmu yang hambar itu. Dan kau ingin mempertahankannya juga?" "Tentu saja aku ingin mempertahankannya. Ingat perkataanku ketika itu: aku memberi waktu kepadamu untuk berpikir, sampai kedatangan ayahku. Kini waktu itu sudah habis dan aku ingin mendengar keputusanmu." "Kau mau mendengar jawabnya? Baiklah, inilah jawabnya: aku akan menikah dengan gadis pilihanku sendiri. Dan aku tidak akan menikah dengan kamu. Tidak akan! Tidak akan!" Perkiraan Alfonso Josefa akan mengamuk. Namun hal itu tidak terjadi. Gadis itu begitu yakin dengan kemenangannya, sehingga ia tetap bersikap tenang. Hanya nampak senyum mengejek pada bibirnya, ketika ia menjawab, "Namun kau akan menikah juga denganku!" "Lucu juga kau ini! Aku dapat menerka rencanamu dan segala alasan yang akan kau kemukakan. Tetapi semua itu tak akan mempan terhadapku." "O, begitu perkiraanmu! Tetapi, sayang, kau bersalah! Tidak ada senjata yang lebih ampuh daripada itu!" Alfonso menentang mata burung hantu gadis itu dengan congkak. "Kau bermaksud memaksa aku menikah dengan kamu dengan ancaman akan membuka rahasiaku di muka umum, bahwa aku bukan pangeran Rodriganda yang sesungguhnya." "Memang demikian," jawab gadis itu tenang. "Senjata itu menimbulkan tertawa. Kau harus menimbang dahulu buruk baiknya sebelum mengambil tindakan yang nekad, karena bila aku terkena kau pun akan terkena, sekaligus dengan ayahmu. Bukankah kita ini sekutu dalam segala kejahatan?" "Itu harus dibuktikan lebih dahulu. Dan kukira, takkan mudah bagimu membuktikannya. Lagi pula bagaimana kalau surat wasiat baru itu kugunakan?" Alfonso tertawa mengejek. "Tak dapat kau menakut-nakutiku demikian. Aku tahu, bahwa surat itu sudah habis dimakan api." "Sekali lagi kau bersalah. Surat itu masih ada, utuh, siap sedia digunakan." Alfonso mulai merasa cemas. Sekretaris pun heran. "Apa, Josefa, surat itu tidak kau bakar?" tanyanya. "Hanya amplopnya yang kubakar," kata gadis itu sambil tertawa. "O, kalian, laki-laki, menganggap dirimu pandai dan cerdik. Lihat saja ayah. Aku disuruhnya membakar surat wasiat terkutuk itu, tanpa diingatnya bahwa surat itu pada suatu ketika dapat berguna sekali untuk menjinakkan pangeran Alfonso, Rodriganda palsu." "Tidak kusangka, kau dapat memainkan peranan gemilang itu!" seru Cortejo dengan gembira. "Di mana kau simpan surat itu?" tanya Alfonso. Josefa menepuk saku bajunya dengan gembira. Alfonso merencanakan suatu siasat. "Coba perlihatkan kepadaku," katanya, "kalau tidak, aku tak akan percaya." "Boleh," kata Josefa sambil meraba dengan tangannya ke dalam sakunya, tetapi bukan dalam saku yang sebelah saja melainkan dalam kedua belah sakunya. Ketika Alfonso melihat surat itu dalam tangan kiri Josefa, ia hendak merampasnya. Tetapi niat itu terpaksa diurungkan, karena dilihatnya tangan kanan gadis itu memegang pisau belati yang diarahkan kepadanya. Ia melangkah ke belakang dengan terkejut. "Wah, hendak kau tikam aku?" serunya. "Tidak," jawab gadis itu sambil tertawa, "tetapi maafkan aku karena terpaksa menjaga milikku." "Milikmu?" katanya dengan berang. "Surat wasiat itu milikku!" "Tidak. Surat itu harus dipegang oleh ketua pengadilan. Dan aku bersumpah demi segala yang suci, bahwa surat itu akan kuserahkan ke dalam tangannya, kecuali kau membuat keterangan tertulis tentang pertunanganmu dengan aku, sebelum kau berangkat." "Itu sudah keterlaluan!" kata Alfonso dengan berang. "Apakah tidak keterlaluan juga, ketika kau menyebut aku sebagai gadis tua dan buruk muka?" "Jangan bermain nekad!" "Itu pasti akan kulakukan. Dan aku harap ayah bersedia membantuku juga." "Tentu," jawab Cortejo. "Surat wasiat itu di tangan kami merupakan senjata ampuh, yang tidak dapat dilawan. Kami dapat menerangkan, bahwa kau telah dikirim ke sini waktu masih kecil sebagai pangeran Alfonso de Rodriganda dan kami tidak mengetahui sedikit pun, bahwa kau telah ditukar. Surat-surat yang dapat digunakan sebagai bukti terhadap kami kubakar. Coba kalau sudah begitu, dapatkah kau melibatkan kami?" "Kalian berdua seperti pemeras saja!" seru Alfonso. "Mungkin kau benar. Namun dapat dimengerti juga, bahwa kami tidak senang bekerja sama dengan kawan yang berkhianat. Kami ingin juga melihat buah dari segala jerih payah kami. Kau telah menerima dari tanganku milik keluarga Rodriganda di Meksiko yang tak terhingga itu. Maka wajarlah keinginan kami, bahwa kami turut menikmatinya dengan jalan kau menikah dengan Josefa." "Aku sekali-kali tidak akan menuruti kehendakmu." Kini Josefa berdiri dekat sekali dengan Alfonso. "Apakah itu keputusanmu yang terakhir?" tanyanya. "Benar." "Baiklah!" Hanya sepatah kata inilah yang dikatakan gadis itu. Kemudian ia melangkahkan kaki ke arah pintu. Dari muka gadis yang tegang itu Alfonso dapat melihat, bahwa gadis itu sungguh-sungguh. Kini hati Alfonso menjadi kecut. "Tunggu dahulu, kau mau pergi ke mana?" "Ke ketua pengadilan," kata gadis itu sambil berdiri. "Kau sedang kemasukan setan! Kau kira kau dapat hidup bahagia sebagai istri seorang yang tidak mencintaimu?" "Ya, aku akan bahagia. Untuk selanjutnya kau bebas berbuat apa pun sekehendak hatimu, asal aku boleh menjadi puteri Rodriganda." "Tetapi itu tidak mungkin! Apa yang akan dikatakan pangeran Manuel, bila aku tanpa izin daripadanya menikah dengan anak sekretaris saudaranya!" "Itu bukan maksudku. Kau dapat menunda pernikahan hingga pangeran wafat. Tetapi sekarang aku harus diberi surat keterangan tentang pertunangan kita." Alfonso berpikir. "Dan setelah kau terima surat itu bersediakah engkau memberi surat wasiat itu kepadaku?" "Tidak. Surat wasiat itu baru kau terima setelah pernikahan kita, sedangkan surat keteranganmu ini gunanya, supaya kau mendapat kebebasan pergi ke mana pun dalam perjalananmu." Alfonso mengangguk putus asa. "Baik, akan kau peroleh surat itu." "Akhirnya dapat juga kau memakai pikiran warasmu. Sekarang jangan kau kira, semuanya sudah beres, jadi kau tidak perlu menepati janjimu, ketika kau sedang di Spanyol. Aku sanggup mengadakan pembalasan dendam bila kau mengingkari janji." Alfonso mengangkat kepala dengan congkak, ketika ia menandatangani surat yang sudah disusun sebelumnya oleh Josefa. Tidak lama kemudian ia berangkat menuju pelabuhan, naik kapal berlayar ke Spanyol. Ketika kapal itu bertolak meninggalkan pelabuhan, dua orang penunggang kuda melarikan kudanya kencang-kencang ke arah kapal. Mereka adalah Hati Beruang dan Kepala Banteng. Karena mereka kembali dahulu ke hacienda dan melawat Panah Halilintar yang sedang sakit keras, maka mereka banyak kehilangan waktu. Lagi pula mereka kehilangan seekor kuda di suatu daerah yang sunyi. Telah makan waktu lama untuk menangkap kuda lain. Setelah mereka tiba di kota Meksiko mereka bertanya tentang pangeran dan mendengar, bahwa ia sudah pergi meninggalkan kota sehari sebelumnya. Mereka berdaya-upaya, menyuruh kudanya lari sekencang-kencangnya, supaya dapat mengejar pangeran dan membalas dendam, namun mereka terlambat sampai di pelabuhan, sehingga hanya sempat menyaksikan kapal itu bertolak di depan mata mereka. Musuh besar mereka telah luput dari tangan mereka. Bersambung ke jilid II. Sumber Pdf: http://id.karlmay.wikia.com/wiki/E-Book Edit & Convert: zhe (zheraf.wapamp.com) http://www.zheraf.net